Langit-Langit Kamar dan Hal Tak Penting Lainnya

0

Aku dan langit-langit kamarku.

Loading


Apek Afres | Redaksi

Bagi saya, posisi tidur sangat menentukan. Entah apa sebabnya, yang jelas beberapa hari terakhir saya mulai menemukan pergulatan baru ketika memejamkan mata untuk tidur. Posisi menyamping ke kiri mengingatkan saya pada mantan yang tidak lapuk-lapuk amat. Posisi tidur tengkurap mengajarkan saya bahwa ternyata tidur itu penting; lumayan bisa menggapai mimpi-mimpi yang belum kesampaian.

Sebagai lelaki yang lumayan solutif, saya lebih memilih tidur menatap langit-langit kamar. Saya menyalakan lampu tidur, memutar lagu-lagu John Mayer, dan membayangkan bintang-bintang berjatuhan menghiasi sudut hari-hari saya yang belum berubah menjadi kejora dan purnama. Aseeeeeekkk. Pada akhirnya, saya memahami bahwa hidup itu seasik blue, seirama musik blues, dan senyaman menatap langit-langit kamar. Walaupun tidak sebecanda itu.

Saya memang sering kali dibentuk oleh hal-hal kecil yang tidak penting-penting amat. Saya tidak butuh menjadi Peter Parker yang digigit laba-laba terlebih dahulu agar bisa berjalan merayap pada bidang vertikal atau menjadi Cristiano Ronaldo supaya dikenal banyak wanita. Jika disuruh memilih, saya lebih nyaman menjadi wafer Khong Guan karena selalu menjadi rebutan di antara sekian banyak jenis isi dalam kaleng biskuit Khong Guan. Cuma satu, tetapi berisi. Hanya satu, tetapi bersubstansi. Cuma kamu, hanya kamu, dan kamu satu-satunya.

Kalau dipikir-pikir, saya tak hanya menjalani hidup yang polanya relatif penting, mau sikut-sikutan di setiap tahapnya, menekuni bidang tertentu, atau copas jawaban teman, agar dapat nilai baik saat ujian, membeli pakaian mahal agar terlihat keren. Bukankah semuanya untuk memaknai perjalanan hidup? Halal juga kok walapun tidak penting-penting amat. Langit-langit kamar saya dan hal-hal tidak penting lainnya lumayan buat saya berwarna. Bukan cuma pelangi yang berwarna, saya juga berwarna dan mungkin kamu juga berwarna, syukur jika lebih terang. Sungguh dari tampang saja sudah kelihatan kalau saya ini sosok yang berdiri di atas semua golongan (yang ini untuk warna Pemilu di tahun yang akan datang, eheem).

Minggu kemarin sebelum tidur, saya menatap langit-langit kamar saya. Saya tertawa sendiri. Kok tidak seperti langit yang warnanya sama ketika semua mata menatapnya, yang ketika senja semua orang menyebutnya jingga atau ketika sebelum hujan semua orang menyebutnya mendung, atau ketika sepasang kekasih mengucapkan janji-janji menyebutnya langit kasmaran. Mengapa? Saya jadi merenung sendiri. Kadang dunia memang tidak selalu tentang perkara yang penting-penting. Ada kalanya, dunia juga membutuhkan apa saja yang sejatinya tidak terlalu penting. Permenungan yang lumayan bermakna, karena setidaknya, kini saya jadi sedikit tahu, untuk apa Tuhan menciptakan buku bon, jari tengah lelaki, politikus, orang gila, koruptor, plakor, dan klub sepakbola Barcelona.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *