Kuliah Lain, Kerja Lain: Bagaimana Calon Mahasiswi-mahasiswa Menyiasatinya?
Kuliah itu sebetulnya untuk apa e? Dan mengapa masih saja ada yang dapat kerja tidak sesuai dengan apa yang mati-matian dipelajari selama di kampus?
Dear Ade-ade yang manis dan milenial, peluk-cium sayang dari Kaka. Sungguh bukan sebuah fakta baru, bahwa ada begitu banyak pendahulu-pendahulu kalian yang kuliah lain, kerja lain. Yah, semacam yang pacaran dan mesra-mesra, sayang-sayangan sama si X, eh, di undangan nikah malah muncul wajah si Y. Yang 4 tahun bahkan lebih berjuang keras mengejar S1, eh, saat tamat, malah kerja di tempat yang tidak sesuai dengan jurusan yang diambil. Itu kenapa eeee?
Agar kalian tidak bingung, dan saya tidak mau menyiksa kalian yang barangkali saat ini sedang cari kos, belanja pakaian yang keren-keren biar sesuai tuntutan kehidupan kota karena dari TK sampai SMA kalian di kampung, maka baiklah saya kasih contoh konkret.
Saya punya teman, saat tamat SMA dulu, katakan pada saya bahwa dia akan ambil D3 Kebidanan di Kupang. Lama tak berkabar, kaget-kaget pada suatu siang, saya lihat dia lagi layani nasabah di sebuah bank di Bajawa. Pegawai bank dia kini. Buset. Lain lagi, saya punya kawan yang kuliah Pertanian. Bosan kerja kantoran, dia putar haluan buka studio foto dan video. Lain lagi, kawan baik saya yang sudah seperti saudara, dia sarjana Sastra Inggris. Wah, waktu tamat, saya lihat dia tenteng kamera dari pesta ke pesta. Fotografer keren dia sekarang. Ada juga yang kuliah filsafat, saat ini malah enjoy pake bingits pelihara babi. Contoh terakhir itu saya sendiri. Duaaarrr….
Nah, bertolak dari contoh-contoh nyata ini, dan masih banyak contoh lainnya yang bisa kalian sebut dalam hati sambil terus membaca ini, satu pertanyaan penting sebaiknya mulai kalian renungkan: apakah jurusan yang saya pilih kini, sungguh dapat menjamin hidup saya 5 atau 6 tahun yang akan datang?
Tenang dulu. Jangan panik. Saya tidak bermaksud menakut-nakuti. Juga tidak kemudian buat kalian angkat HP telepon orang tua di kampung bahwa kalian ingin pindah kampus, pindah jurusan, atau malah mau pulang dan kerja kebun saja. Tidak demikian, Diks.
Lalu, bagaimana menyiasatinya? Atau, bagaimana agar kalian terus lanjutkan pilihan yang sekarang sambil memikirkan perkembangan 5 atau 6 tahun kemudian?
Sini, Kaka kasih tips.
Kreatif
Bila sejak TK sampai SMA, kalian tidak pernah jadi orang kreatif karena apa-apa selalu cengeng dan mengadu ke ibu dan ayah, om dan tanta, opa dan oma, baiklah kalian mulai hidupi itu sekarang. Tak perlu buang-buang waktu bayangkan betapa kalian akan disiksa atau dipermainkan oleh senior-senior saat ospek nanti. Ospek itu fana, Diks, deadline tugas puluhan mata kuliah abadi. Apa sih? Hahaha….
Jadilah kreatif. Caranya? Begini. Jangan hanya “Ahssiaapp ahsiiaappp” tiap hari, tapi tirulah semangat Atta Halilintar. Pelajari dunia per-youtube-an, belajar bikin konten kreatif, dan selamat, uang rokok atau uang untuk catok rambut sudah bisa kalian dapatkan sendiri meski sambil kuliah. Ingat, konten kreatif, oke? Jangan tiru artis-artis itu yang bongkar-bangkir rumah orang, yang bosan jadi selebriti malah mau jadi dan merampas hak pemulung, atau sejenisnya. Semua itu sampah dan tidak edukatif. Syukur mereka lebih dahulu artis. Kalau tidak, malu-malui saja itu. Uang dirasa masih kurang, rela jadi bodoh. Jangan tiru konten mereka, karena sesampah-sampahnya konten mereka, mereka sudah punya followers yang tak kalah begonya.
Lain lagi, belajar design grafis. Ini penting. Revolusi 4.0 yang meski belum kalian bahkan saya sendiri juga pahami arti dan tujuannya, menuntut salah satunya keahlian di bidang ini. Sambil kuliah sambil kerja poster atau baliho caleg kan enak. Dapat duit traktir gebetan. Jualan online juga boleh, jadi tukang ojek di bawah beberapa layanan antar-jemput itu juga keren. Bila kemudian kelak saat tamat kalian gagal tes PNS, ditolak di perusahaan ini, penerbitan itu, media sana, media situ, buah dari kreativitas itu bisa kalian kembangkan. Oke?
Lawan Arus
Tentu banyak di antara kalian yang terpaksa pilih kampus dan jurusan yang sekarang, karena paksaan keluarga, ya kan? Lawan itu nanti. Bila kalian terpaksa kuliah Keperawatan karena Mama mau ada yang ikut jejak Mama, lawan itu. Bergabunglah dalam organisasi kemahasiswaan, belajarlah berpolitik, ikut aksi massa, bakar ban depan gedung DPR menuntut hak-hak dasar warga, dan jadilah caleg kelak.
Lawan arus, Diks. Arus deras yang mengalir dalam harapan keluarga itu mesti kalian lawan. Bila dosen filsafat di depan kalian itu gaya mengajarnya jelek dan bikin ngantuk, bawa dan bacalah novel di tempat duduk kalian. Jadilah novelis kelak, jadilah sastrawan, diundang ke sana ke mari, dapat honor besar meski karyanya buruk, dan bekerjalah untuk keabadian. Bila profesor ilmu politik di depan kalian itu bicaranya selalu memojokkan 02 dan mengagung-agungkan 01 dan kalian jijik sama politik, bawalah HP ke kelas. Buka Mojok atau portal berita online lainnya yang bisa menghasilkan duit, belajarnya menulis esai. Kan lumayan, bisa bayar kos kalau esai dimuat dan dapat duit.
Jadi itu, memang cuma ada satu kata: lawan! Lawan, Ade. Lawan!
The Power of “Orang Dalam”
Akhirnya, kita tiba pada tips terakhir. Tips ini jelas membantah dua tips sebelumnya. “Orang dalam”. Apa itu? Yah, pastikan kalian punya keluarga yang punya posisi penting dalam sebuah kantor atau perusahaan. Otomatis, meski kalian pulang dan bawah ijazah perawat, kalian enteng saja kerja di Dinas Kehutanan. Atau, saat teman-teman kalian kerja keras antar lamaran, kalian tidur-tiduran saja dengan ijazah dan sederet sertifikat sebagai bantal. Toh nanti saat Om lolos jadi gubernur, kalian otomatis jadi pegawai.
Dalam ajaran Kristen, ada 3 kebajikan utama: iman, harap, dan kasih. Yang terbesar di antaranya adalah kasih. Di NTT, rumusan ini ramai diubah. Ada 3 kunci hidup sukses: tekun, disiplin, dan orang dalam. Dan yang terbesar di antara ketiganya adalah orang dalam.
Jadi, kalau sudah ada “Orang dalam” yang masih 10 tahun lagi baru pensiun, santailah dalam kuliah kalian, Diks. Perbanyak pacaran, berbanyak jalan-jalan, perbanyak selfie-selfie, toh nanti, IPK 1.21 pun, enteng saja jadi pegawai. Oke?
Selamat bertempur, kuliah itu asyik. Tidak kuliah dan bertani-beternak juga tak kalah asyik. Peluk hangat, muaachhh.
Penulis: Reinard L. Meo|Meka Tabeite|