Menikahi Nona Elar Selatan? Militansi Saja Tidak Cukup, Bung

Ada satu makhluk yang lenyap dari peredaran setelah kemajuan teknologi komunikasi merambah dalam dunia percintaan, namanya jembatan. Tentu bukan jembatan Wae Lolong atau Wae Mau dan sejenisnya ya bro dan sis.
Jembatan itu dibaptis pada mereka yang berjasa menjadi perantara mengutarakan perasaan kepada si dia yang kau ingin jadikan pacar. Jembatan, selanjutnya akan terus berperanan penting untuk berbagai urusan semisal menitipkan surat, menyampaikan salam, dan seterusnya dan seterusnya.
Tugas jembatan ini semacam kurir, melayani order bertukar informasi bagi kedua insan yang kasmaran. Well, stop panjang lebar bahas makhluk yang satu ini. Keberadaannya sudah diganti dengan berbagai media seperti pesan instan via SMS, WA belum lagi media sosial lain. Yang pasti mudah plus mewah.
Ada hal lain yang menjadi sebab musababnya, lagi-lagi kemajuan. Namanya infrastruktur jalan. Punya pacar di kota atau di kampung sekarang, rasanya sama-sama mewah. Apalagi engko punya motor, tinggal gaspolll sampailah engkau di hadapan sang kekasih.
Bagaimana dengan yang punya kekasih dari Elar Selatan? Mari kita masuk babak pilu nan tragis dari cerita ini. Mari siap tisu. Hiks…hiks..
Baik su, kita lanjut. Jatuh cinta dalam konteks asmara itu hak semua insan tak pandang bulu (meski sebaiknya harus dengan lawan jenis), asal usul, agama, dan blablabla, termasuk jatuh cinta dengan nona Elar Selatan. Siap Presiden!
Sebelum lebih jauh, harus digarisbawahi, tulisan ini dari seorang pria dari jauh yang jatuh cinta dan membina hubungan dengan nona Elar Selatan. Mungkin dianggap biasa bagi para pria Elar Selatan yang menikahi nona sekampung atau di kampung sekitar.
Kita lanjut lagi, nona Elar Selatan itu kasarnya seperti bunga di tepi jurang. Indah namun susah dipetik, sedaap yahh. Butuh militansi ekstra ketika kau memutuskan membina hubungan dengan nona Elar Selatan.
Beberapa argumentasi berbasis fakta bukan hoax ala Ratna Serempet Sarumpaet di bawah ini akan mempertegas beberapa hal. Ketika pertama kali jatuh cinta semua berjalan dengan aman nan damai. Kasmaran setiap saat, tapi cerita selanjutnya begini…
Bersiaplah Menelusuri Kali Mati
Pernah kunjung maitua di Elar Selatan? Setelah Pulang dari sana, apa yang kau rasakan? Lelah. Yah, anda benar, kalau anda merasa tidak lelah saya curiga anda Superman. Rasa lelah itu sudah cukup membuktikan militansi anda terbayar demi si dia.
Bukan tanpa alasan jika anda lelah. Anda baru saja menelusuri kali mati. Bukan jalan raya. 20 tahun sepeninggalan pemerintahan Gaspar Ehok, jalan raya ke Elar Selatan luput dari radar penguasa. Tahun 2018 lalu sudah mulai ada perhatian berupa jalanan yang dilapisi pasir dan tanah. Itupun baru menjangkau satu desa, namanya desa Sipi, di Wilayah Deruk. Deruk yang manis itu kah, eh itu mah jeruk.
Sebelum kita bahas jauh di Elar Selatan, penderitaan sesungguhnya akan dirasakan mulai memasuki Kota Komba tepatnya di Golo Robo sebelum Mbata. Turunan tajam, lubang menganga, dan sisa dedak kasar berserakan di jalan.
Jika kau tunggangi motor, di turunan Golo Robo, kumpulkan nyali sebanyak-banyaknya. Simpan sebagian nyali itu di kaki, sisanya di tangan. Tekan rem secukupnya agar tidak terseret sisa pasir. Tarik rem tangan seperlunya, jurang di kanan jalan itu cukup dalam. Salah sedikit, selesai.
Setelah tiba di Mbata, roda kendaraanmu akan dimanjakan dengan proyek hiburan jalan dari pasir dan tanah. Disebut hiburan, karena jalanan ini sudah semakin terkikis saban hujan tiba. Dari tempat ini sampai di Deruk, Elar Selatan dianjurkan agar tetap santai.
Setelah Deruk kau lalui. Selamat datang di Mamba. Sakit rasanya tiba di sini, hmm. Tepat di tikungan menuju Gereja Paroki Mamba, pasang jurus terbaik. Lagi-lagi kumpulkan kembali nyali. Di sini sangat menyakitkan saat musim hujan.
Jalanan jadi licin, roda belakang anda akan bergeser sejadi-jadinya jika tarikan gas tidak cukup teratur, atau paling buruk tertanam pada lumpur yang dalam. Demi cinta, lanjutkan perjalanan, tambatan hati menunggumu di sana.
Selanjutnya, perjalananmu akan semakin jauh dari kata nikmat. Bebatuan yang tidak tertata rapi tak ketinggalan lubang menganga seolah senang menertawakan perjuangan cintamu. Hahaha
Setelah dari gereja Mamba, saya akan menyebutkan secara acak beberapa titik darurat. Sebut saja di Wae Panang setelah kampung Mbong, di Lindi sebelum masuk kampung Renden, di tanjakan Lando, dan seterusnya, dan seterusnya.
So far, tulisan ini mungkin belum mampu mengadegankan pahitnya kau menelusuri jalan kali mati. Setelah kau lolos dari jalanan jelek ini, militansi anda separuhnya teruji.
Selanjutnya begini, jika tiba saatnya sampai di rumah maitua, rasa lelah akan terbayar cicil melihat dia memberikan senyum terbaik, menyambut kedatanganmu bak tentara Amerika disambut kembali dari Irak. Maaf agak lebay.
Tapi tunggu dulu, sebelum disuguhkan dengan minuman pembuka entah itu kopi atau sejenisnya ada hal penting yang tak boleh terlewatkan begitu saja. Sederhana tapi bermakna. Namanya “Lorang”.
Lorang secara harafiah itu menangisi kepergian seseorang. Tapi dalam konteks ini Lorang itu semacam seremoni sederhana sebagai penanda ketika pertama kali memasuki rumah di Elar Selatan. Maknanya adalah menghormati para leluhur yang sudah meninggal.
Relakan selembar rupiah dengan nominal sebisanya, lalu lorang pun selesai. Tugas selanjutnya adalah orang rumah akan menyampaikan kepada leluhur agar ikut menyambut serta menjaga anda sebagai tamu dengan ramah.
Setelah itu, rasanya bukan tugas saya lagi bagaimana seharusnya memulai cerita dengan calon mertua dan sekeluarga karena kalau anda mau menikah anda pasti siap dan gentle. Sukses ya, bro!!
Oh ya, sebelum tutup, jika anda ke sana siapkan tas jenis ransel dengan ukuran agak besar. Sebab kalau calon mertua merasa sreg, saat pulang ada kopi yang memenuhi isi tas mu. Semoga, Hehehe.

Penulis: Elvis Yunani Ontas|Meka Tabeite|
Ulasan yang keren. Pembahasan ini sekiranya mampu mengantar pembaca Manggarai pada kenangan masa-masa dulu, yaitu ketika peran ‘jembatan’ masih sangat penting. Mantul, Min.