“Melot”: Satu Kata dengan Sejuta Cerita

Pernah merasakan 'melot' ketika melihat foto ini? Sumber gambar: makassarinsight.com
Nando Sengkang | Redaksi
“Melot” adalah kata yang sederhana. Ia akan menjadi luar biasa jika diolah dengan kata, lalu menari di setiap mata pembaca Tabeite. Melihat judul tulisan ini, pembaca setia Tabeite akan merasa “Melot”. Dalam keterkejutan itu, rasio akan memainkan peranan primer, yaitu bertanya: “Melot?” Apa itu? “Ole ma, le melot tulisan ehgi ma…” satu kalimat pembuka dalam Bahasa Kolor. Begitulah “Melot” akan memantik setiap rasa “Melot?” di benak pembaca.
“Melot” adalah satu kata dalam bahasa Kolor, salah satu dialek di Manggarai Timur. Orang-orang Waerana yang berbahasa Kolor, termasuk kampung tercinta saya Munde, sering mengungkapkannya. Mungkin juga di daerah Manggarai Timur Bagian Utara (Mok, Mukun, Lempang Paji, Wukir, Runus dan daerah “ke atas”), Matim bagian Barat (Mano sekitarnya), serta Matim bagian Timur (Waelengga, Sambikoe, Waewole sekitarnya), pernah mendengar atau menjadikan “Melot” sebagai buah bibir teman gosip dan kopi sore.
Rasa “Melot” lahir dalam benak saya, ketika saya biasa mengamati fenomena pesawat lewat. Berselang 10 -15 menit selalu ada pesawat baru lewat di atas rumah, tempat tinggal kami. Saya tinggal di sebuah kota kecil, pinggir kota Metro Manila, yaitu Taytay, Rizal-Filipina.
“Ole ma, melot keta ngguat pesawat ko” suara hati begitu menghibur. Saat mendengar pesawat lewat, serasa tak begitu jauh, kepala saya menoleh ke langit. Badan pesawat seperti satu kota Borong begitu dekat di ujung mata. Berselang 5-10 menit, selalu ada pesawat baru, silih berganti menuju Ninoy Aquino International Airport, Filipina.
Mengamati fenomena pesawat membuat saya sedikit tahu jenis suara pesawat; jikalau suara begitu halus kemungkinan besar pesawat dari negara maju: Singapore Airlines, Qatar Air Ways, Fly Emirates dan milik tuan rumah Philipiness Air Lines. Sedangkan suara suka “ribut-ribut”, kemungkinan adalah pesawat negara berkembang di Asia Tenggara, termasuk pesawat lokal Filipina—mirip Susi Air di Indonesia.
Saya suka mengamati fenomena pesawat lewat. Walaupun sudah sering naik-turun pesawat, hingga maskapai luar negeri berkat kasih Nene Yesus—juga tidur di sana, hgang toe nganceng tambah, cio sina pesawat,—saya tetap “Melot”.
“Melot” adalah sebuah ungkapan saat kita berhadapan dengan sebuah objek yang baru. Bisa juga saat kita melihat sesuatu yang baru; alias “Baru pertama kita lihat”. Penjelasan bolak-balik kata saja e. Biar mudah mengerti atau buat ko pusing, intinya begitu saja e.
Dalam konteks tertentu orang-orang Waerana—termasuk kampung saya Munde yang punya pertigaan legendaris (Simpang Tiga Munde) dan klub ATM FC (Anak Tanah Munde)—“Melot” seperti sebuah ungkapan untuk mengejek seseorang yang merasa baru tahu atau pertama kali melihat objek tertentu, namun faktanya ia sudah tahu; “Melot gau ma; emo bail melot le; nekang ko melot ma, naik ata melot meu ma, zao talo ko melot ko”.
Misalnya dalam konteks saya pribadi, saya sudah sering melihat pesawat, naik-turun pesawat, namun saya tetap merasa “Melot”, sehingga kalau ada pesawat lewat, saya melihat dan mengaguminya. Saya memang “Melot”, “Nekang ko melot ko”.
“Melot” Kolektif
“Melot” secara kolektif pernah terjadi di kampung tercinta saya, Munde-Waerana. Om Google Map sudah pernah ke kampung saya, jadi kalau kita tanya Om Google di halaman pencarian web, Om Google akan segera menunjukkan kampung Munde dengan pemandangan rumah yang semakin padat. Ya, walaupun fakta pemandangan satelit akan menunjukkan banyak Haju Puar (hutan). Hehehhe…
Sekitar tahun 2009, pemerintah desa Alm. Eras Nenggur, membawa perubahan berarti di kampung kecil itu. Kerinduan akan akses jalan dari persimpangan Munde menuju Paundoa (sebuah kampung berbahasa Rongga di Manggarai Timur), adalah fenomena “Melot” kolektif; “Melot” secara bersama-sama oleh satu warga kampung Munde.
