Menikah Tidak Melulu Soal Usia

Dua cincin di jari manismu (Foto dari pinterest.com)
Mita Barung | Redaksi
Sebagai seorang wanita lajang yang masih berjuang menggapai impian, saya sedikit merasa tersakiti ketika ada yang mengeluarkan kalimat, “Enu, kalau usia sudah di atas 25 dan masih belum menikah, itu berarti ada yang perlu dipertanyakan. Jadi kapan sudah enu menikah? Kami sudah tidak sabar tunggu undangan!”
Ia tanta, om, kakak, dan adik. Kalian memang gemar mempertanyakan jodoh atau calon pasangan saya sekarang di mana, dengan siapa, semalam berbuat apa, kapan saya menikah dengannya dan…bla bla bla.
Belum lagi jika kemudian kalian akan membandingkan saya dengan teman-teman saya di luar sana yang memilih menikah di bawah usia 25 tahun atau dengan adik-adik di kampung yang bahkan sudah memiliki anak meskipun usia mereka belum mencapai 23 tahun. Lalu kalian akan bilang,“Bo ise poli nikah gha! Ole lage le anak koe!”
Sumpah! Kalimat-kalimat seperti itu membuat hati saya tersakiti. Psikis terganggu. Mental rapuh. Isi memori menjadi berantakan dan ahhh! Sudahlah. Yang pasti kalimat-kalimat itu jauh lebih menyakitkan daripada kalimat putus dari mantan.
***
Beberapa waktu lalu, saya dan sahabat saya yang juga sama-sama berstatus wanita lajang (dan bukan teri) berkunjung ke rumah salah seorang tetangga. Kami disuguhkan segelas kopi pahit favorit dan lalu mulai bercengkerama mengenai banyak hal. Salah satu hal yang dibahas adalah mengenai pernikahan. Uh, topik yang lagi-lagi bagi saya teramat sensitif. Obrolan yang awalnya santai tetapi serasa berakhir dengan cekikan di leher ini bermula dari pertanyaan, ”Enu, kapan kalian berdua nikah?”
Muncullah pertanyaan dan kalimat lain yang sedikit dan bahkan sangat mengganggu kenikmatan meneguk kopi. “Enu, sudah usia 25 tahun ke atas dan belum itu tidak bagus dan berbahaya sekali. Nanti kalian akan susah untuk dapat jodoh.”
Perihal jodoh dan menikah, Tuhan tidak pernah menetapkan bahwa jodoh saya hanya akan jadi milik saya ketika saya berusia 25 tahun dan lewat dari itu dia akan menjadi jodoh orang lain. Memilih menikah bukanlah sebuah keputusan yang mudah diambil.
Menikah bukan hanya soal usia, bukan hanya soal bagaimana melewati malam pertama dan malam-malam selanjutnya yang super duper romantis dan penuh dengan fantasi konyol, bukan hanya soal seberapa banyak bayi kecil yang akan menjadi penerus keturunan, dan bukan juga soal seberapa tinggi derajat sosial dan pendidikan pasangan. Menikah adalah soal kesiapan lahir batin dari kedua belah pihak.
Memilih untuk menikah berarti berani bertanggung jawab atas komitmen yang telah disepakati bersama di awal pernikahan, bersiap secara matang untuk hidup seatap dan sekamar dengan seseorang yang tentunya memiliki karakter yang berbeda dengan kita dan berani mengesampingkan ego kita di hadapan pasangan.
Meskipun usia sudah melebih batas untuk menikah (eh, ngomong-ngomong memangnya ada batas usia untuk menikah ya?), itu tidak berarti bahwa kita harus mengambil keputusan tersebut secara tergesa-gesa tanpa mempertimbangkannya secara matang. Memilih menerima seseorang yang datang dengan percaya diri dan berkata, ”Saya akan menikahi engkau”, tetapi tanpa mengenal dan memahami karakternya secara mendalam tentu adalah sebuah keputusan yang keliru.
Keputusan untuk menikah juga tidak bisa dibuat hanya karena ikut-ikutan orang lain. Misalnya setelah melihat teman seangkatan yang sudah banyak yang menikah atau karena ingin menjadi ajang lomba siapa yang duluan menikah. Sesungguhnya, kita harus betul-betul mempertimbangkan dengan siapa kita akan menikah kelak, kepada orang seperti apa kita akan memberikan seluruh hati dan hidup kita, dan cara terbaik macam apa yang kita lakukan dalam mengarungi bahtera rumah tangga agar tidak mudah goyah.
Selain itu, kita harus siap bertanggung jawab atas komitmen yang telah disepakati bersama pasangan kita sebelum menikah. Sebabnya, menikah hanya sekali seumur hidup. Kita tidak bisa melepaskan begitu saja status pernikahan hanya karena rasa bosan meliputi atau lantaran sudah merasa nyaman dengan orang lain yang bukan pasangan kita, atau juga misalnya karena tiba-tiba kembali jatuh cinta dengan mantan.
Tidak! Tidak semudah itu Fergusooo.
Menikah butuh banyak kesiapan: kesiapan hati, mental, finansial, dan kesiapan-kesiapan kecil lainnya yang sangat dibutuhkan ketika kita sudah bertekad untuk memilih menikah.
Satu hal yang penting, memilih untuk belum menikah tidak sama dengan memilih untuk tidak menikah. Saya sendiri sudah punya target kapan waktu yang tepat bagi saya untuk menikah. Di saat itulah saya sudah memiliki kesiapan yang benar-benar matang.
***
Kita kembali lagi ke cerita soal obrolan kami di rumah tetangga tadi. Dalam percakapan yang berakhir kurang mengenakkan tersebut, saya dan sahabat saya memaksakan diri untuk meneguk kopi yang tinggal setengah gelas. Kopi pahit itu terpaksa kami teguk meski hati sedikit teriris.
Dan di akhir pertemuan tersebut, saya menyampaikan sebuah kalimat konyol kepada tetangga saya itu, ”Tanta, undangan menyusul tahun 2022 atau 2023, tunggu saja.”
“ Enu, genok darimana?” Saya pukul testa, lalu pamit pulang.
Sepulang dari situ, saya langsung update status di Facebook: “Menikah butuh kesiapan, termasuk kesiapan berapa ekor babi yang akan disembelih untuk tiba anak wina”.