Dari Tepi Sungai Babilon; Memandang Bumi Diterjang Covid-19

4

Loading


Fr. Fridz Sandru, CMF|Kontributor

Di tepi sungai itu aku bermenung seorang diri. Hari mulai menjelang malam. Sepih! Sunyi! Mencekam! Tiada seorangpun menghampiriku untuk bersua.  Entah apa yang kupikirkan kala itu, aku tidak tahu pasti. Yang pasti bukan politik, bukan pula ekonomi, apalagi misiologi. Mungkin yang kudengungi ialah persoalan filosofis-teologis mengenai krisis yang tengah terjadi saat itu. Tapi, entahlah! Yang pasti bahwa aku sedang berpikir.

Di sela jemari kananku tersedia sebatang rokok yang siap untuk kulucuti. Hanya dia yang mungkin tahu dan mengerti benar tentang perasaan dan gejolak pikiranku kala itu. Sambil menghisap batang rokok itu, aku menatap ke arah selatan, kulihat sebuah perkampungan yang sejak kemarin dulu diluluhlantakan oleh brutalnya Covid-19. Dari berita yang kudengar, betapa sadis dan ganasnya virus tersebut. Ribuan manusia telah meninggal dunia, ekonomi negara melemah, dan hampir semua kawasan di seluruh penjuru dunia di-lockdown. Semua aktivitas yang melibatkan banyak orang pun dilarang. Semua orang stay home

Aku sempat skeptis mendengar berita itu. Dan ternyata itu benar. Kusaksikan sendiri dari tepi sungai itu. Aku pun meratapi kehancuran perkampungan itu seorang diri. Layaknya Nabi Yeremia yang meratapi kehancuran Yerusalem. Air mataku jatuh tak kusadari. Aku tenggelam dalam kesedihan yang mendalam. Mataku tak henti-hentinya menatap dan menatap. Hati dan pikiranku bergejolak. Ada apa dengan negeri ini? (Inilah seberkas moment yang masih sempat kuingat dan kini kukisahkan).

Ketika mata dan pikiranku bersua menatap perkampungan yang hancur itu, aku sempat bertanya apakah ini permulaan dari dekonstruksi (penghancuran)? Apakah dunia sedang bermain dalam dekonstruksi Derrida, bahwasanya “budaya lama harus dihancurkan dan kemudian suatu budaya yang benar-benar baru” akan dibangun (konstruksi). Pikiranku berkeliaran mencari jawaban. Apakah benar?  Aku galau. Mungkin ini yang dikatakan orang sebagai kegalauan filosofis. Mungkin ia, mungkin juga tidak.

Sejenak aku terperosok ke kedalaman teori dekonstruksi Derrida itu. Aku dilema. Jika memang Derrida yang meng-otak-i munculnya malapetaka itu, alasan kiranya jelas karena menurut takarannya “budaya lama” buruk adanya dan tidak pantas untuk dihidupi. Budaya lama layaknya “sampah” yang harus dibakar atau tepatnya dibinasakan. Covid-19 adalah “Api” yang membumihanguskan budaya lama sekaligus yang membangun budaya baru.

Namun, bilamana ditelisik dari kacamata Teologis, para teolog pasti tidak menyetujuinya. Mereka stress dan frustrasi mendengar konstruksi filosofis Derrida semacam itu. Sebab bagi mereka, teori dekonstruksi tersebut tidak akan pernah diterima sejauh itu bersifat menghancurkan atau mendekonstruksi. Allah tidak menghendakinya. Lalu apa jawabannya? Interpretasi apa yang kiranya bisa menjawabi kehancuran perkampungan itu? Apakah benar Covid-19 adalah “Api yg mendekonstruksi ala Derrida”?Ataukah Covid-19 ini adalah “Nabi Teguran” dari Sang Khalik? Dalam lamunanku senja itu, aku pun mengada-ada berbagai jawaban, lalu terlelap dalam kebuntuan.

Pada akhirnya aku bernostalgia dengan jawaban pada lagu Ebit G Ade “Berita Kepada Kawan”. Kuraba handphone Vivo-Y-12-ku sore itu, dan kuputar lagu itu. Dalam keheningan, kudengar dan kucerna makna liriknya. Demikian:

Mungkin Tuhan mulai bosan…

Melihat tingkah kita…

Yang selalu salah dan bangga dengan dosa-dosa…

Atau Allah mulai enggan…

Bersahabat dengan kita…

Coba kita bertanya pada rumput yang bergoyang.

Dalam kesendirianku bersama lagu itu, aku seakan menemukan jawaban yang tepat. Pikiranku mulai bermain merumuskan kesimpulan. Bahwasanya, kehadiran Covid-19 yang menghancurkan perkampungan itu membawa dua nilai; pertama, sebagaimana Derrida, ia menuntut pembaharuan dunia dari budaya lama yang menghancurkan lingkungan, memiskinkan dan bahkan membunuh sesama manusia menuju budaya baru yang ramah terhadap sesama dan lingkungan. Kedua, ia adalah “Nabi Teguran” yang memberikan pelajaran berharga bagi kelangsungan hidup manusia selanjutnya. Akupun mengurai harap, Covid-19 bukanlah “Api” yang membumihanguskan semesta lalu melepaskannya begitu saja melainkan “Jembatan” menuju pembaharuan dan pertobatan semesta.

4 thoughts on “Dari Tepi Sungai Babilon; Memandang Bumi Diterjang Covid-19

  1. Mantap saudara…dari Babilon semoga kita bisa kembali ke Tanah terjanji yang sedang dijarah COVID 19.
    SALAM LITERASI

Tinggalkan Balasan ke Fridz Sandru Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *