Menjadi Wartawan Bermodal ID CARD Saja Belum Keren. Pahami!!

Loading


Popind Davianus|Tuagolo|

Hai semua. Jumpa kembali bersama tuagolo tabeite yang Alhamdullilah kegantengannya berhasil mengalahkan  Raffi Ahmad di penghujung tahun 2019 lalu. Apa kabar kalian di tahun yang baru? Semoga baik-baik saja tanpa kurang satu apa pun.

Tahun 2019 sudah berpamit beberapa hari yang lalu. Suka duka tinggi bersama di gang gelap ramainya Jogja. Anying, itu lirik lagu. Maaf,maaf.

Begini. Pada tahun 2019, jumlah media yang katanya memproduksi produk jurnalistik jumlahnya berlimpah ruah dan kemungkinan di tahun 2020 jumlahnya akan lebih banyak lagi.

Mari kita menundukkan kepala dan memberi apresiasi sebesar-besarnya kepada penggagas setiap media yang panjang umur hingga tahun 2020.  Namun perlu disesali ada beberapa media yang akhirnya harus undur diri dan entah kapan mereka kembali lagi menghiasi hari-hari kita dengan artikel yang mereka sajikan.  Baik media yang keren maupun yang gemesin itu, sungguh kami rindu.

Saat media yang lain pamit undur diri, beberapa media baru bermunculan dan berusaha menyaingi media terdahulu. Sedangkan media terdahulu berusaha mempertahankan kelangsungan hidup. Cara bertahan hidup ala media itu beragam. Jika bergerak di media jurnalistik, tentu salah satunya membutuhkan wartawan sebagai orang terdepan yang mencari dan meliput peristiwa.

Nah, ini dia masalahnya. Dulu, saya pernah magang di sebuah perusahaan media ternama di negeri ini. Saya diberikan sebuah id card, penanda saya salah satu wartawan di perusahaan tersebut. Sumpah! Mendapat id card dari perusahaan sebesar itu membikin saya girang tak karu-karuan sampai harus salto depan belakang berulang-ulang.

Mendapat id card tersebut seakan saya menjadi salah satu manusia terhormat dari manusia terhormat lainnya. Id card tersebut saya letakan di bagian yang transparan di dompet. Tulisan jurnalis dan perusahaannya jelas terlihat. Pun ketika saya ditilang polisi, saya sengaja menunjukan id card saat diminta SIM, ya pak Polisinya tiba-tiba saja bilang “silahkan jalan mas.”

Memikirkan hal kurang ajar itu membuat saya jijik sendiri. Kok saya begitu tegah menggunakan id card tersebut dengan tidak bijak. Secara berita yang saya liput dan saya tulis tidak bagus-bagus amat dan sangat merepotkan bapak editor. Tapi kenapa saya begitu sombong yah saat itu? Sungguh terlalu.

Setelah saya bertobat dan kembali ke jalan yang sedikit benar. Saya malah menemukan orang lain melakukan apa yang pernah saya lakukan. Bekerja di sebuah media memang tantangannya banyak, termasuk melawan diri sendiri yang kadang kurang ajar. Dimulai dari memamerkan id card, mengancam narasumber agar dapat amplop dan lain-lainnya. Sebenarnya biang dari perilaku kurang ajar itu adalah id card kecil yang kalau dibuat sendiri biayanya hanya 15 ribu rupiah.

Melihat perilaku wartawan yang bangga berbekal id card hingga dipamerkan ke mana-mana itu lah yang membuat tabeite jangan pernah sesekali mencoba menjadi media yang menghasilkan produk jurnalistik. Karena sekali saja kami melangkah ke sana. Hmm id card yang kami miliki tentu akan membuat kami sombong dan takut dijadikan alat mengancam orang demi amplop.

Pekerjaan paling berat kita pengelola media hari ini adalah melawan sikap kurang ajar atas kepemilikan id card. Woi bro, ingat! Bikin id card hanya 15 ribu rupiah. Yang paling susah adalah membikin berita berimbang tanpa ditunggangi kepentingan di dalamnya. Sekian.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *