Mengenang Anak Murid yang Memilih Untuk Tidak Melanjutkan Pendidikan

Murid dan mimpi seorang Guru (sumber foto: Pinterest.com)

Loading


Erik Jumpar|Redaksi

Akhir semester ganjil kemarin, salah satu siswa saya  memilih untuk tidak melanjutkan pendidikan. Alasannya kurang diketahui persis. Laporan penilaian di semester ganjil pun tak ia ambil. Sebuah kabar buruk bagi saya selaku wali kelas lima di sebuah SD yang malas tenar itu.

Dari keputusan tersebut, ia memilih untuk tak datang lagi ke sekolah. Jumlah murid di kelas kurang satu, dari sebelumnya tigapuluh orang. Tersisa laki-laki tujuhbelas orang, sementara perempuan duabelas orang.

Semenjak semester genap kemarin di daftar presensi, ia  pun diisi alpa. Saya sedih tentunya. Mengenang pupusnya mimpi dari salah satu pasukan kecil di kelas kami. Mengenang ia yang mungkin tak lagi punya kesempatan untuk meraih harap di bidang pendidikan.

Saban hari sebelum jumlah absennya banyak seperti sekarang, saya selalu menitip pesan pada anak-anak di kelas yang sekampung dengannya.

“Tolong tanyakan pada Y, apa ia masih mau masuk sekolah? Bila ia berubah pikiran, segera datang ke sekolah.” Begitu isi pesan yang kerap disampaikan di akhir pembelajaran.

Sayang pesan itu dijawab dengan jawaban yang mengecewakan. Ia bersikukuh untuk tak lagi melanjutkan sekolah. Bagi saya sebagai wali kelas itu keputusan yang keliru, mungkin tidak untuknya. Ia konsisten, sekolah formalnya hanya sampai di Kelas Lima.

Semester genap berlanjut, Bulan Maret memberi kejutan yang kembali mengernyitkan dahi. Dua siswa di kelas saya kembali memilih untuk tak lagi melanjutkan pendidikan. Satu perempuan satu laki-laki. Lagi-lagi alasannya kurang diketahui persis, palingan terdengar alasan yang klise dan mengada-ada.

“Mereka malas untuk melanjutkan sekolah, Pak,” jelas salah satu siswa yang bertetangga dengan mereka.

Dua anak ini memilih untuk tidak melanjutkan sekolah di waktu bersamaan. Saya dibuatnya patah hati. Pikiran saya di pertengahan Bulan Maret berhasil diobok-obok oleh dua anak yang besar harapan saya, mereka kembali bersekolah.

Kini sudah dua pekan mereka tidak datang ke sekolah. Saat nama mereka dipanggil di daftar presensi akan diisi alpa. Saya tentu tetap mengharapkan mereka untuk kembali bersekolah. Makanya selalu ada pertanyaan yang dititipkan pada anak murid yang bertetangga dengan tempat tinggal dua anak ini.

“Tolong tanyakan pada mereka, apa masih mau bersekolah? Bila berubah pikiran, datang lagi ke sekolah” Jelas saya setiap menutup pelajaran sepanjang hari.

Sialnya jawaban yang mengecewakan selalu didapat. Mereka enggan melanjutkan pendidikan. Jawaban yang mungkin pas bagi mereka di tengah usia yang masih belia. Idealnya orangtua berada di garda terdepan untuk menjelaskan akan pentingnya pendidikan pada anak-anak di rumah, selain guru di sekolah tentunya.

Saat menulis ini, saya membayangkan keesokan harinya ada kejutan di kelas. Dua siswa yang belum terlambat untuk kembali masuk sekolah tersebut berubah pikiran dan kembali nongol di dalam kelas, lalu menjawab hadir saat dipresensi. Mereka pun memberikan alasan kenapa tidak datang ke sekolah belakangan ini.

“Kami minta maaf sudah dua minggu tidak datang sekolah. Kami masih mau bersekolah, Pak.” Jelas mereka dengan wajah yang memelas.

Konon kejutan terjadi setelah orangtua mereka membaca sepenggal kisah yang ditulis oleh wali kelas dari anaknya di sekolah. Mereka pun sadar akan pentingnya pendidikan. Misalnya. Kalaupun tidak, tidak apa-apa, anggap saja saya sedang bermimpi.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *