Labuan Bajo Tidak Layak Berlabel Wisata Halal
Masyarakat Flores-NTT dan sekitarnya sedang ramai membicarakan tentang isu konsep wisata halal untuk diterapkan di Labuan Bajo. Ini asyik. Sungguh. Mengembangkan konsep wisata halal di tempat wisata yang terbuka untuk umum, yang datang dari kalangan manapun. Apa-apaan ini, Ferguso?
Wisata halal itu apa? Wisata halal merupakan sebuah konsep wisata yang mengutamakan unsur kehalalan beberapa aspek yang terkait dengan kegiatan wisata. Halal mencakup segala sesuatu yang digunakan untuk fisik dan bathin manusia yang tentunya bebas dari bahaya. Pada umumnya halal harus meliputi harta, makanan, minuman, kosmetik, obat-obatan yang material dan penanganan penyakit atau masalah hidup. Oleh karena itu objek wisata halal terkait dengan penyediaan tujuan wisata berupa hotel, rumah makan, restoran dan lain sebagainya yang menggunakan material halal dan baik. Standar halal ini diukur melalui prosedur yang memenuhi syarat sertifikasi halal. Halal itu baik dan terjamin aman dari bahaya sehingga wisata halal baik untuk semua orang tanpa memandang agama yang dianut.
Mengapa ada perdebatan yang ramai di antara masyarakat Flores-NTT terkait wisata halal yang akan dikembangkan di Labuan Bajo? Konsep halal ini sejalan dengan ajaran agama. Muslim, misalnya. Tidak perlu kita jelaskan lagi bahwa mengonsumsi daging babi, anjing, dan minuman-minuman beralkohol adalah haram bagi umat Muslim. Artinya tidak halal. Hal yang paling disoroti dalam konsep pariwisata halal ini adalah makanan dan minuman di atas. Namun, tahukah Anda bahwa sebagian besar masyarakat Flores adalah non-muslim yang kegiatan ekonominya sebagai peternak babi, anjing, penyuling sopi (baca: arak tradisional Flores) untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka? Kalau konsep pariwisata halal ini diterapkan di Labuan Bajo, bagaimana dengan kelangsungan hidup mereka selanjutnya? Apakah mereka harus beradaptasi dengan situasi yang baru dan memulai mata pencaharian dengan pekerjaan baru? Well, cukup direnungkan dulu.
Mari kita bahas lagi dampak yang terjadi apabila konsep wisata halal ini berlaku di Flores. Manggarai adalah salah satu daerah di Flores-NTT yang sangat berpegang teguh pada adat istiadatnya. Dan, adat Manggarai tidak terlepas dari babi dan arak untuk keberlangsungan prosesi adat tersebut. Ini sudah menjadi praktik yang diterapkan turun temurun. Sehingga sangat bertentangan dengan konsep wisata halal itu sendiri.
Daerah-daerah wisata di Flores sudah berdiri dengan wajahnya sendiri. Tidak perlu ditambahkan lagi dengan mengadopsi konsep dari luar yang akan mengganggu kebudayaan masyarakat setempat. Bukankah tamu harus menghargai dan menjalankan aturan di dalam rumah yang dikunjunginya? Adakah tuan rumah yang dengan sengaja menyuguhkan makanan atau minuman yang tidak disukai oleh tamu sebagai jamuannya? Masyarakat Flores tidak sekonyol itu, Gaess..!! Mereka tidak akan memberi atau memaksa tamu untuk mengonsumsi daging babi kalau bagi tamunya bahwa daging babi itu haram. Begitu pun dengan minuman dan hal-hal lain. Mereka sudah paham soal itu, Saudara-saudari.
Labuan Bajo, Pulau Komodo, Pulau Padar dan sekitarnya adalah daerah pariwisata konvensional yang tidak butuh ditambahkan lagi dengan konsep wisata halal. Pariwisata di sana terbuka untuk umum. Sebab tujuan berwisata adalah untuk orang-orang merayakan hidupnya di alam yang terbuka. Entah dia meminum minuman keras atau memakan makanan apa saja kesukaannya, entah dia berpakaian dengan gaya apa saja, itu urusan wisman yang melakoninya. Asal saja tidak menggangu ketenangan dan kenyamanan orang lain yang juga berwisata di sana.
Konsep pariwisata umum untuk tempat seperti di Labuan Bajo berbeda dengan konsep wisata rohani. Jika ingin menerapkan konsep wisata halal sila diterapkan pada tempat-tempat wisata rohani sesuai dengan keyakinan dan ajaran agama masing-masing. Halal bukan hanya soal makanan dan minuman tetapi juga cara berpakaian, sikap dan pikiran. Sebab menerapkan konsep wisata halal di tempat terbuka walaupun bisa namun juga perlu memperhatikan hukum adat daerah setempat. Jika bertentangan maka tidak perlu diterapkan. Bali yang mayoritas penghuninya adalah umat Hindu tidak menerapkan konsep wisata halal untuk semua tempat pariwisata terbuka di sana, kecuali di tempat-tempat wisata rohani. Di Bali orang-orang yang ingin merayakan hidup tidak saling mengintervensi satu sama lain. Mereka bebas berekspresi, bebas berkreasi dan saling menghargai satu sama lain.
Pada saat-saat tertentu tanpa disadari bahwa konsep wisata halal yang diterapkan di tempat umum bisa saja mendiskriminasi kaum-kaum yang lain. Orang-orang yang berpakaian seksi dinilai haram, orang-orang yang mengonsumsi daging babi juga dinilai haram. Kemudian kita lupa bahwa berwisata adalah persoalan merayakan hidup bukan soal halal dan haram. Oleh sebab itu, konsep wisata halal ini tidak layak diterapkan di Labuan Bajo.
Akhir kata, selamat menunaikan ibadah puasa bagi Saudara-saudara Muslim di mana pun berada. Marhaban ya Ramadhan.

Penulis: Itok Aman|Tuapanga Tabeite|