Mengulik Kenang di Kampung Rajong

0

Loading


Penulis: Erik Jumpar|Redaksi

Jumat (06/12/19) masih lengang, sang mentari menampilkan ekspresi yang membuat kami mengernyitkan dahi. Usai memacu kendaraan roda dua hampir sejam lamanya, kami tiba di kampung Rajong desa Satar Lenda kecamatan Rana Mese pada pukul 11 lebih 45 menit Waktu Indonesia bagian tengah. Anak-anak desa tampak berdiri di jalan masuk menuju pelataran kampung sembari tersenyum sumringah menyambut kedatangan kami. Dengan hati yang senang, kami membalas senyuman mereka. Sementara dua orang petani sedang mengambil buah kemiri di ladang mereka. Maklum, sekarang harga kemiri sedang tinggi-tingginya, petani tentu senang, pendapatan keluarga meningkat.

Jalan masuk menuju kampung Rajong dari kampung Lempe sudah cukup baik. Pengelolaan dana desa yang optimal telah membuka akses masuk ke kampung Rajong. Padahal dulunya akses masuk hanya bisa dijangkau dengan berjalan kaki. Sekarang kendaraan roda dua dan roda empat dengan leluasa masuk ke kampung kecil di bawah kaki Poco Ri’’i itu. Bahkan pedagang dari Kota Borong yang menggunakan kendaraan roda empat mampu menjajal dagangannya hingga ke tempat ini.

Setelah memarkirkan kendaraan, kami masuk ke rumah dari salah satu kerabat dekat kami. Rasa lelah dalam perjalanan sirna saat tuan rumah suguhkan kopi. Ragam topik mulai diperbincangkan, mengalir begitu saja bersama kopi yang telah diseduh, tentang kampung Rajong yang perlahan-lahan mulai berubah, tentang akses masuk yang tak susah seperti dulu lagi, tentang pembangunan yang tak sebatas dongeng sebelum tidur.

“”Kami bersyukur dana desa membantu dalam membuka keterisolasian menuju kampung Rajong. Akses masuk sekarang sudah sampai ke tengah kampung.”” tutur Celos Jarot, salah satu staf Desa Satar Lenda.

Kopi belum usai diseruput, tuan rumah menawarkan kami untuk menyeruput moke putih. Tanpa membutuhkan pertimbangan yang menghabiskan waktu, kami menyetujui tawaran yang diberikan. Selain kopi, moke putih menjadi salah satu suguhan yang akan didapati saat berkunjung ke sini. Pohon enau tumbuh subur di ladang para petani di sini, bahkan ada juga warga yang menyadap moke putih sebagai sumber pendapatan sampingan bagi keluarga.

“Moke putihnya masih segar, karena baru diambil tadi pagi. Rasanya masih enak untuk diminum,” tutur tuan rumah sembari menuangkan moke putih ke dalam gelas.

Pembicaraan terus warnai ruang temu kami di siang itu. Kondisi kampung Rajong yang berada di kaki Poco Ri’i membuat kampung kecil ini sangat sunyi. Hanya ada 13 kepala keluarga yang mendiami kampung ini. Anak-anak desa bersekolah di SDI Lempe, sekolah terdekat yang letaknya kurang lebih 2 KM dari kampung Rajong.

Penghuni kampung menggantungkan hidupnya dengan bercocok tanam. Tekstur tanah pegunungan memicu tanaman perkebunan seperti; kopi, kakao, vanili, pisang, avokad, dan kemiri tumbuh dengan subur.

Usai santap siang, kru Tabeite bersama dengan empat anak kampung Rajong menyusuri jalan di tengah perkampungan. Saya menikmati suasana kampung yang kerap mengundang rindu masa kecil itu. Udara sangat segar. Nyaring ocehan burung yang bertengger di pohon akasia yang daunnya mulai berguguran sesekali terdengar. Ahh, indah sekali ciptaan Tuhan.

Anak-anak kampung Rajong

Enggan mengabaikan kesempatan, saya terus memotret situasi di tengah kampung. Kami menyusuri perjalanan di tengah kampung laiknya berkilas dengan masa kecil. Pasalnya, dulu saat mengenyam pendidikan di bangku Sekolah Dasar, saya kerap kali ke sini untuk menghabiskan masa liburan.

Kami terus berjalan, sesekali kami berhenti untuk memotret. Tawa menggelegar turut hiasi perjalanan kami saat di antara kami ada yang tampilkan tingkah usil. Mata kami dimanjakan oleh berbagai pemandangan yang ada, pada bebukitan yang ada di tengah kampung, pada pepohonan yang menjulang tinggi.

Di tepi jalan banyak tumbuh pohon enau. Sebagian sudah dimanfaatkan oleh warga demi menyadap nira. Bambu besar yang telah dipotong digantung untuk menadah tetes demi tetes yang kelak akan menjadi moke putih, sementara sebagiannya lagi dimasak untuk diolah menjadi sopi.

Kami melewati Wae Betong, salah satu sumber air yang kerap kali dijadikan pelepas dahaga bagi penghuni kampung. Sayangnya, musim kemarau memicu Wae Betong tak lagi mengalir. Beruntung air bersih yang dibangun oleh pemerintah desa masuk hingga di pelataran kampung, warga tak kesulitan mendapatkan air bersih.

Dari Wae Betong, kami terus mengayunkan langkah, tapak demi tapak kami jajaki. Kami tiba di salah satu bukit tak bernama yang terletak di tengah kampung. Dari bukit ini, kita dapat menyaksikan Laut Sawu di kejauhan. Kapal-kapal nelayan yang sedang arungi lautan luas juga terlihat. Gunung Poco Ndeki yang berdiri kokoh di tepian Kota Borong terlihat dengan jelas. Ia bersanding dengan laut biru yang seakan tak mau kalah menonjolkan keangkuhannya.

Sembari terus memotret, kami bercengkerama dengan anak-anak desa yang sedang asyik bermain. Mereka terlihat bahagia menikmati permainan dengan media yang ala kadarnya. Sejenak saya disadari, tentang anak-anak desa yang tak menyerah dengan keadaan, meski tertinggal dalam pembangunan.

Semakin lama saya menginjakkan kaki di kampung Rajong, saya seperti sedang mengulik kenang yang terus terkenang. Tentang masa kecil saat berada di sini dengan permainan yang apa adanya, tentang almarhum kakek saya yang lihai menghibur cucu-cucunya dengan rayuan yang tak perlu diragukan lagi, tentang almarhum nenek saya dengan suguhan ubi-ubian yang mengoncangkan lidah.

Puas melihat Kota Borong di kejauhan, kami melanjutkan perjalanan ke tempat dulu dibangunnya rumah kakek kami. Puing-puingnya memang tak terlihat lagi, hanya tanah lapang yang kini di atasnya telah ditumbuhi ubi-ubian. Semenjak kakek kami meninggal, rumahnya dibongkar. Keluarga kakek kami memilih untuk pindah ke Bea Kawu, kampung tetangga yang terletak di desa Lalang.

Kami menghabiskan banyak waktu di sini. Tidak hanya memotret, tetapi untuk mengingat lagi berbagai kenangan masa silam, tentang kasih dari orang-orang tercinta dengan hati yang tulus, tentang Rajong yang terus terkenang dalam perjalanan hidup.

Usai habiskan waktu untuk mengulik kenang di kampung Rajong, sore harinya kami kembali. Perjalanan pulang lebih menggembirakan, sebab rindu sudah cukup terobati. Hari kembali memaksakan kami untuk terus melangkah, tetapi tidak untuk melupakan kenangan yang sempat ditoreh di hari itu. Sampai kapanpun, kampung Rajong akan selalu terkenang di lubuk hati yang paling dalam, sampai nanti sampai mati.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *