Maafkan Kami yang Agak Lemot Melupakanmu STKIP Ruteng

0

Loading


Edisi Redaksi: Popind Davianus|Tuagolo|

Sebelum basa-basi ini kita mulai, saya ingin menyampaikan kabar gembira untuk kita semua bahwa, per tanggal 13 November 2019 STKIP St Paulus Ruteng menempati peringkat 113 perguruan tinggi terbaik di Indonesia dan berhak masuk dalam klaster utama.  Kabar gembira ini wajib kita berikan tepuk tangan. Tepuk tangan dimulai!!…………(tepuk tangan selesai)

Keberadaan STKIP di tengah masyarakat Manggarai, bahkan Flores, tentunya berdampak positif terhadap dunia pendidikan. Agak susah membayangkan dampak dari, jika STKIP St Paulus tidak berdiri di Ruteng melainkan di Bima, Nusa Tenggara Barat. Pastinya, sekolah-sekolah di Manggarai akan kekurangan tenaga pengajar, Manggarai kekurangan sarjana dan kekurangan CPNS. Harus kita akui bahwa STKIP banyak mencetak sarjana berkualitas untuk sekolah-sekolah di Manggarai dan punya andil memajukan peradaban manusia di dalamnya.

Sayangnya, nama STKIP sudah terlanjur menancap di ingatan. Sekali pun statusnya bukan Sekolah Tinggi lagi, melainkan Universitas Katolik, hati kecil kami sepertinya lebih ringan menyebutnya STKIP. STKIP seperti mantan, maunya dilupakan segera, tetapi kenangan enggan menghendaki. Kan cukara’a itu kenangan tuh toh? 

Begini. Saya memang bukan mahasiswa STKIP, dosen apalagi. Tetapi semasa saya SMA, abang-abang gua, eh abang-abang saya, semuanya kuliah di sana. Warna almamater, baju prodi dan sebagainya yang merupakan atribut kampus, semua saya hafal. Apalagi mahasiswa dan mahasiswinya, hem, beberapa mantan saya. Kikuk-kikuk.

Dulu, saya sering dibayar untuk bermain keyboard ke berbagai stasi oleh anak-anak STKIP. Banyak dari mereka jago baca not, tapi sedikit yang bisa bermain keyboard untuk mengiring kor. Dipanggil lah saya anak SMA yang masih bau kencur, saat itu.

Latihan kor berbulan-bulan, naik oto kol ke stasi dan mengisi malam hiburan di stasi adalah kejadian yang membuat saya seolah memiliki ikatan emosional dengan STKIP. Baik dengan dosen, karyawan, mahasiswa dan lebih lagi mahasiswi.

STKIP lebih dari sekadar nama. STKIP adalah kenangan yang telah berpuluh-puluh tahun lamanya dibangun. Saya masih ingat, saat dulu saya bertanya ke om Saya,

“om nona jadinya kuliah di mana?”

 “Di STKIP to’a”

“Jurusan apa?”

“Pokoknya STKIP to’a,” jawabnya penuh semangat.

Saya tidak menghakimi om saya memberi jawaban yang salah. Saya kagum, betapa STKIP begitu melekat dalam ingatan masyarakat Manggarai. Cara mereka mempromosikan diri tidak membutuhkan biaya yang besar. Cukup kunjungan ke kampung-kampung, membawa paduan suara, menghibur masyarakat dan mempersembahkan sarjana yang berkualitas. Sejauh yang saya amati, STKIP tidak pernah menampilkan diri pada baris dan kolom iklan di media massa cetak.  Kekuatan HUMAS untuk mengemas STKIP agar dikenal dan memengaruhi masyarakat sangat sederhana namun tepat sasaran.

Andai hari ini STKIP telah naik status menjadi Universitas Katolik, mohon maaf, kami lemot untuk segera melupakan STKIP dan menggantinya dengan UNIKA. Alih-alih Universitas lebih tinggi tingkatnya dari Sekolah Tinggi, itu hanyalah masalah administratif. Mau STKIP, mau UNIKA selagi masih memberikan banyak dampak positif bagi Manggarai, kami akan selalu mendukungnya.

Kalau orang ikhlas menyebut Peterpan dengan NOAH, maka ada waktunya STKIP disebut UNIKA. Percaya saya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *