Ketika Saya Merokok

Loading


Reinard L Meo|Kontributor

Saya merokok. Kalau tak salah, sejak masih kecil. Saat duduk di bangku Sekolah Dasar, saya belajar banyak hal. Bahwa Matematika Dasar ialah perihal tambah-kurang-kali-bagi. Bahwa a-i-u-e-o adalah huruf vokal. Bahwa Flores itu pakai “f’ – Fransiskus, bukan “v” – Veronika. Bahwa mencuri itu dosa. Bahwa pemimpin upacara pada apel Hari Senin harus tegas dan gunting rambut terlebih dahulu. Bahwa ke sekolah harus bawa bekal. Bahwa asap rokok tidak boleh ditelan.

Bahwa laki-laki tak boleh pakai rok. Bahwa yang boleh menggunakan lipstik hanya perempuan. Bahwa siswi-siswa yang berhasil masuk ruang kepala sekolah tentulah siswi-siswa yang bermasalah. Bahwa rokok hanya bisa dinikmati bila ada api.

Saya merokok. Kecuali TKK – sebelum diganti Kober atau kini PAUD –, tiap jenjang pendidikan saya selanjutnya selalu dilewati dengan minimal satu kali merokok – hal ini tidak perlu ditiru. Sampai saat ini saya masih merokok. Saya suka merokok, saya merokok secara sadar, tahu, dan mau. Juga bertanggung jawab.

Anda juga barangkali perokok. Dan tiap kali Anda merokok, saya tak tahu apa yang Anda lakukan. Saya berpikir saat merokok. Pernah suatu ketika, saat masih kuliah, saya merokok sambil melihat bungkusan rokok di hadapan saya. Bungkusan rokok itu, kalau saya pakai istilah Immanuel Kant – dia orang Königsberg, salah satu filsuf raksasa dalam bentangan Sejarah Filsafat – adalah das Ding für mich, sesuatu yang tampak. Bungkusan rokok itu bukan “objek”, bungkusan rokok itu hanyalah “penampakan objek” yang dapat saya indrai, dapat saya lihat, dapat saya ketahui. Bungkusan rokok sebagai “objek”, atau bungkusan rokok dalam dirinya sendiri, tidak saya ketahui. Segala sesuatu das Ding an sich, dalam dirinya sendiri, tidak bisa saya ketahui. Yang bisa saya ketahui hanyalah das Ding für mich, sesuatu yang tampak. Orang lain mengetahui tentang kita atau sebaliknya kita tahu tentang orang lain, itu hanya pada tataran das Ding für mich, segala hal yang tampak. Diri kita sebagaimana kita atau orang lain sebagaimana orang lain, das Ding an sich, itu tidak dapat diketahui. Barangkali poin ini bisa dipakai saat berhadapan dengan gosip.

Saya merokok. Selain berpikir, saya merokok sambil minum kopi, atau sesekali, sambil diskusi, atau lebih banyak sambil membaca buku. Saat itu, saya bahagia. Pada saat yang sama, saya sadar, ada banyak hal yang tak pasti, yang tak jelas jawabannya. Pernah suatu ketika, baru-baru ini, saya baca sesuatu yang menarik. Karl Jaspers – dia seorang eksistensialis, sebutan bagi para filsuf yang menaruh interese dan konsentrasi penuh pada tema Eksistensialisme, dia orang Jerman – pernah berefleksi, “Saya datang, saya tidak tahu dari mana. Saya ada, saya tidak tahu siapa. Saya meninggal, saya tidak tahu kapan. Saya pergi, saya tidak tahu ke mana. Yang mengherankan saya, bahwa saya bahagia”.

Pernahkah Anda berpikir dari mana Anda datang? Dari suatu dunia yang entah, dari sperma yang agresif, atau dari indung telur yang selektif? Pernahkah Anda berdiri di hadapan cermin, dan bertanya pada bayangan Anda sendiri, “Kau ini sebenarnya siapa?”. Jaspers benar, Anda bahagia, dan dalam banyak hal Anda sering heran mengapa Anda bahagia.

Saya merokok. Merokok sambil diskusi seputar politik itu nikmat bukan main. Adalah Hannah Arendt – dia filsuf perempuan yang tidak nyaman disebut filsuf, dia lebih suka disebut penulis politik – yang cemerlang berpikir tentang politik. Arendt mulai dengan membuat anti-tesis atas tesis Aristoteles – dia juga salah satu, saya sebut sebagai, Raksasa Klasik dalam Dunia Filsafat – yang mengatakan bahwa “pada hakikatnya, manusia adalah makhluk politik”. Arendt bilang, Aristoteles keliru. Kodrat manusia tidaklah bersifat politis. Dalam dirinya sendiri, manusia itu apolitik.

Lalu, di mana letak politik? Menurut Arendt, ada di “ruang antara”. Dalam buku The Promise of Politics, Arendt menulis, “Politics arises between men and so quite outside of man. There is no real political substance. Politics arises in what lies between men and is established as relationship”. Politik adalah ruang di antara manusia ketika mereka ada bersama dan melakukan sesuatu secara bersama. Politik ada di antara manusia-manusia. Lantaran “ada di antara”, politik tidak ada dalam diri manusia. Manusia bukan makhluk politik. Dalam politik, orang lain menjadi sangat penting. Orang lain yang diakui, dengan segala kekhasan dan keunikannya. Politik adalah percakapan dengan yang lain.

Saya merokok. Sambil berdua denganmu. Saya melihat matamu terbuat dari kesabaran. Bibirmu adalah kasih yang disusun sedemikian sehingga tiap kali saya mengecupmu, melepaskannya jadi sesuatu yang teramat sulit saya lakukan. Saya merokok. Kau memeluk saya sambil sesekali protes, “Kaka eh, isap rokok di luar!” Saat saya hendak ke luar, kau menahanku, “Tetap di sini. Jangan ke mana-mana, oke?”. Hmmmm…..

Saya merokok. Sambil menulis. Apa yang Anda baca ini adalah juga hasil dari merokok. Merokok tak selamanya buruk! ***

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *