Manggarai “Punya Tombo”: Budayakan Kata “Ite” Daripada Kata “Hau”

4

Di rumah kecil persaudaraan dan kekeluargaan

Loading


Yofan Bosko|Kontributor

Bangsa  kita mempunyai ragam bahasa. Tiap bahasa mempunyai struktur dan nuansa yang berbeda-beda. Misalnya, satu kata tertentu yang dinilai sopan untuk penutur atau penggunanya, akan berbeda makna dan penggunaan  untuk orang dari budaya lain. Karena itu, penggunaan bahasa sangat penting dalam kehidupan sosial, khususnya dalam mengajarkan anak-anak sebagai generasi penerus, serta menjadi pelajaran buat kita semua untuk bertutur dengan sopan, baik dalam berbahasa Indonesia maupun berbahasa daerah.

Dalam konteks bahasa daerah, tidak jarang saya menemukan pengguna yang belum menggunakan bahasa daerah dengan sopan, khususnya dilakukan oleh mereka yang sudah dianggap remaja dan dewasa. Jika dilakukan Anak-anak, mungkin hal ini bisa dimengerti karena mereka dalam proses pembelajaran. Bisa jadi juga hal ini dipengaruhi oleh tempat di mana mereka bertumbuh. Yah, anak-anak kecil cenderung meniru apa yang dilakukan oleh orangtua termasuk dalam hal berbahasa.

Dalam konteks budaya dan bahasa Manggarai, Flores, NTT. Dalam berbahasa Manggarai, ada beberapa kata yang dipakai untuk menunjukkan aspek respek kepada lawan bicara. Seperti kata “ite” dan “hau.” Dua kata ini sama maknanya, tetapi konotasinya berbeda. Secara umum, kata “ite” bisa menunjukkan “Anda” dalam bahasa Indonesia dan “hau” merujuk pada “Kau”.

Dua kata ini biasanya dipakai dalam percakapan orang Manggarai sehari-hari . Saat yang masih muda (anak-anak, remaja, dewasa) berbicara kepada yang lebih tua, kami akan menggunakan kata ‘ite’. Tetapi kalau untuk teman sebaya, teman bergaul dan anak-anak, kami bisa saja menggunakan kata ‘hau’.

Kata ‘ite’ cenderung digunakan ketika berbicara dengan orang tua atau yang lebih tua. Sedangkan kara ‘hau’ biasa dipakai ketika berbicara dengan teman sebaya dan anak-anak. Ada sebagian anak yang sudah diberi pengertian oleh orang tua mereka, sehingga cenderung digunakan kata ‘ite’ ketika berbicara dengan siapa saja, entah yang seumuran dengan dia ataupun orang yang lebih tua.

Selain itu, cara berbahasa ini bisa merefleksikan tentang bagaimana anak dan orang muda itu bertumbuh. Seperti apa lingkungan yang mengitari proses pertumbuhannya. Bahkan hal ini juga menelisik sampai pada bagaimana orangtua mendidik mereka. Inilah tantangan untuk mengajarkan anak-anak dan kaum muda sekarang dalam hal berbahasa yang baik dan sopan. Sebab apa yang disampaikan lewat kata-kata tidak hanya menunjukkan isi pikiran, tetapi juga menampilkan (secara tidak langsung) karakter seseorang.

Karena itu, tidak heran dalam budaya Manggarai, saat orangtua mendengar anak-anak mereka menggunakan pilihan kata-kata yang salah, mereka selalu mengarahkan pada kata-kata yang baik dan benar. Bahkan ada orangtua yang langsung mengatakan bahwa cara berbahasa mereka tidaklah sopan. Hal ini perlu diperhatikan agar kita sadar dan tahu akan penggunaan kata yang tepat dalam berkomunikasi.

Akan tetapi, muncul  tantangan utama dalam mengajarkan cara berbahasa yang etis tersebut. Yaitu ketika orangtua tidak peduli pada proses komunikasi anak-anak mereka; juga para orangtua sendiri yang tidak berbahasa dengan elok dalam kesehariannya. Orangtua cenderung menggunakan kata-kata kasar kepada siapa saja yang dijumpai tanpa memandang status, gender dan usia. Akibatnya, anak-anak cenderung meniru cara berbahasa dari orangtua mereka. Jika mengimpikan cara berbahasa yang baik untuk seorang anak atau kaum muda, maka orangtua harus menjadi garda terdepan untuk mengajari mereka. Orangtua mesti berbahasa dengan sopan agar anak-anak dan kaum muda bisa menirunya. Inilah pekerjaan rumah kita bersama.

Dengan demikian, Cara berbahasa bisa menunjukkan karakter seseorang. Lewat pilihan kata, kita bisa tahu bagaimana seseorang mengalami pembentukan dirinya. Karena itu, apa pun budaya dan bahasa kita, kita mesti mengajarkan anak-anak dan generasi kita untuk berbahasa dengan baik, benar dan sopan dalam pergaulan sehari-hari. Tabe Yo Ite.

4 thoughts on “Manggarai “Punya Tombo”: Budayakan Kata “Ite” Daripada Kata “Hau”

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *