Kisah Sang Pahlawan yang Aku sebut Ayah, Teruntuk Bapak Fransiskus Jula yang Lahir di Hari Pahlawan 10 November

0

Ayahku Pahlawanku (Foto: dari Penulis)

Loading


Dendi Sujono|Kontributor

Saya yakin kita semua pernah membaca dan mendengar kisah heroik para pahlawan bangsa. Mereka adalah orang-orang hebat yang berani menanggalkan ego dan keinginan pribadi demi memperjuangkan kemerdekaan sebuah bangsa yang kita sebut Indonesia. Sebut saja Bung Karno, Bung Hatta, Sultan Syahrir, Bung Tomo, dan lainnya.

Tapi, terkadang terbersit tanya dalam benak. Pahlawan seperti apakah yang harus aku dengarkan kisahnya di masa kini? Kisah heroik macam mana yang dapat aku maknai di saat-saat seperti sekarang ketika kemalasan, masa bodoh, egois, tamak dan rakus, apatis, menjajah kita secara masif?

Mungkin ketika kita mencari kisah-kisah yang bernaung di bawah nama besar sang tokoh, kita lupa mereka yang sehari-hari dengan cara sederhana berjuang menjadi pahlawan bagi kita. Mereka berada di mana saja dalam kehidupan kita. Itulah sebabnya, tulisan ini hendak menorehkan sedikit kata tentang kisah kepahlawanan yang layak untuk diceritakan.

Nun jauh di negeri tak terlacak google earth, Golingkara, seorang lelaki tua mengisi hari-harinya dengan bebas. Sudah 3 tahun ia merenda nuansa baru tanpa papan tulis, seragam korpri, kumpulan bocah berseragam merah hati dan tumpukan tugas yang harus diselesaikan seorang guru.

30-an tahun ia telah melukis sejarah perjuangan bangsa dari satu ruangan ke ruangan lain, dari satu sekolah ke sekolah lain. Puluhan tahun pula ia menjadi saksi perjalanan setiap insan, pergumulan setiap ide dan gagasan, serta tumbang dan tumbuhnya generasi demi generasi.

Di waktu-waktu lalu, ia sudah tampil gagah dengan kapur tulis di tangan kanannya. Papan hitam menggores angka dan huruf. Satu persatu bocah-bocah kampung menumbangkan kebodohan, memandang masa depan dengan segenggam optimisme.

Ia telah menginspirasi melalui cerita dan legenda tentang kepahlawan para tokoh bangsa dan dunia. Ia menanam benih-benih kejujuran, kedisiplinan, integritas dan semangat juang dalam nurani anak-anak kampung yang belum terjamah kesejahteraan.  

Ia sendiri terhempas jauh dari hidup makmur. Meski demikian tak ada alasan baginya untuk membantu orang-orang lain yang berkekurangan. Spiritualitas Fransiskus Assisi yang menjadi andalah hidup rohaninya, menjadi suluh pandu di seluruh jalan hidupnya.

Ia ringan tangan. Kepada mereka yang kesulitan, ia tak pernah merasa tak punya apa-apa. Meski sedikit ia mengulur tangan. Terkadang kebutuhan pribadi dan keluarga dikorbankan demi mengangkat mereka yang paling membutuhkan.

Ia hampir tak pernah mengkhianati waktu. Setiap detik berkualitas untuk ditelaah dan direngkuh dengan penuh makna. Dunia pendidikan, lingkungan masyarakat, hidup beragama dan keluarga dihidupi dengan sungguh tanpa bersungut.

Ia banyak belajar dari sejarah ketidaksempurnaan keluarga dan masa kecilnya. Masa mudanya dipenuhi pergolakan dan pergulatan. Amarah dan air mata cukup untuk menggambarkan kisah hidupnya yang sangat emosional untuk diutarakan kembali.

Tapi ia tidak pernah menggerutu pada hidup apalagi menyumpah Sang Khalik kerena nasib yang harus ia pikul. Ia tidak menyalahkan siapa-siapa karena sejarah asuh dan didik yang ia dapatkan sedari dulu. Ia justru membusungkan dada, berjalan tegap dengan segudang harapan dan idealisme yang mesti diperjuangkan.

Ia memang dikenal dengan berbagai nama dan julukan. Julukan dan nama itu menggambarkan kepribadian dan sejarah hidupnya. Julukan dan nama itu berisi banyak rahasia bahkan fakta perih tentang dirinya. Tak perlu diceritakan di sini, lebih baik engkau menemukannya sendiri dengan bertanya kepadanya.

Tapi, seperti dirinya yang tak pernah mengingat salah dan dosa masa lalu, kisah baiknya perlu diceritakan. Meskipun ia tak setenar Bung Karno, Bung Hata maupun Bung Tomo. Kisahnya patut disejajarkan dengan mereka yang sudah bergelar pahlawan.

Ia bukan Ki Hajar Dewantara, yang telah menanamkan idealisme pendidikan di Nusantara. Tapi ia patut disebut sang eksekutor akademis dan tokoh pendidik yang handal.

Ia tidak bergulat di pentas pendidikan nasional. Kata-kata yang diucapkannya tidak dibukukan agar ia bisa dikenang dengan macam semboyan dan panduan. Tapi suaranya sudah didengar dan diikuti oleh anak-anak kampung, dari Waesepang sampai ke Waerana, dari Paundoa sampai ke Bonggirita, dari Bonggirita hingga menyudahi pengabdian di Munde. Tentang itu mereka yang pernah mengisi hari hidup bersamanya akan bercerita.

Sebagai anak, apalagi jika tidak bangga. Waktu yang sebentar di masa kecil memang tidak seberapa. Tapi ketika di masa tua barulah dapat merasa setiap makna. Tanggung jawab, disiplin, kerja keras, jujur, berbelas kasih adalah ajaran utama dan tak akan pernah lupa.

Tigapuluh tahun waktu telah terisi dan ia sudahi dengan bangga. Ia tidak mengharapkan apresiasi apalagi tanda jasa. Ia tidak mengimpikan pin emas, piagam penghargaan atau warisan tandatangan dari negara. Melihat generasi sukses di depannya itu sudah cukup. Karena dengan itu ia bisa bernafas lega.

Kini, dengan aktivitas kecil di istana mungilnya yang tak terlacak peta, ia menjalani hari dengan penuh reflektif. Tanpa penyesalan ia memandang masa lalu sejenak dan terus berjalan ke arah hari tua yang terus menjemputnya tanpa jenuh.

Selamat Hari Ulang tahun Pahlawanku, Fransiskus Jula. Senyum dan tanda hormat ini makin kokoh mengenang kisah kepahlawananmu. Tak sia-sia lahirmu di hari ini. Menjadi penerus kisah heroik dalam sejarah. Engkau pahlawan tanpa tanda jasa. Salam salut dan hormat.  

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *