Mengendarai Oto Kol dan Gengsi Sebagai Calon Penumpang

1

Naik oto kol Cuy! Gambar: FB: @Nendykkz Sansoldo

Loading


Popind Davianus | Redaksi

Beberapa tahun silam mengendarai oto kol adalah sesuatu yang lumrah. Kelumrahan ini tentu didasari oleh persedian kendaraan jenis mobil yang masih sangat sedikit. Pada masa itu di Bumi Manggarai pengusaha di bidang transportasi didominasi oleh “baba”, sebutan bagi pengusaha berdarah Tionghoa. Selain mencari keuntungan dari biaya penumpang para baba juga mengejar hasil bumi yang diangkut menggunakan oto kol milik mereka itu.

Usaha tranportasi milik baba yang paling terkenal pada zaman itu dan masih terngiang dalam ingatan orang Manggarai, ada Paradiso, Ronson Jaya, Wae Wake, Ranaka Jaya, Pelita Mas dan banyak lagi. Sekarang usaha transportasi itu hanya tinggal nama dan kenangan.

Di tengah perkembangan ekonomi masyarakat dan pembangunan infrastruktur oleh pemerintah mengalami kemajuan, oto kol perlahan-lahan mengalami pergeseran penggunaanya. Moda transportasi ke desa-desa sudah bergeser dari oto kol ke mobil beroda empat seperti: Avanza, Xenia, Apv, Innova, Ertiga dan sejenisnya. Sedangkan oto kol lebih dikhususkan untuk mengangkut hasil komoditi dari desa ke kota dan barang belanjaan dari kota ke desa.

Karena pergeseran penggunaan oto kol tadi, lahirlah sebuah persepsi di kalangan masyarakat bahwa; ketika suatu desa masih menggunakan oto kol dalam mengangkut penumpang ke kota, maka desa tersebut akan dikategorikan sebagai desa yang masih tertinggal.

Dalam perjumpaan dengan kawan-kawan di kota, seringkali saya dilempari pertanyaan seperti ini; “pake oto kol kis meu mai awo mai aw?” (Apakah dari kampung kalian masih menggunakan oto kol?)

Kalimat “pake oto kol kis” merupakan sebuah tanda yang mengandung makna sinis atau ejekan. Kata “kis” yang hanya terdiri dari tiga huruf itu sebetulnya ejekan atas sebuah ketertinggalan.Kata kis juga mengandung makna bahwa menggunakan oto kol sudah bukan zamannya lagi, oto kol hanyalah bagian dari masa lalu. Kis juga bermakna bahwa orang-orang kota tersebut meragukan infrastruktur jalan ke desa.

Jika melihat fakta, penggunaan oto kol sebagai moda transportasi hanya eksis di desa-desa yang akses jalannya rusak parah, sebut saja Elar, Lempang Paji, Wukir dan daerah bagian Elar Selatan lainnya. Desa yang saya sebutkan tadi rerata masyarakatnya masih menggunakan oto kol untuk bepergian ke kota.

Ketika oto kol sudah mengalami pergeseran penggunaannya di saat yang bersamaan lahir pula gengsi sebagai seorang calon penumpang. Beberapa orang dari generasi milenial yang saya tanyai cenderung merasa malu jika bepergian ke kota menggunakan oto kol. Mereka berdalih hal yang sama, bahwasanya ketika menggunakan oto kol mereka takut dianggap kampungan oleh orang-orang kota.

Pada masa sekarang sulit sekali menemukan orang-orang dari generasi milenial bepergian ke kota menggunakan oto kol, kebanyakan dari mereka lebih memilih menggunakan sepeda motor. Selain alasan lebih cepat sampai di kota, hal lain yang sebenarnya tersembunyi adalah ketakutan dianggap kampungan.

Presepsi tentang oto kol ini juga menjadi salah satu faktor yang membunuh eksistensi oto kol sebagai moda transportasi. Kemudian banyak pengusaha di bidang transportasi yang berbelok menjadikan oto kol mereka sebagai alat angkut batu, pasir dan barang-barang lainnya di desa. Dalam lima atau sepuluh tahun mendatang, orang Manggarai akan kehilangan satu hal unik yang digemari orang-orang luar, yakni menjadikan oto kol sebagai moda transportasi.

1 thought on “Mengendarai Oto Kol dan Gengsi Sebagai Calon Penumpang

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *