Kota Hidup dan Wajah Baru Bundaran PU Kupang
Bruno Rey Pantola|Redaksi
Sebagai petualang amatiran, baru beberapa kota di Indonesia yang sempat saya kunjungi. Bahkan beberapa di antaranya sering menjadi tempat saya “bermain” rindu. Sekitar tahun 2016, saya mulai berkelana dari kota Kupang menuju Balikpapan, kemudian meneruskan perjalanan ke Samarinda dan berakhir di kabupaten Kutai Barat tepat di ibu kotanya, Melak.
Perjalanan dari Kupang ditempuh menggunakan kapal. Adapun pelabuhan persinggahan saat itu sepert, Larantuka, Maumere, Makasar, dan Pare-Pare. Saking hidupnya suasana kota-kota tersebut, saya tak sungkan untuk bertemu dan berkenalan dengan banyak orang. Itu pulalah alasan saya bertualang.
Dalam perjalanan dari Balikpapan ke Kutai Barat, saya melewati beberapa kota di Kalimantan Timur. Salah satunya adalah Tenggarong. Tenggarong tempat paling melekat di benak saya. Kota ini sudah sering saya dengar namanya di film Wiro Sableng yang diperankan oleh Ken Ken sekitar tahun 2000-an dan film ini booming di masanya. Di mana kala itu tv di kampung hanya satu, yakni milik salah seorang guru Sekolah Dasar. Tiap malam kami berebut tempat paling dekat dengan layar tv.
Pada tahun 2017, saya berangkat dari Timor ke pulau Jawa. Pulau yang peradaban pembangunannya jauh di atas pulau lain di Indonesia. Tentu banyak orang memilki keinginan untuk sampai ke pulau Jawa, tidak terkecuali bagi mereka yang ingin menetap untuk beberapa waktu demi keperluan tertentu. Misalnya untuk pendidikan.
Saya memang ke Jawa dengan alasan demikian. Awalnya di Surabaya, lalu berpindah ke Kediri cukup lama, dan akhirnya memilih untuk menetap di Yogyakarta. Kota yang katanya istimewah plus kota yang terbuat dari rindu, kata Joko Pinurbo sang penyair asyik itu. Saya juga pernah menyambangi kota Jakarta, kota yang bila dibandingkan dengan kota Kupang bak seribu berbanding satu untuk masalah Kota Hidup.
Kota Hidup dapat saya defenisikan sendiri dengan pemahaman ala kadarnya saya, bahwa Kota Hidup adalah kota yang suasananya ramai tetapi tetap tertib; kota yang dapat menumbuhkan interaksi sosial masyarakat; kota yang memberikan ruang bagi semua masyarakat untuk mengembangkan ekonomi kreatif; kota yang ramah; kota yang literer; kota yang asri; kota yang memberikan peluang bagi setiap usaha masyarakat dan kota yang penuh kasih, tentunya.
Lantas apa yang mendorong saya menceritakan petualangan yang tidak jelas pada kota-kota ini? Mari simak!!
Tentu tanpa alasan saya menyebutkan nama-nama kota itu. Bagaimanapun juga, tempat-tempat itu memiliki kesan dan kenangan tersendiri setiap mengarungi petualangan saya. Di Surabaya, saya pertama kali melihat kereta “menari” di atas rel. Di Kediri, saya temukan pabrik rokok Gudang Garam yang sebelumnya saya nikmati kepulan asapnya. Dan Kediri yang mengenal proses pembuatan rokok tersebut kepada saya.
Di Jakarta, banyak bangunan pencakar langit yang mencengangkan. Maklum saya baru melihatnya waktu itu. Dan di Yogyakarta, tempat saya merana. Asyiknya, saya menemukan sebuah kebiasaan di mana orang tidak makan, masih punya kesempatan berdiskusi. Ada Malioboro (pusat kota Yogayakarta) yang ramai pada malam hari dengan berbagai aktivitas, mulai dari transaksi jual beli hingga kegiatan-kegiatan literasi dan sastra. Kota yang terkenal literer ini, tentu menjadi incaran kaum muda. Semoga benar!!
Sebelumnya, dugaan yang muncul ketika akan tiba di sebuah kota adalah, kota itu memiliki bangunan yang tinggi, banyak pabrik, jalanan macet, macam-macam jualan, banyak orang gila, pengemis, taman baca, tempat prostitusi, dan interaksi sosial lainnya. Benar, setiap kota nyaris tak terlepas dari ritme kehidupan tersebut.
Terlepas dari semuanya, saya selalu menemui jalan untuk pulang. Mungkin digiring rindu. Tetapi saya meyakini Kupang adalah magnet dari setiap tujuan kepergian saya. Kupang seolah mendesak pulang, menuntaskan apa yang telah dimulai di kota lain untuk diselesaikan di kupang. Yang telah dimulai itu adalah cita-cita.
Kupang, kota di mana saya menghabiskan masa remaja. Kupang adalah sebuah kota terbesar di Pulau Timor yang terletak di pesisir Teluk Kupang, bagian barat laut pulau Timor, dan juga sebagai ibukota dari provinsi Nusa Tenggara Timur. Konon, kota ini dinamai Kota Kasih. Entah “kasih” sebesar apa yang menjadi terminologi finalnya “Kupang” sebagai penyandang kota kasih. Saya pikir ini adalah sebuah pertanyaan menggugat diri sendiri. Saya pula yang akan menjawabnya, dan di ruang privat paling sunyi.
Jika Anda sekalian ingin bertandang ke Kupang, ada beberapa tempat indah yang bisa dikunjungi. Selain pantai Lasiana yang indah dan permai, Anda juga bisa bersantai di Tedis ditemani jagung bakar buatan Ina dan Ama di sana. Atau bisa menikmati salome di Taman Nostalgia, dan masih banyak tempat-tempat yang tak kalah indahnya. Tempat-tempat ini selalu menjadi objek wisata yang mengasyikan bagi anak muda dan tentunya masyarakat umum. Hampir setiap hari tempat-tempat ini selalu dipenuhi dengan pengunjung: wisatawan lokal maupun wisatawan mancanegara.
Kupang selalu menjadi ibu bagi saya untuk pulang dan berteduh di bawah langitnya. Walalupun kota Kupang terkenal memiliki suhu udara lumayan panas serta tanahnya dipenuhi batu karang, tetapi ada saja aspek lain yang membetahkan di sana.
Yang paling menarik bagi saya sekarang, Bundaran PU atau sering disebut sebagai Taman Tirosa. Tempat ini, sebelumnya (sebelum tahun 2019) memang sudah ada. Bangunannya adalah patung tiga orang bergandengan. Patungnya lumayan tinggi. Di sekelilingnya tumbuh beberapa pohon yang membuatnya sedikit terlihat seperti hutan di tengah kota dan sama sekali tak terurus. Banyak sampah berserakan di sana. Lampu jalan banyak tidak berfungsi (rusak), sehingga melewati tempat ini pada malam hari hanya akan mendapatkan bersitan sinar dari hypermart yang kebetulan dibangun persis di samping bundaran tersebut. Sangat disayangkan kan? Padahal tempat tersebut persis di pusat kota. Lalu apa yang akan dilihat orang dengan keadaan kota seperti demikian?
Tapi sabar dulu. Kini, pemerintah berinisiatif merenovasi tempat ini. Patung tersebut yang adalah inti dari bangunan ini didesain dengan dikelilingi sebuah kolam. Di bumbungan patungnya dipasang beberapa lampu warna-warni. Tamannya ditanami bunga-bunga yang membuatnya lebih aduhai dari sebelumnya. Indah kan? Laron-laron dipasung di sepanjang jalan, juga pada taman-taman di sekelilingnya. Untuk ini, saya patut berterima kasih kepada masyarakat dan pemerintah kota yang bersedia bekerjasama membangun tempat ini. Selain itu, kita semua berharap bahwa perlu ada kesadaran dari setiap individu untuk menjaga kebersihan dan keasrian tempat ini, dan yang paling penting adalah pemerintah menanam kembali pohon-pohon di beberapa bagiannya agar tidak terlihat gersang.
Terlepas dari semua pembangunan secara modern itu, Bundaran PU kini menjadi salah satu tempat yang menghidupkan kembali interaksi sosial masyarakat di kota Kupang. Perkembangan ekonomi mikro kelas menengah mulai tersalur secara sehat. Banyak pedagang kaki lima mendapatkan wadah untuk bertransaksi. Anak muda menemukan tempat melepas rindu, berbagi cerita dan bersendagurau di sana. Namun, ada yang paling menarik bagi saya. Banyak anak muda progresif yang menjadikan tempat ini untuk memperkenalkan literasi. Bahkan sekarang, tradisi literasi mulai hidup di kota ini. Beberapa teman dari Leko Kupang sudah beberapa kali mengadakan diskusi dan kencan buku di tempat ini (saya sempat hadir walau terlambat). Bahkan setiap minggu, mereka bermanuver ke semua tempat ramai seperti Taman Nostalgia dan lain-lain. Saya berpikir bahwa ini terobosan baru yang patut diapresiasi, sebab menarik minat anak-anak, orang muda, bahkan orang tua untuk lebih dekat dengan buku dan tulisan. Bukankah ini pekerjaan terbaik nan mulia? Mari.
Terkait “wajah baru” Bundaran PU ini, kita hendaknya memiliki ide kreatif yang melampauinya. Mempercantiknya agar makin jelita. Dengan adanya wadah seperti ini, pemerintah harus bersedia membuka ruang bagi masyarakat agar tidak saja menjadikan tempat ini sebagai lahan perekonomian, tetapi juga sebagai arena festival kebudayaan bagi masyarakat, di mana, NTT adalah masyarakat yang memiliki budaya yang berbeda-beda dan masih banyak kekayaan masyarakat NTT yang dapat dikembangkan dengan hadirnya landmark ini. Saya melihat bahwa Yogyakarta telah melakukan itu. Tempat-tempat umum juga digunakan untuk pertujukkan dan festival kebudayaan serta sastra. Di sini, saya tidak coba membandingkan kedua tempat ini, tetapi apa tidak lebih baik kita meniru sesuatu yang baik? Kehidupan kota harus mencakup segala aspek dan kepentingan seluruh masyarakat tanpa terkecuali. Sehingga investor-investor besar tidak melihatnya sebagai lahan untuk melanggengkan kepentingannya sendiri.
Pada akhirnya, saya mengucapkan terima kasih bagi semua saja yang berniat membangun kotanya dengan cara-cara yang progresif. Pada tulisan ini, harapan saya adalah, pemerintah tetap konsisten membangun infrastruktur yang berbasis kepentingan masyarakat.
Salam!!