Kesirat; Pesan Tersirat untuk Kampung Halaman

Ada tenda, ada kenangan. Ada pagi, ada senyum. (foto; dokumentasi pribadi)

Loading


Apek Afres||Redaksi

Liburan. Saat liburan begini saya dan beberapa teman suka berencana. Sore-sore saat senja muncul di celah bambu di kedai kopi, kami berencana untuk mengunjungi beberapa tempat pariwisata di Jogja. Bukan sekadar melepas lelah atau menepi ke tempat yang sunyi karena penat, tetapi ada sesuatu yang besar dan bergema-gema di mana-mana sekarang, yaitu mengakrabkan diri dengan alam. Belajar bagaimana deru-deru ombak memberikan harmoni romantisme, belajar bagaimana kicauan burung pagi memberikan syarat-syarat cinta, dan belajar bagaimana warna jingga di setiap sudut langit memancarkan getaran rindu yang luar biasa. Itulah nyanyian alam. Kala humanisme lahir, yang memandang manusia sebagai pusat segala sesuatu, manusia mulai memperkosa alam dengan nafsu birahi egoisme. Alam menanggung pilu, sehingga sesekali memberontak; Tsunami, banjir, Tanah Longsor adalah protes alam yang nyata.

11 September yang lalu, Ketika saya dan beberapa teman ngopi di dekat kos saya, sembari menikmati senja yang lupa diri, kami sepakat untuk mengunjungi dan bermalam minggu di sudut timur Yogyakarta, tepatnya di pantai Kesirat. Lumayan jauh dari pusat kota, 45 km. Tempatnya terlampau indah. Matahari pagi yang muncul perlahan-lahan di atas bukit membuat teman-teman betah dan jatuh hati dengan alam. Tidak ada defenisi kebahagian selain menyaksikan peristiwa kecil semacam itu,  ciiuuuiikimai ee.

Pagi, 12 September, Kami menyiapkan bahan-bahan dan perlengkapan yang perlu dibawa. Tenda, bahan makanan; Ikan dan daging Ayam, Kompor gas mini, Termos air, kopi dan perlengkapan-perlengkapan lainnya. Sore hari, tepat pukul 17. 30 WIB kami meluncur dengan cepat, membelah jalanan, dan memaknai setiap detik-detik perjalanan. Asik bukan main! Perjalanan memakan waktu satu jam lebih. Bukan perkara yang mudah. Tanjakan dan curamnya jalan kami lalui. Tanpa pamrih, pakai cinta. Uhuk uhuuk.

Kami tiba pukul 18.19 WIB, saat matahari tenggelam dalam peraduannya. Seakan-akan kami ikut terjerembab dalam rona jingganya langit. Kami berkumpul sembari ngopi dan rokok. Berbincang-bincang dan saling cerita. Habis curhat terbitlah nasihat. “kayanya kita mesti menubruk senja”, kata teman saya Faisgrt. “Dasar senja tai anjing”, sambung Arman teman saya yang kelamaan menjomlo. Sekilas Matahari dan senja pamit meninggalkan banyak pesan. Semesta memang suka becanda.

Pantai Kesirat agak unik. Tidak ada garis pantai tempat ombak bercerita dan mengekalkan sepinya. Air laut langsung berpapasan dengan tebing yang menjulang tinggi. Lalu, membentuk bukit-bukit kecil yang cocok untuk berdua dalam tenda-tenda kecil. Ada yang mendirikan tenda di kaki bukit. Ada yang di antara bukit yang satu dengan yang lainnya. Ada yang memilih bersenandung di puncak. Tempatya memang cocok untuk orang yang menyukai sunyi.

Hawa sejuk pantai mulai terasa. Gemerlap lampu kota tak lagi kelihatan. Bising dan kesibukan yang aneh-aneh sudah ditanggalkan Ketika meninggalkan Jogja. kami hanya menemukan keindahan alam yang luar biasa. Orang-orang di sekitar kami yang punya visi-misi sama dengan kami juga sibuk dengan diri mereka sendiri. Berbincang-bincang, bernyanyi, dan canda Bersama.

Malam mulai memberi isyaratnya sendiri. Pukul 19.20 kami mulai mendirikan dua tenda. Yang lainnya sibuk mencari kayu api untuk bakar-bakar dan buat api unggun. Filosofi keindahan muncul Ketika situasi begini. Perpaduan antara keindahan alam dan puncak rasa bahagia akan melahirkan melodi kehidupan yang berwarna. Dari jingga sampai tak hingga semuanya melebur menjadi butir-butir cinta yang perlahan-lahan membasahi setiap sunyi dan sepinya hati. Api unggun mulai memancarkan kehangatan. Di sisi lain aroma Ikan dan Ayam bakar memberi kelegahan bagi perut yang sudah lama berkeroncong. Saatnya makan malam tiba. Beta seng sabar laii.

Kami masing-masing mengambil posisi yang paling nyaman untuk makan. Semuanya mengelilingi api unggun yang terletak di depan tenda. Betapa menyenangkan teman-teman. Rasa kekeluargaan terkuak sesaat, membeludak tanpa jeda. Tidak ada rasa malu dan sungkan satu sama lain. Semuanya menyatu dalam rasa persaudaraan. Menariknya, satu pun di antara kami tidak ada yang bermain HP. Yang lagi sayang-sayangnya dilepas dulu untuk sementara waktu. Kebetulan di pantai Kesirat ini juga miskin jaringan, mungkin ini penyebab utamanya. Sehari tidak pegang HP kok tidak bisa? Memalukan. Saya selama enam tahun di asrama yang tidak perbolehkan bawa HP kok bisa. Saya sombong sedikit tidak apa-apa to, heheh.

Tidak hanya berhenti di situ. Setelah makan kami masih lanjut bercerita. Ada yang curhat; menyampaikan rasa patah hatinya. Ada yang membagikan pengalamannya. Ada yang suka ngelawak; kadang-kdang spontanitas kelucuan muncul Ketika situasi begini. Yang paling unik ada yang mengakui diri sebagai jomlo akut. Tidak lain tidak bukan adalah saya sendiri. Memang kenyataan. Fakta. Rasanya pahit teman-teman. Ada yang mau dengan saya? Uhuk uhuk. Dijamin akan Bahagia.

Suasana malam semakin mencekam. Kami semua menikmati malam dengan cara masing-masing. Saya lebih memilih baring agak jauh dari tenda. Sedikit ke puncak bukit, ingin memaknai alam pantai Kesirat dari sudut yang tertinggi. Miskin sinyal, kaya hayalan. Saya terjebak dalam lautan imajinasi yang menyeret saya ke mana-mana. Saat angin malam bermelodi, saya terseret ke masa lalu di kampung halaman tercinta, Manggarai Timur. Miskin sinyal, tapi kaya hayalan. Di mana masa kecil di lalui dengan permainan hidup yang membahagiakan. Teknologi tidak memberikan sumbangsih yang berarti. Anak-anak jarang yang memiliki HP, mereka hanya punya sejuta mimpi yang membabi buta, yang memotivasi anak-anak untuk menggapai cita-cita dengan tangguh.

Malam semakin berkuasa. Saya semakin berlabuh jauh dalam alunan imajinasi. Saya yakin suatu saat Manggarai Timur memiliki tempat semacam pantai Kesirat; tempat orang-orang menyempatkan diri untuk sekadar bersua dengan alam. Jauh dari hingar-bingar tekenologi yang perlahan-lahan mendegradasi moralitas humanis. Banyak tempat menarik di Manggarai Timur. Semoga pemerintah peka dan cepat tanggap dengan potensi yang ada. Pantainya banyak, padangnya keren-keren, air terjun juga ada, sawah yang membentang luas juga menarik. Jadi apa yang kurang? Mungkin pengelolah Matim yang kurang membaca peluang dengan potensi yang ada. Itu yang kurang. Makanya kurangi orang-orang semacam ini di birokasi pemerintahan. Ohhh, masalahnya semuanya keluarga. Sial!

“Apek, apek, apek, bangun sudah. Sunrise sudah tiba itu”, teman saya membangunkan saya. Semalaman saya tidak menyadari apa-apa. Tiba-tiba paginya dikagetkan dengan matahari pagi yang memanjakan mata. Saya begegas mendekati tenda. ternyata teman-teman sudah menyiapkan kopi pagi. Kami ngopi bersama sambil menikmati matahari pagi. Asik bukan main.

Setelahnya kami menyiapkan semua barang. Tepat pukul 8.20 kami meninggalkan pantai Kesirat. Cuman sisa-sisa kenangan yang tertinggal.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *