Mengunjungi Desa Compang Teber yang Memesona
Erik Jumpar|Redaksi
Langit cerah menyelimuti Danau Rana Mese. Jalanan sedang lenggang. Volume kendaraan dari arah Borong menuju Ruteng tak terlalu ramai. Segerombolan monyet sedang melompat dari satu pohon ke pohon yang lain. Sesekali mereka menatap penuh curiga pada pengguna jalan yang mengurangi laju kendaraannya, ada saatnya juga mendekati pengguna jalan yang melempar pisang atau buah-buahan lainnya.
Siang itu, tepatnya hari Senin (27/04/2020), jarum jam bertengger di pukul 13.15 WITA. Saya bersama Dhoni Djematu, salah satu mantan redaktur Tabeite, sekarang menjadi redaktur pelaksana di banera.id, tiba di Hutan Taman Wisata Alam Ruteng, tepatnya di persimpangan masuk menuju Desa Compang Teber, Kecamatan Rana Mese, Kabupaten Manggarai Timur.
Orang-orang menyebut tempat itu dengan sebutan Ndilek. Ndilek menjadi tempat favorit untuk melepas lelah bagi pengguna jalan dari arah Desa Compang Teber dan desa-desa sekitar. Jangan heran saat kita melewati tempat ini, kita akan melihat pengguna jalan yang menepi kuda besi tepat di gapura menuju desa ini, entah untuk menikmati sebatang rokok ataupun berbincang dengan pengguna jalan yang lain.
Di sini terdapat gapura bercat putih. Dulunya bertuliskan ucapan selamat datang bagi wisatawan yang akan mengunjungi Desa Compang Teber. Tulisannya sudah kabur. Gapuranya tak terawat. Tumbuhan merambat tak beraturan, menutupi beberapa sisi dari gapura yang dibangun pada beberapa tahun silam itu.
Dari Ndilek, kami mulai mengendarai kuda besi dengan penuh hati-hati. Maklum kami sama-sama asing dengan kondisi jalan menuju Desa Compang Teber. Bagi kami, perjalanan ini merupakan perjalanan perdana, tak ada salahnya untuk mengendarai kendaraan dengan hati-hati.
Tak terlalu jauh kami beranjak dari Ndilek, jalanan mulai menurun dengan kondisi rusak berat. Bekas material dari jalan yang dulunya pernah diaspal menjamu roda kendaraan kami. Batu-batu yang masih tertancap ke tanah memaksa pengendara untuk menurunkan kaki kiri sebagai tumpuan, sedangkan kaki kanan untuk menekan rem.
Nyali sebagai penunggang kuda besi benar-benar diuji. Pada salah satu badan jalan kondisinya berlicin, air dari persawahan warga merembes sampai ke tengah jalan. Perjalanan yang belum seberapa mulai terasa melelahkan. Kami konsisten untuk memacu kendaraan dengan hati-hati, bak menghayati ungkapan biar lambat asal selamat.
Semakin dekat dengan Sungai Wae Dingin, jalanan rusak tak karuan. Bebatuan berserakan tak beraturan. Kami enggan mengambil resiko yang tak menguntungkan bagi lelaki lajang yang belum menikah macam kami ini. Atas pertimbangan demikian, saya turun dan memilih untuk berjalan kaki.
“Om, saya jalan kaki saja. Jalanan sudah tak bersahabat lagi,” tutur saya kepada Dhoni Djematu.
“Ide baik, Om. Saya juga berpikir demikian,” tanggapnya.
Laju roda kendaraan melambat. Kaki kirinya tetap jadi salah satu tumpuan. Sesekali ia mengontrol laju kendaraan dengan menekan rem. Sementara saya berjalan kaki dengan tetap hati-hati, agar tidak terjatuh.
Cuaca panas mulai menyengat. Nyaringnya kicauan burung yang terbang ke sana kemari di hutan tepi jalan melupakan sedikit beban perjalanan yang mulai menguras energi. Sementara dari kejauhan terdengar gongongan anjing dari pondok warga yang berada di tengah sawah, ada juga seorang petani tampak sedang mengusir burung pipit yang merusaki pepadian yang tampak mulai menguning.
Perjalanan kami lanjutkan, teman saya memilih untuk angkat tangan. Ia meminta saya untuk bergantian mengendarai kuda besi. Saya pun mulai mengendarai kendaraan dengan hati-hati. Bebatuan yang berserakan masih hiasi perjalanan kami, bekas jalan yang masih beraspal dipilih demi memanjakan roda kendaraan kami meski untuk sementara waktu.
Jalanan masih sama kondisinya, buruk pakai setengah mati. Di depan kami salah satu kendaraan roda empat bermerek Luxio sedang berjibaku melawan buruknya jalan. Kami membuntutinya dengan penuh hati-hati, salah satu di antara mereka turun dari dalam mobil untuk memeriksa kondisi jalan sebelum mobil mereka melintasi Sungai Wae Dingin.

Di sungai ini, jembatan belum dibangun. Pengendara harus ekstra hati-hati saat melintas. Bahkan dari penuturan warga yang kami temui, saat lagi banjir, pengendara roda dua terpaksa mengotong kendaraannya demi menyeberangi sungai.
Saat tiba di sini, kami berpapasan dengan pengguna jalan dari arah yang berlawanan. Sembari menanti giliran menyeberangi Sungai Wae Dingin, kami menyempatkan diri untuk menanyakan jarak menuju desa yang kami tuju.
“Jaraknya kurang lebih tiga kilometer lagi,” jelasnya.
Beruntung setelah melintasi sungai tadi, alas kaki kami tak basah. Kami melanjutkan perjalanan dengan percaya diri. Kondisi jalan sedikitnya lebih baik. Jalan beraspal yang dibangun beberapa tahun silam sebagian kondisinya masih terawat, meski di beberapa titik ada ruas jalan yang kondisinya telah rusak.
Bunyi kendaraan kami memecah kesunyian. Pohon kopi dengan dedaunannya yang hijau tumbuh subur di kebun-kebun warga. Seperti tak mau kalah, pohon kakao memamerkan kecongkakkan dengan bebungaannya yang mulai bermekaran. Tumbuhan-tumbuhan itu seolah-olah memberi isyarat bagi pengguna jalan bahwa tanaman-tanaman itu siap memberi asa bagi pemilik kebun.
Setelah berjibaku dengan jalanan, kami pun tiba di Kampung Pinis, Desa Bangka Kempo. Perkampungan yang terletak di bawah kaki Taman Wisata Alam Ruteng ini memaksa kami untuk berhenti sejenak demi menanyakan lebih detail jalan menuju Desa Compang Teber.
“Kalau sampai di persimpangan setelah melewati kampung ini, tinggal belok kanan menuju Desa Compang Teber,” jelas salah seorang warga yang kami temui di salah satu persimpangan di Kampung Pinis.
Kami lalu menyalakan mesin kendaraan, perjalanan pun dilanjutkan. Kondisi jalan yang membaik membuat laju kendaraan kami lebih cepat dibanding sebelum masuk ke Sungai Wae Dingin tadi.
Dari Kampung Pinis, kami susuri perkampungan dengan topografis yang mulai berbukitan. Lewati lembah, susuri bukit, taklukkan jalan yang berkelok-kelok dengan pemandangan yang memanjakan mata. Rumah-rumah warga berdiri kokoh di tepian jalan, turut dibangun posko Covid-19 dengan dilengkapi relawan yang bertugas untuk memantau siapa saja yang berkunjung ke desa mereka.
Jarum jam menunjukkan pukul 14.20 WITA, kami tiba di pelataran Desa Compang Teber. Dari atas bukit sebelum masuk ke tengah desa, kami melihat pemukiman warga berjejeran di lembah Teber. Pesona perkampungan yang terletak di lembah, ditambah dengan persawahan luas yang dekat dengan pemukiman menambah kesan keanggunan dari desa ini.
Mesin kendaraan dimatikan, kami menepi di tepi jalan. Mata kami dimanjakan oleh tampilan pepadian warga yang tampak mulai menguning. Sepertinya pola penanaman padi di desa ini dilakukan secara serempak. Buktinya saat-saat sekarang pepadian merunduk serta menguning secara bersamaan.
Semakin jauh mengendarai kendaraan ke tengah desa, kami berpapasan dengan warga yang sedang merontok padi. Deru mesin rontok yang sedang mereka gunakan memecah kesunyian. Kami menegur mereka. Dibalas dengan senyuman yang menjuntai indah dari bibir mereka.
Sebelum masuk ke tengah desa, kita akan melewati salah satu sungai. Airnya jernih. Dingin sekali. Di sini warga melepas lelah dengan membersihkan badan usai merawat harapan dari kebun kebanggaan mereka.
Perjalanan kami lanjutkan, kami pun tiba di salah satu persimpangan di tengah desa. Kedatangan kami kali ini bermaksud untuk mengunjungi tiga pelajar SMP St. Stanislaus Borong yang berasal dari desa ini. Supaya tak memakan waktu untuk mencari rumah dari siswa yang dimaksud, kami menanyakan salah satu warga yang sedang bermain dengan buah hatinya.
“Rumahnya melewati Compang, Nana,” jelas warga tersebut.
Kami pun melanjutkan perjalanan menuju rumah yang dituju. Saat tiba di rumah yang dituju, ternyata mereka sedang berada di rumah. Proses belajar di rumah pun mulai berjalan. Setelah meminta tugas pertama untuk dikumpulkan, tugas kedua pun diberikan.
“Tolong tuntaskan semua PR. Kerjakan dengan cermat. Jaga kesehatan selama di rumah,” tandas Dhoni Djematu, guru muda di SMP St. Stanislaus Borong.
Sambil memantau jalannya proses belajar, tuan rumah menyuguhkan kopi terbaik dari lembah ini. Rasa lelah di awal perjalanan perlahan sirna, kami menyeruput kopi dengan mulai bercerita satu sama lain.
Situasi di lembah ini sangat sepi. Meski desa ini cukup padat penduduknya, akan tetapi kesibukkan di kebun saat siang hari membuat nuansa desa seperti tak berpenghuni.
“Orang-orang di sini sedang bekerja di kebun. Di siang hari seperti sekarang situasinya sepi, seperti desa tak berpenghuni,” jelas Marno, salah satu siswa yang kami kunjungi.
Semenjak lama Desa Compang Teber dikenal sebagai salah satu dari desa wisata yang ada di Manggarai Timur. Pesona Compang Teber yang melegenda dengan cerita-cerita masa lalu yang masih terjaga hingga kini dijamin membius siapa saja yang mendengarnya.
Menariknya di tengah desa terdapat Compang, tempat untuk memanjatkan madah syukur kepada leluhur. Di pintu masuk menuju halaman rumah adat tumbuh kokoh pohon beringin dengan ukuran yang sangat besar, persis di bawahnya dibangun sebuah Gua Maria berukuran kecil. Dalam bahasa Almarhum Profesor Alo Lonta, salah satu putera terbaik dari Desa Compang Teber, hal ini disebut sebagai interaksi antara agama (Katolik) dengan budaya setempat.

Sekadar informasi, Desa Compang Teber juga pernah menjadi tempat perekaman video klip dari salah satu lagu daerah Manggarai berjudul Dere Sua Sebu. Lagu ini diciptakan dan dinyanyikan oleh Rensi Ambang, penyanyi legendaris dari tanah Congka Sae.
Mentari perlahan merangkak ke ufuk barat, kami memutuskan untuk pulang setelah semua urusan telah tuntas. Sialnya kami tak berhasil memburu lebih jauh cerita di balik Compang Teber, keburu dikejar sang waktu. Sampai jumpa di situasi lain Desa Compang Teber.