“Melot” kolektif dirasakan oleh semua warga kampung, kala jalan batu berubah menjadi aspal. Proses pembakaran aspal, serta tontonan mobil-mobil proyek—orang Matim biasa sebut Eksa, Loder, Alat Berat— membuat orang kampung merasa “Melot”; merasa takjub/kaget, senang/suka.
“Melot” kolektif juga terjadi kala semua warga kampung datang untuk menonton proses pembangunan itu. Tontonan tersebut adalah hiburan kecil bagi orang-orang kampung, mirip orang kota menonton film di bioskop. Dari anak-anak kecil sampai orang dewasa menikmati fenomena “Melot” kolektif di kampung kecil, Munde-Waerana. Mereka “Melot” ketika melihat begitu banyak hal baru terjadi.
Pada tahun 2010, hingga tahun-tahun berikutnya, fenomena “Melot” kolektif semakin parlente di kampung tercinta saya, Munde. Lahirnya pembangunan SMPN Satap Munde yang berdiri pada 2010. SMP cita rasa kampung, namun melahirkan generasi yang berkualitas. Tulisan ini lahir berkat bibit ilmu yang didapatkan di SMP Satap tercinta.
Pembangunan listrik (PLN) juga memantapkan fenomena “Melot” kolektif; pembangunan tower di samping pertigaan Munde dengan hadirnya Mas-mas Jowo dari beberapa daerah di Surabaya. Pembangunan Puskesmas dan Sumber Air su dekat menjadikan kampung Munde “kecil-kecil tapi pedis”; kecil tapi cukup maju dengan pembangunan-pembangunan berarti. Begitulah fenomena“Melot” kolektif yang semakin parlente di kampung tercinta saya, Munde.
Fenomena “Melot” Lanjutan
“Melot” mengandung banyak kisah di dalamnya. Fenomena “Melot” di tanah Manggarai Timur tidak akan berhenti dan mati; ia akan lahir seiring waktu dan kegiatan sosial masyarakat di dalamnya. Fenomena “Melot” akan terus berlanjut.
Untuk menggaungkan fenomena “Melot”, ia bisa dijadikan sebuah lagu akan rasa takjub seseorang akan tanah Manggarai Timur. Mungkin ada musisi Manggarai Timur yang tertarik buat lagu “Melot”, silakan saja. Cerita saja Nana dari luar Manggarai merasa “Melot” ketika melihat enu-enu molas Manggarai Timur.
Nana merasa “Melot”/kagum/takjub dengan isung rimpet enu, ranga molas tiada tara dan banding, gincu tebal bedak viva, imus rambut catok. Semua itu membuat nana merasa“Melot”, apalagi kalau enu habis tarik rambut di Salon Ayu, samping jembatan Wae Bobo atau pakai jasa Molas Komba Salon di Simpang Tiga Munde. Enu akan berubah seperti Nona Ursula habis potong poni.
Latar tempat lagu “Melot” tidak usah khawatir. Alam Manggarai Timur menyimpan keindahan tersembunyi; Padang Masui, Pantai Mbolata, Pantai Waewole di daerah Waelengga. Pantai Nangarawa di Selatan Matim. Pantai Cepi Watu di kota Borong, Liang Bala, juga kafe-kafe di Matim menyimpat spot foto dan keindahan tersendiri.
“Oh “Melot” adalah judul lagu dari usulan terendah. “Fenomena melot” adalah judul yang terlalu filosofis. “Melot dan Lemot” boleh jadi, “Lemot” adalah strategi yang lambat/lama dari Nana setelah merasa “Melot” atau kaget melihat Enu Molas. “Lemot” minta nomor WA, “Lemot” minta Facebook, “Lemot” tanya alamat rumah dan “Lemot” tanya nominal belis—eitss kalau tanya belis itu stategi “huru hara” dan terburu-buru. Hadapi dulu Anak Rona, inang dan amang.
Fenomena “Melot” mengandung sejuta kisah di dalamnya; ia tidak akan berakhir ketika mata pembaca mengakihiri tulisan ini. Karena “Melot” in se (pada dirinya sendiri) juga mengandung rasa “Melot”.
“Melot” itu hanyalah kata sederhana. Ia akan menjadi luar biasa jika diolah dengan kata, lalu menari di setiap mata pembaca Tabeite.
Taytay-Rizal, Filipina
Agustus 2022