Memuji Tuhan Melalui Upacara Teing Hang Orang Manggarai

0

Berkumpul dan berdoa dalam senyum dan suara adat. (Foto; dari Google)

Loading


Petrus Lainsi Putra|Kontributor      

Adat istiadat yang ada dalam sebuah masyarakat adalah warisan paling mulia dari para leluhur. Sebagai warisan mulia, adat dapat menjadi identitas sebuah masyarakat. Adat-lah yang menjadikan masyarakat itu unik, khas, dan sangat berbeda. Karena itu, setiap masyarakat pasti memiliki adat. Masyarakat yang tidak mempunyai adat adalah masyarakat yang tidak beridentitas.

Namun, pandangan adat sebagai sebuah identitas seringkali dianggap bertentangan dengan ajaran-ajaran agama yang juga adalah identitas kita. Berhadapan dengan agama, adat seringkali dianggap dan dituduh sebagai kebiasaan yang tidak mengenal Tuhan,  praktik yang menyimpang dari ajaran agama, atau bahkan dapat dianggap sebagai penyembahan berhala.

Oleh karena itu, dalam ulasan sederhana ini, akan menampilkan suatu adat yang sudah menjadi identitas orang Manggarai, yaitu Teing Hang.Pertama-tama akan dijelaskan apa itu teing-hang, hubungan teing-hang dan  Tuhan, dan sampai pada konsep bahwa teing-hang adalah sebuah ungkapan syukur kepada Tuhan yang tidak boleh diabaikan apalagi dilupakan.

Selayang Pandang Teing-Hang

Dalam perspektif orang Manggarai, tradisi teing-hang adalah sebuah warisan yang sangat agung yang diwariskan oleh nenek moyang. Karena agung, maka tradisi ini tetap saja dipelihara sampai saat ini oleh orang-orang Manggarai.

Kalau ditilik dari pengertian katanya, ‘teing’ berarti ‘memberi’ sedangkan ‘hang’ berarti ‘makan’. Dengan itu, dapat dikatakan bahwa teing hang adalah sebuah ungkapan syukur atau doa yang diungkapkan kepada nenek moyang. Atau dengan kata lain, teing hang adalah ritual orang Manggarai memberikan sajian  kepada leluhur.

Praktik teing hang umumnya dapat kita lihat dalam acara pesta sekolah (syukuran karena sudah selesai pendidikan), menyambut tahun baru, syukur atas keberhasilan panen, dll. Sebagai ungkapan syukur atas itu semua, teing hang adalah ekspresi yang paling mendalam. Selain itu, teing hang dapat juga sebagai upaya untuk memohon perlindungan dan keberhasilan dalam segalah usaha.

Memuliakan Tuhan Melalui Adat

Dalam berbagai kesempatan atau ritus teing hang, seringkali mendengar ungkapan Yo Mori. Seorang Tua Torok (pemimpin upacara) memulai berbicara dalam bahasa Manggarai kuno atau tinggi adat Manggarai, selalu diawali dengan kata Yo Mori.

Kalau dalam artian katanya, Yo artinya ‘ya’  ‘Mori‘ berarti ‘Tuhan’. Dengan itu, Yo Mori  artinya adalah ‘Ya Tuhan’. Orang Manggarai sejak dari dulu sudah mengenal Tuhan dengan sebutan Mori. Ungkapan Mori yang ada dalam upacara teing hang adalah suatu ungkapan kesadaran dalam memuji kebesaran Tuhan. Maka, seringkali ungkapan itu selalu diucapkan di awal upacara oleh pemimpin upacara (Tua Torok).

Yang mau dikatakan dalam ungkapan Yo Mori dalam teing-hang  adalah, orang Manggarai menyadari bahwa ritus ini bukan semata-mata suatu penyembahan kepada para leluhur. Ritual ini adalah sebuah doa: baik syukur, mohon perlindungan, maupun meminta rezeki yang diungkapkan dari lubuk hati yang paling dalam kepada Tuhan.

Orang Manggarai percara bahwa para leluhur yang sudah meninggal pasti sudah melihat Allah. Dan karena itu, ucapan syukur, permohonan, dan penyesalan dapat dikabulkan melalui perantaraan mereka (para leluhur).  Dengan itu, seperti yang dikatakan oleh Pater Alexander Jebatu yang dikutip dalam Voxntt, bahwa “Ritus teing hang bukan hanya praktik adat istiadat semata, tetapi juga sebuah praktik keagamaan.”

Dengan demikian, adalah suatu yang sangat santun dan indah bahwa orang Manggarai memuliakan dan memuji Tuhan dalam adat teing hang. Melalui aneka ekspresi yang ditampilkan dalam adat ini, menjadi realisasi cinta kepada Tuhan dalam nama adat.

Jangan Lupa Tuhan dan Adat

Dengan itu, yang dapat kita pelajari adalah jangan pernah melupakan adat dan Tuhan. Kalau Bung Karno yang terkenal dengan ungkapannya “Jangan sekali-kali melupakan  sejarah”, kita juga mengatakan jangan sekali-kali melupakan adat kita.

Adat dan Tuhan memang berbeda, tetapi di antara keduannya itu pun saling berkelindan satu dengan yang lain. Keduanya dapat saja dijadikan sebagai penuntun, pedomaan, dan kekuatan dan karena itu harus dihormati secara seimbang. Jangan ada dominasi di antara keduanya.

Dengan itu, melalui ulasan ini saya mau mengatakan, bahwa “Adat dan Tuhan tidak boleh dilupakan. Adat adalah identitas kita sebagai orang yang beriman kepada Tuhan.”

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *