Kenangan Menumpang Oto Kol

3

Loading


Weqi Gamu ll Kontributor

Oto kol adalah bagian dari memori indah yang hampir dimiliki oleh seluruh masyarakat Manggarai khususnya, dan Pulau Flores umumnya. Sekarang hanya sedikit yang merasakan pengalaman betapa nikmatnya saat menumpang bus kayu tersebut. Oto kol itu mobil penumpang, tetapi sangat berbeda dari mobil penumpang pada umumnya. 

Bak dari mobil ini terbuat dari kayu, dilengkapi dengan atap. Mobilnya dilengkapi dengan bangku kayu. Jumlah bangkunya sebanyak sepuluh sampai duabelas. Setiap bangku dapat menampung hingga sepuluh orang. Penumpang naik dan turun melalui sisi samping kiri dan kanan bak. Tempat saat naik tadi akan jadi jendela bagi penumpang ketika telah duduk di dalam mobil. 

Saat penumpang di dalam mobil sudah penuh,  penumpang dapat bergelantungan di bagian belakang mobil. Penumpang dapat duduk di atas atap, ini biasanya jadi salah satu pilihan favoritnya kaum adam, tetapi tetap hati-hati. Topografi daerah Manggarai yang berbukitan berpengaruh dengan model jalan yang berkelok-kelok. 

Oto kol termasuk andalan masyarakat Manggarai kalau berpergian. Ia kerap digunakan sebagai kendaraan penumpang dan saat acara adat seperti wagal.

Di dalam ingatan penulis, salah satu kenangan indah saat naik oto kol, ketika menumpang dari rumah Almarhum Kakek Gaba, di Kampung Wae Warang, Kecamatan Lembor Selatan Kabupaten Manggarai Barat, kampung dari ibuku. 

Saat itu kami bangun pukul empat waktu indonesia bagian tengah. Anda pasti tahu, di jam-jam tersebut, biasanya mimpi-mimpi sedang menemani tidur malam. Tetapi, apalah daya, keadaan memaksakan kami, mobil penumpang untuk berangkat ke pasar hanya tersedia saat subuh. Kalau kami sedikit telat, jangan harap ada mobil lain yang lewat di depan rumah. 

Dinginnya pagi menembus kulit yang enggan bersentuhan dengan air meski sekadar membasuh muka, sementara kain songke memberi hangat pada badan yang ingin melanjutkan tidur. Dibantu oleh Ayah yang terus memaksa saya agar segera naik oto, saya beranjak ke depan rumah. Kemudian tangan meraih tiang kayu oto kol, kaki menginjak pipa besi pada bagian bawah bak oto kol, kepala menunduk sedikit, lalu masuk ke dalam tempat duduk. Saya kemudian duduk di bangku tengah dan di dekat jendela, ini posisi duduk yang paling disukai ketika masih kecil dulu. 

Mobil perlahan meninggalkan halaman rumah Kakek Gaba. Om Sopir mulai memutar lagu-lagu daerah Flores, di antaranya lagu  Ikan Goreng, Tombo Nipi, Rai Ati, Jamila Weta, Putar-putar Kopi dan Miring Konde. Lagu-lagu tersebut mengiringi oto kol yang sepanjang jalan terus bergoyang ke kiri dan kanan, bukan mengikuti alunan musik, nyatanya dikarenakan oleh jalan bebatuan yang strukturnya kerap dipercakapankan menjelang pesta demokrasi. 

Terbawa suasana, para penumpang turut hanyut dalam gerakan ke kiri dan ke kanan secara bergantian. Serasa saya menemukan misteri mengapa orang-orang Manggarai pada lentur badannya kalau lagi berjoget di tempat pesta. Mobil terus melaju menembus gelap yang sebentar lagi akan hilang. Oto kol kian jauh meninggalkan Kampung Wae Warang.

Liburan Sekolah Dasar di duabelas tahun lalu itu menjadi cerita indah di dalam perjalanan hidup saya. Bagaimana tidak, itu terakhir kalinya menumpang oto kol saat berangkat ke pasar. Menjadi penumpang yang harus terbangun sebelum ayam berkokok, melawan hawa dingin dan berdesakan di dalam oto kol. Semua itu menjadi cerita indah yang kini telah jadi kenangan dalam perjalanan. 

Oto kol jadi kenangan bermula dari dibelinya motor Revo 110 dalam keluarga kami, seperti pada umumnya motor-motor yang diperuntukkan demi mempermudah aktivitas. Keluarga kami semakin mudah untuk berkunjung ke rumah Kakek Gaba. Tak lagi menunggu oto kol.

Semenjak itu, kami tak lagi harus bangun subuh, tentu saja tak lagi menumpang oto kol. Lambat laun bangku oto kol kian menjadi kenangan, alunan musik Manggarai andalan Om Sopir menjadi cerita yang terus berulang dalam kebersamaan. Kini tidak ada lagi  oto kol yang taksi ke Wae Warang, diganti oto bemo, motor revo 110, dan kendaraan roda dua lainnya. 

Padahal oto kol memiliki AC (air conditioner) alami, karena tidak memiliki kaca jendela seperti mobil pada umumnya. Udara segar dengan leluasa masuk ke dalam kabin penumpang. Di dalamnya para penumpang dapat berdiskusi satu sama lain,  membahas tentang harga BBM, harga pupuk, politik, hama padi, sampai bahas mimpi yang menerawang masa depan menjadi angka ajaib lewat permainan togel. 

Pengalaman menumpang oto kol berbeda dengan kendaraan lain yang sekadar naik lalu turun. Setiap kali kamu naik oto kol, kamu akan memiliki pengalaman yang berbeda, entah karena lebih banyak menguras emosi pada setiap moment yang dilewati atau karena selalu memicu adrenalin ketika posisi mobil sangat miring, jantung dibuatnya deg-degan. Siap-siap untuk menutup mata ketika melalui jalanan berdebu, apalagi di depan masih ada oto kol yang lain. Menguras emosi memang.

Meski oto kol memiliki ceritanya sendiri, perlahan di Manggarai, masyarakatnya mulai beralih terkait pilihan alat transportasi. Ini ada hubungannya dengan maraknya kendaraan pribadi dan persaingan mobil penumpang yang perlahan mulai makin nyaman, memaksa pengusaha transportasi oto kol beralih ke usaha lain. Misalnya, ada yang mengubah oto kol menjadi dump truck. Namun, kita perlu berbangga,  oto kol  masih digunakan saat ada acara adat wagal.

Mungkin pembaca termasuk orang yang  ingin sekali mengulangi moment naik oto kol.  Sekadar saran, rajin-rajinlah bertanya ke setiap rumah, kapan ada acara wagal di kampung? Itulah satu-satunya peluang terbaik agar dapat mengulang moment, rasa, dan suasana naik oto kol. Bagaimana menurutmu,  apakah oto kol kian menjadi kenangan? Komen di kolom komentar. 

3 thoughts on “Kenangan Menumpang Oto Kol

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *