Kopi Tuk; Kopi Tanpa Peduli Gengsi

0

Loading


Is Burhanu|Kontributor

Mari sederhana untuk yang luar biasa.

kopi telah menjadi sejenis life style. Kopi menjadi tolak ukur seberapa cantik pose seseorang dalam kesehariannya. Sebenarnya ini hanya sebuah letupan pikiran saya tapi saya kira ada benarnya juga.

Banyak orang berpose ria di banyak kedai kopi, kafe, atau citra sejenisnya dengan embel-embel gaul dan ‘sok’ seninya. Jadinya kasihan. Kesediaan virus corona mengekang semua orang tetap dalam rumah menjadi perusak mood begitu banyak orang.

Orang yang kecanduan nongkrong di kafe, kedai, atau sejenisnya untuk sekadar menikmati kopi menjadi terhambat. Keinginan macet, tersumbat di gerbang keluar rumah.

Dalam tulisan ini, sengaja saya menyebut kopi tuk sebab yang  terjadi adalah orang didesak untuk stay home. Orang akan kesulitan mengolah kopinya menjadi halus dengan gilingan. Jadi ya, solusi sederahana saya adalah tumbuk kopinya, haluskan dengan tangan sendiri. Itu saja.

Seandainya saya kopi, terkhayal bagaimana saya ditumbuk menjadi  bubuk-bubuk halus, hitam dan memesona. Setiap tumbukan adalah cerita perjuangan, bagaimana biji dipetik, mencintai panas matahari, memeluk alu dan ngencung yang setia mengajari saya mencintai rasa sakit, juga bagaimana doku mewadahi saya dengan ketulusan.

Tumbukan paling cantik adalah ketika saya diajari bagaimana menikmati setiap tekanan, meresapi setiap ayunan tangan, dan bagaimana saya diayak menjadi bubuk halus kopi yang  baik – halus yang benar-benar halus.

Sebenarnya sulit untuk menjadi orang yang dinikmati, tapi risiko menjadi bubuk halus kopi adalah siap untuk dinikmati. Apapun caranya. Di tangan para penikmat kopi, saya berharap ditakar sesuai selera saja, tidak perlu ciutan yang menyebabkan saya terlalu pahit atau pujian yang menjadikan saya terlalu manis.-ya begitulah.

Banyak orang yang menyoalkan pelengkap nikmatnya menyeduh kopi. Entah itu senja yang jatuh di seberang lapangan, senja yang dinikmati dari balik asrama di setiap petang yang sayang ditinggalkan, ataupun malam yang kelam dengan remang lampu neon yang ya….. begitulah. Juga tentang cantik kedai dan cafe yang barangkali sering kamu soalkan.

Bagi saya itu tak lebih dari soal selera. Seberapa hebat kamu memadukan nikmat kopimu dan saat-saat kamu meneguk hangat kopimu untuk kamu jadikan sebuah style yang seolah-olah khas kamu.

Perihal life style yang sebelumnya sempat disebutkan sebenarnya telah menjadi bahasan banyak orang. Prof. Nana supriatna, dalam Prosa dari Praha – narasi perilaku konsumtif masyarakat era kapitalisme global- menerangkan dengan jelas bagaimana masyarakat menjadikan ‘minum kopi’ sebagai sejenis gaya hidup.

Semakin sering orang minum kopi, semakin tinggi tingkat life stylenya. Banyak orang disibukkan dengan minum kopi di kafe, kedai, atau di tempat lain lantas mengumbarnya didepan banyak orang sekadar menunjukkan bahwa ‘ saya mapan’. Nah, dengan pendasaran itu, saya menyimpulkan  orang yang kecanduan nongkrong di kafe, kedai, atau sejenisnya akan dirugikan dengan mengemukanya covid_19.

Sekadar menyumbang solusi, saya kira ada benarnya jika kopi tak perlu dihaluskan di gilingan– jika memang punya kopi biji-  untuk mengantisipasi tersalurnya mata rantai virus ini. Tidak bermaksud merugikan pemilik gilingan kopi, tapi barangkali lebih nikmat menyeduh kopi hasil tumbukkan sendiri. Selain untuk alasan kesehatan, percaya atau tidak, rasa kopinya lebih aduhai dibandingkan kopi pabrik yng dilelang di toko-toko atau di mana lah…

Seusai diseduh, kopi tuk akan menyisahkan banyak ampas yang barangkali bagi kamu tidak berguna sama sekali, diabaikan, lantas dibuang di setiap cucian piring-piring kotor. Di Manggarai, bahkan ampas kopi adalah Tuhan sementara. Menebak cerita apa yang akan kamu temukan esok atau lusa nanti dari setiap tirisan ampas kopimu. Jadi sayang, saya berkhayal menjadi kopi tuk agar saya berguna sejak saya menjadi biji sampai kamu menjadikan saya ampas di setiap cangkir kopimu. Sebab kopi tuk adalah kopi yang menyisahkan ampas paling banyak dibandingkan dengan kopi-kopi yang kamu nikmati di setiap kedai dan cafe.

Nikmati kopimu dengan semaumu saja!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *