Ketika Kebo Tak Lagi Nongkrong Di Kubangan

|Penulis: Stefan Alfiano|Meka Tabeite|
Zaman e, zaman e, zaman edan….
Jangan dinyanyikan, ini bukan lirik lagu. Saya sedang memulai tulisan singkat yang cukup panjang. Baik, sebelum pembahasan ini menjadi basi, karena topiknya memang sudah tak asing lagi, ada baiknya nyanyikan dulu kalimat pertama tadi, biar seru agar penjelasan saya makin alot.
Tulisan ini saya mulai in the name of the Father and of the Son and of the Holy Spirit, Amen. Kenapa demikian, karena saya akan membongkar sedikit aib-aib zaman ini versi saya. Dosa-dosa peradaban yang kian merasuki kawula muda. Kaum-kaum harapan bangsa yang kian bobrok, ambruk dan linglung menghadapi perkembangan. Masalah yang saya bahas bukan hal sepele, dan sedikit bertele-tele.
Ketika banyak orang terjebak dalam ketabuan, saya coba menerobosnya dengan pikiran, supaya kita semua tidak tersesat dalam paradigma yang skeptis, sehingga kadang menjadi tak logis. Pusat bahasan kali ini adalah kumpul kebo. Bukan kebo yang biasa digunakan Om Sebas membajak sawah, tapi kebo jenis baru dari spesies Homo Sapiens. Kalau yang biasa dipakai Om Sebas itu, tongkrongannya kubangan, kebo yang ini sering nongkrong sambil tiduran. Jadi, beda, baik dari jenis maupun tongkrongannya.
Bukan masalah baru memang, tapi makin ke sini, makin menjadi-jadi. Seperti tak habis-habisnya. Banyak cara yang dilakukan biar tidak ketahuan. Satu cara yang dipakai hanya untuk sekali main. Sistem update yang biasa terjadi pada aplikasi juga terjadi di sini. Saya jadi curiga, jangan-jangan kebo-kebo yang terlibat dalam kasus yang menjadi topik saya ini adalah sekumpulan produk sejenis aplikasi. Anak-anak teknik komputer tolong selidiki dulu, tapi harus hati-hati supaya anda tidak terseret sengatan negatif ini.
Back to the topic!
Kumpul kebo atau kohabitasi adalah hubungan antar dua orang yang tidak berada dalam ikatan perkawinan yang sah, tetapi hidup bersama. Baik secara sakramen maupun secara adat. Terdapat begitu banyak alasan mereka untuk tidak melaksanakan akad, namun dari sekian banyak yang paling dominan adalah masalah belis yang kian menjulang. Tetapi, apapun alasannya itu tetap tidak benar, baik secara hukum maupun norma sosial kemasyarakatan.
Berkaitan dengan paradigma di atas, terdapat kesalahan persepsi di mana menurut masyarakat awam, ungkapan ini bukanlah yang benar dalam bahasa Indonesia karena kebo diserap dari bahasa daerah di Indonesia yang maknanya kerbau. Menurut mereka, kumpul kebo mesti diubah menjadi kumpul kerbau untuk menjadikannya ungkapan dalam bahasa Indonesia. Memang tidak salah, bisa jadi benar. Itu dari pandangan linguistik, tetapi menurut saya penggunaan kata kebo di sini lebih tepat karena lebih halus dan manusiawi. Paling tidak ada alasan humanisnya. Entahlah, saya juga bingung mengapa istilah ini akhirnya sah dipakai dan akrab hidup di telinga masyarakat, padahal belum akad nikah tetapi sudah tinggal bersama dan berinteraksi seksual. Boro-boro berdalih dengan alasan humanis, mereka yang lakukan saja bertindak seperti binatang dengan birahi tingkat nasional.
Fenomena kumpul kebo ini sudah banyak masuk ke kehidupan mahasiswa perantauan. Akibatnya banyak anak rantau yang “Lalong bakok du lakon, Bapa agu Mama Lalong Du kolen.” Sehingga tidaklah heran mengapa populasi Lalong Rombeng di Manggarai menurun drastis. Berbanding terbalik dengan tingkat pertumbuhan manuk jenis Bapa/Mama Lalong yang melejit.
Kalau anda sudah merasa bosan membaca tulisan ini, nyanyikan lagi kalimat pertama tadi. Zaman e, zaman e, zaman edan. Yang muda suka senggol-senggolan. Tralalalala…..
Kalau kebo milik Om Sebas dicocok hidungnya, kebo dari spesies baru ini mencocokan isi celananya. Ehem. Kontrol pikiranmu, kita sedang membahas masalah bukan berbagi cerita yang begituan. Ingat, itu dosa, api neraka menanti dengan manis.
Term kumpul kebo yang diadopsi oleh tatanan masyarakat bergelar mahasiswa sedikit banyaknya dipengaruhi oleh kebudayaan barat yang liberalis, sehingga hal itu dianggap lumrah dan wajar. Mereka lupa, Indonesia itu memiliki kebudayaan sendiri dengan kontrol sosial dan tata aturan yang berbeda, yang tidak membenarkan adanya praktik kebo-keboan seperti itu. Efeknya muncul gaduh sosial dan gosip-gosip dari mulut setajam silet yang sigap mengupas isu. Mungkin sedikit lagi masuk tipi, bersanding dengan gosip murahan para artis yang demam viral.
Berita-berita mengenai fenomena kumpul kebo ini, sering muncul di media. Sementara kebo milik Om Sebas, sering dicambuk, dibentak, dan dicaci-maki agar jalannya cepat. Kalau kebo milik Om Sebas bisa ngomong, dia pasti protes, begini: “kalian yang enak main, nongkrong sambil tiduran, nama saya yang kebagaian gosip dan tercemar. Biadab kalian.”
Sejak kebo-kebo ini pindah tongkrongan dari kubangan, lahirlah bibit-bibit masalah baru seperti aborsi dan bunuh diri akibat pasangan yang tidak bertanggung jawab atau bisa jadi karena gonta-ganti merk, akhirnya tidak tahu saham yang sudah berbuah itu milik siapa.
Dalam beberapa kasus, mahasiswa yang tercebur dalam perkumpulan kebo ini terpaksa menitipkan buah dosanya kepada orangtua di kampung halaman. Orang tua yang menggelari mereka buah hati, sambil menunggu wisuda dan menabung uang belis.
Jujur saya tidak tahu mengakhiri tulisan ini, tapi saya hanya mau bilang adakah anda salah satu dari jenis kebo dari spesies Homo Sapiens ini? Sekian dari saya dan dengan membingungkan saya akhiri semua pembodohan ini. Mari nyanyikan lagi kalimat pertama di atas!
Pesan: kalau mau kumpul, kumpul-kumpul saja. Jangan bawa-bawa kebo. Jangan fitnah dan merusak citra diri kerbau. Ups…!!!
Mari, ngopi dulu, Kaka.
Mantap pak boss
Usahakn kmu jgn jdi kebo
Bambangg Bambanggg!!
Smoga tdi jdi Kebonya ya!