Merawat Kenang dalam Segelas Kopi

Sumber foto: Phinemo.com

Loading


Tak ada yang lebih menyenangkan dari waktu untuk berlibur. Tak ada yang lebih mendebarkan bila mata kita telah beradu tatap lalu tubuh jatuh pada pelukan. Tak ada yang lebih menggelitik geli, tak dapat menahan tawa dan air mata, bila kita kembali duduk saling melengkapi cerita akan kenangan yang tinggal sepenggal dalam kepala yang semakin bertambah ubannya. Tak ada. Ya, tak ada yang sama sekali terlupakan bila kebiasaan lama itu kita buat sesekali, walau kadang malu, sebab akan tiba saatnya nanti kita tak belia lagi.

Sesekali joak kadang berperan penting, untuk memelihara hangatnya canda dan tawa yang mulai redup dari wajah yang tak begitu pandai menyembunyikan kecemasan. Saya (berani) jamin, ada beberapa orang di dalam keluargamu, yang seakan mempunyai karisma khusus atau mungkin ditakdirkan untuk menghibur kita yang lain dengan begitu banyak cerita joak yang bisa membuat orang lain tertawa terpingkal-pingkal. Joak masih sering terdengar, di sela-sela petuah dari Ema yang semakin tua, kian membungkuk lantas terlalu lama dan semakin banyak kebijaksanaan hidup yang ia dapati (filosofi padi, semakin ia menua dan berisi, semakin ia menunduk, tandanya sebentar lagi, padi itu akan diambil).

Petuah tentang bagaimana menjalani hidup, menjaga relasi kanan dan kiri agar tak saling melepaskan diri, atau sampai memutuskan tali persaudaraan. Petuah dari yang tua, tentang bagaimana memelihara hati mereka yang pergi jauh dari kampung halaman warisan Nenek Moyang. Mereka yang ditakdirkan untuk mengikuti arah mata angin, mengikuti ke mana matahari terbit dan di mana nanti akan terbenam. Mereka yang mempunyai keinginan besar untuk pulang dan melampiaskan rasa rindu di antara sanak saudara dan keluarga sebelum satu atau dua dari mereka nantinya akan ada yang terlebih dahulu dipanggil pulang dan semakin banyak kubur dipermandikan cahaya lilin juga tangis kerinduan.

Petuah dari yang paling tua walau tak pernah ia meninggalkan rumah adalah peringatan yang dibumbui dengan doa dan sedikit ‘kutukan’ bagi yang tak mendengarkan. ‘Yang Tua’ bila mulai berkata dengan intonasi yang tak menentu, itulah tanda ia terburu-buru agar mampu membagikan semua ilmu bagimu sebelum umur dan hidup dikatupkan oleh tangan Sang Ibu, Tuhan. Kadang saat bertamu bila sempat berlibur, saya akan menatapnya dalam, menerka-nerka penuh waspada, apakah sosok ini akan saya temui lagi di liburan yang akan datang? Prasangka seperti inilah yang kemudian membuat saya untuk menghargai waktu saat duduk bersama. “selagi sempat, sebaiknya saya bertanya”. Bertanya tentang apa saja, tentang keluarga dan suku juga tentang kisah cinta mereka (opa dan oma). Biasanya saya cukup dengan sekali bertanya dan opa akan berpanjang lebar memberikan jawaban. Di antara jawabannya akan disisihkan juga dengan pesan-pesan moral. Kadang saya bertanya dalam hati, “apa gunanya sebuah jawaban yang selalu dibumbui dengan nilai-nilai moral?”. Kemudian saya mendapatkan jawaban tentang fungsi nilai-nilai moral ini. Nilai-nilai moral yang kita terima akan membentuk kita menjadi pribadi yang diinginkan oleh masyarakat. Bila kita menghidupi nilai-nilai ini dengan baik maka kita juga akan diterima dengan baik oleh masyarakat.

Petuah dan joak itu pada akhirnya terus dibawa dan dijadikan harta milik pribadi yang nantinya menjadi bekal untuk “alas perut” nantinya di tanah orang. Di antara hiruk-pikuk pencarian, petuah dan joak adalah pendorong untuk terus belajar, terus semangat dan terus berjuang. Mengikuti alur waktu, jalan hidup untuk menggenapi takdir. Petuah itu menjadi penuntun langkah kaki, tatapan mata, gerak tangan dan pilihan hatimu. Bila kau peka, tentu kau akan merasa. Sedangkan joak, tentu dapat menghidupi dirimu di tanah rantau. Dengan takaran yang pas, tidak lebih dan tidak kurang, akan menghasilkan sesuatu yang berkesan. Kau akan menjadi seorang pelawak yang berkembang atau menjadi seorang pengkhotbah yang kotbahnya selalu ditunggu oleh umat. Ruang kelasmu akan menjadi ramai dengan kegembiraan anak-anak didik. Semua itu karena kau berhasil menggunakan kemampuan joak-mu untuk memberikan kebahagiaan bagi orang lain.

Dan berbahagialah kalian yang berhasil mendengarkan petuah dan sempat bergembira karena mendengarkan joak dari orang-orang di sekitar. Sebab kegembiraan terbesar adalah bagi mereka yang dapat bersua muka. Apa gunanya sebuah pertemuan bila hanya diwakili, sebab itu hanya akan melahirkan rindu, yang padanya akan membuahkan luka dan suka.

Sebelum saya lupa, kembali kita pada judul tulisan singkat ini, Merawat Kenang Dalam Segelas Kopi. Inilah kenangan yang berhasil saya rawat hingga sekarang ini, tentang sosok petuah yang mulai merunduk menua, tentang joak yang berhasil saya dapati dari orang-orang di sekeliling saya. Kisah ini terjadi sekitar tiga tahun yang lalu. Dan di sini, di tempat yang asing, tempat merantau, saya menuliskan apa yang berhasil saya rawat dari tahun yang lewat. Semua ini berkat segelas kopi, yang selalu menjadi semacam ritual bagi saya, saat pagi, dan di mana saja saya pergi. Saat saya disuguhkan segelas kopi, dia yang memberi akan berkata “Kopi ini saya buatkan agak pahit, bukankah kau berasal dari Manggarai? Mungkin tak seenak kopi milik kalian, tapi saya mencoba menghargai kerinduan kalian untuk menikmati kopi”. Ahh., Kopi betapa kau selalu menjadi alasan untuk aku selalu merawat kenangan.

Penulis: Ma.A.L. Sawung|Mahasiswa|Lawa Tabeite|

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *