Manggarai: Laksana Permata yang Elok

Haeryantho|Kontributor
Saat itu senja masih memerah menampilkan keelokan Manggarai yang berbalut kabut dan tengah riuh rendah dalam hangat suasana musim panen yang mengasyikan. Tua-muda bersatu dalam nada syukur, memikul hasil panen dengan siulan kebahagiaan, menebarkan senyum pada tetangga yang juga tengah menikmati secangkir kopi pelepas lelah. Tak aneh atau sekilas sebiasanya saja, sebab ini khas situasi pedesaan saat panen raya. Rasanya begitu menggairahkan tiap mata yang memandang atau sekadar menggoda penyair tuk bersajak tentang indah panorama Nuca Lale ini. Tetapi, sayup-sayup suara tabuhan gendang dan gong bersahutan, juga nyanyian suka, terkesan disisipi aroma tuak bakok yang memabukkan, menggema pada langit-langit bebukitan. Ini tak biasa. Sepintas lalu itu saja tanggapanku.
Tanpa bertanya atau sekadar menaruh perhatian, aku mengabaikannya, maklum aku baru saja tiba di daerah sejuta keindahan ini. Tetapi, ketika senja hampir hilang tertelan malam yang ingin segera tiba, rasa ingin tahuku memuncak lalu aku bertanya pada tetangga tentang apakah arti semua itu.
Tinus, lelaki beranak dua itu menuturkan. Itu undangan bagi warga kampung untuk segera berkumpul di rumah adat atau dalam bahasa manggarainnya mbaru gendang. Lalu malam itu aku menyempatkan diri untuk mengikuti acara adat Manggarai yang dinamakan Penti. Selama mengikuti acara adat itu, aku berusaha fokus dan menggali makna di balik semua acara demikian. Lalu aku mendapatkan pengetahuan yang cukup utuh tentang penti. Baiklah aku kan menerangkannya.
Penti merupakan acara adat Manggarai, bertujuan untuk mensyukuri panenan mereka pada tahun itu. Dalam penti ada berbagai ritus yang sangat penting. Namun salah satu hal yang begitu menarik dalam Penti ini adalah doa-doa kepada leluhur yang bersisikan ugkapan-ungkapan khas Manggarai.
Doa itu pada akhirnya di sampaikan kepada Mori Kraeng. Inilah yang mengejutkanku, sebab masyarakat Manggarai ternyata telah memiliki peradaban yang maju dan bahkan mungkin istilah Mori Kraeng inilah yang kemudian diadopsi agama-agama besar yang ada di Manggarai saat ini, sebagai jalan menyebarkan ajaran mereka.
Mori Kraeng adalah sosok yang sangat dihormati dan disembah masyarakat Manggarai. Mori kraeng dipercayai sebagai yang Maha Kuasa. Bagi masyarakat Manggarai segala rezeki mengalir dari-Nya termasuk panenan yang melimpah. Mori Kraeng diyakini sebagai sosok yang tak kasat mata namun ada dan menjamin kehidupan masyarakat. Tidak tampak tetapi ada. Ada yang tak kelihatan namun menjiwai diri.
Inilah puncak peradaban religiusitas masyarakat Manggarai. Dan mungkin inilah kepercayaan yang sangat berbeda dari daerah lain yang semula, sebelum agama-agama resmi masuk ke Indonesia, hanya percaya kepada banda atau barang tertentu. Selain itu mereka juga percaya bahwa Mori Kraeng pun tetap memberikan penghidupan bagi leluhur mereka yang telah meninggal.
Hal ini mewujud dalam doa-doa mereka yang memohon agar para leluhur mendoakan mereka kepada Mori Kraeng. Sekali lagi, ini peradaban yang luar biasa sebab secara tak langsung masyarakat Manggarai juga telah meyakini bahwa masih ada kehidupan setelah kematian.
Malam itu, aku begitu terkesima dengan kemajuan masyarakat Manggarai. Malahan kupejamkan mata sembari memuja-muja sikap mereka yang tahu bersyukur dan memiliki kepercayaan bahwa ada yang senantiasa lebih besar dari mereka, sehingga mereka berlaku baik terhadap sesama dan bahkan kepada alam.
——
Pagi kuterbangun dengan semangat. Siulan angin malam nan mendinginkan tak meruntuhkan semangatku. Fajar baru saja merekah setengahnya. Namun aroma kopi pait memenuhi seluruh kampung yang memiliki natas (halaman kampung) cukup luas itu.
Celoteh ria Nkiong (Burung dengan siulan nan indah) menggema menyemarakan pagi yang belum utuh. Baru saja aku menenggak kopi itu, kumelihat banyak orang tengah berkumpul di natas, lalu suara gendang dan gong kembali terdengar, juga nyanyian yang begitu indah, yang pasti padat akan makna karena orang Manggarai banyak menggunakan ungkapan (go’et). Inilah kelanjutan acara semalam yakni Tarian Caci untuk mensyukuri panen yang mereka terima.
Sekilas Tarian Caci mugkin menimbulkan kengerian atau bahkan rasa takut yang akut. Tetapi perasaan itu hanya akan muncul dalam diri orang asing sepertiku atau paling tidak, bila perasaan itu ada dalam diri orang Menggarai, barang kali yang bersangkutan memiliki phobia tertentu . Dikatakan demikian karena pada dasarnya Tarian Caci merupakan suatu tarian yang memiliki banyak makna dan menampilkan sisi bahkan dimensi kehidupan yang berbeda.
Selain itu, tarian Caci juga merupakan perpaduan dari pelbagai seni yang berkembang dalam kehidupan masyarakat Manggarai. Caci pertama-tama adalah tarian yang menunjukkan kejantanan pria dalam menghadapi lawannya. Kejantanan pria dalam hal ini ditunjukkan melalui dua jalan yakni neka beke agu beke ata (pande beke ata).
Neka beke merupakan jalan yang selalu dicari oleh setiap peserta tarian Caci. Neka beke arti harafiannya jangan sampai kena pukulan lawan dan cambukannya meninggalkan bekas pada bagian tubuh kita. Sedangkan pande beke merupakan hal yang paling dicari lebih dari sekadar neka beke, karena ada orang yang berceletuk ringan tentang caci ‘toe ma gunan eme toe ma hena le larik data eme toe pande beke ata hitu cecupumai (tidak ada gunanya kalu kita tidak kena cambukan kalau kita tidak membuat lawan kita itu kena cambukan).’
Perlu diingat beke bukan hanya berarti mengenai lawan dengan larik tetapi lebih dari itu mengenai lawan dengan larik pada bagian tubuh yang paling di cari yakni wajah. Pande beke adalah tindakan melukai lawan pada wajahnya, sehingga mendapat poin yang besar. Selain pada dua jalan ini caci juga merupakan perpaduan dari beberapa seni seperti nyanyian (nenggo, paci), musik (dengan menabuh gendang dan gong), seni rupa (nggiling, panggal). Tak lagi ku sangsikan.
Manggarai adalah sebuah permata yang memiliki daya pikat yang luar biasa. Panorama budayanya yang begitu kaya, peradabannya yang begitu maju, dan kesatuannya dengan Mori kraeng sebagai yang tertinggi begitu mempesonakan. Di sana ada sae, caci, nundu ndake, rangkuk alu, danding, nenggo, mbata, lejong tau, ris-ruis-raes-raos, dan terutama ada Mori Kraeng yang mendamaikan dan mengatur semua alunan hidup masyarakatnya. Ia membuat segalanya baik.