Lamalera, Laut dan Kehidupan yang Sakral

0

Loading


Mila Lolong|Kontributor

Levo Lamalera-Lembata tetap menjadi tempat yang teduh untuk menumpahkan segala rasa yang ada di dalam hati. Lamlera terletak di ujung selatan pulau Lembata.

Kali ini lagi saya mengunjungi Lamalera setelah dua tahun berlalu dengan kesibukan-kesibukan duniawi yang tak menentu.

Menuju Lamalera atau kerap disebut Levo Nuba tidaklah mudah, tiba di Levo Nuba membutuhkan tekad yang kuat dan sabar yang cukup. Jalan berliku nan terjal, menuruni lembah, mendaki bukit, letih nian. Tetapi semua kecapaian terbayar dengan pemandangan yang meneduhkan jiwa, dan dentuman ombak yang terdengar syahdu ketika memasuki perkampungan Lamalera. Sungguh damai.

Pantai Lamalera atau Ina Leva selalu menjadi pilihan pertama ketika tiba di Lamalera. Teh atau minuman apapun yang disediakan akan terasa hambar apabila belum menginjakkan kaki di pantai dan menghirup dalam-dalam aroma laut yang menghidupkan itu.

Ina Leva yang menghidupkan orang-orang Lamalera ini, seolah menghapus lelah dan letih kita setelah melewati jalan panjang nan liku. Pantai Lamalera memberi ketenangan bagi kita saat tiba walau sorak-riang anak kecil saat menyambut pulang perahu para Lamafa, memberi kehangatan.  Hempasan angin yang menghantar pulang perahu para Lamafa, seperti ibu yang selalu setia menanti kepulangan kita dan tulus memeluk dengan cinta yang tak kunjung selesai. Begitulah pantai Lamalera-Ina Leva.

Tampak dari tengah lautan Lamafa mengayuh perahunya pulang menuju pantai dengan nyanyian-nyanyian syukur yang diwariskan leluhurnya dan sesekali memohon kepada angin dengan bernyanyi pula agar angin bertiup sedikit kencang untuk membantu memulangkan perahu mereka. Sambil menyerukan kata “hilibe….hilibe….hilibe!”.

Setibanya di pinggir pantai, mereka Lamafa beserta perahu dan hasil tangkapannya dijemput oleh para ibu, Mama janda dan anak-anak. Para ibu dan Mama janda duduk dengan penuh harap—biasanya sambil merapalkan doa Karonka sebab sore itu pukul tiga. Begitulah orang-orang Lamalera yang selalu punya keyakinan penuh bahwa Tuhan selalu melimpahkan rahmat-Nya melalui laut, yang adalah ibu yang memberi hidup bagi mereka. Ketika perahu pulang, anak laki-laki yang sedang bermain berlatih menombak menggunakan kayu kering seketika melepaskan aktifitasnya lalu menuju arah perahu untuk menyambut para Lamafa.  Mereka lalu bersama Lamafa mendorong perahu berisi hasil tangkapan menuju pondok yang berjejer di pinggir pantai, tempat perahu diletakkan. Begitulah semangat dan tekad mereka walau masih dalam usia anak-anak.

Bila musim Leva tiba—berkisar dari bulan Mei-Oktober, pada malam hari, pantai akan menjadi sepi. Hanya terdengar dentuman ombak yang terhempas di bebatuan, ditambah angin sepoi yang teduh. Damai nian! Orang-orang Lamalera di sekitar atau para wisatawan pun tidak diperbolehkan untuk duduk di pantai pada malam hari, apalagi anak gadis. Itu pemali. Orang Lamalera memegang teguh tradisi dan budaya para leluhur. Laut bagi mereka seperti cermin. Laut adalah cerminan diri para Lamafa. Apabila ada kesalahan di dalam diri Lamafa, maka seorang Lamafa tidak akan mendapatkan ikan ketika melaut.

Apabila Lamafa itu tidak rendah hati, angkuh dan tidak bijaksana dalam kehidupan berkeluarga dan masyarakat, maka, ketika menombak ikan paus sekuat tenaga pun luka tombakannya tidak dalam. Begitu pula sebaliknya.

Ketika pergi melaut, istri para Lamafa tetap di dalam rumah. Mereka menenun dengan sabar sambil menghitung waktu untuk berdoa demi keselamatan suami atau anaknya yang sedang ada di laut. Proses melaut dimulai dengan doa, diiringi dengan doa dan disambut dan  diahkiri dengan doa pula. Begitu sakral proses melaut bagi orang Lamalera.

Maka menjadi istri Lamafa dan ibu putra putri lautan yang akan tinggal di Levo Lamalera tidak gampang. Harus menjadi ibu yang panjang sabar, sabar berdoa dan menanti pulang para pelaut, harus menjadi ibu yang setia, setia apabila suatu saat ada bahaya dan salah satu istri Lamafa harus menjadi seorang janda, harus menjadi ibu yang tetap rendah hati dan bijaksana.

Kemudian, Gripe atau tangga alam yang sekarang sudah dimodifikasi, yang konon katanya sebagai penghubung atau jembatan desa Lamalera A dan desa Lamalera B. Gripe ini menjadi salah satu kekhasan di Kampung Lamalera. Apabila ada sebutan atau kata “Gripe” itu hanya ada di Lamalera-Lembata.

Gripe  juga selalu menjadi salah satu pilihan untuk mengabadikan momen.

Lamalera kampung para pelaut, kampung para Lamafa, di mana putra-putrinya dibesarkan dari Ibu Laut. Sungguh aku terenyuh!

Aku akan datang lagi. Nanti!

Lamalera di suatu subuh

2020

Ina leva: ibu laut

Lamafa: laki-laki yang menombak ikan paus.

Gripe: Tangga alam

Hilibe: Teriakan untuk memberikan semangat

Levo Nuba: kampung halaman

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *