Merayakan Natal Lebih Berat dari Rindu

Loading



Dendi Sujono |Kontributor|

Ketika masih kecil Natal menjadi perayaan yang sangat dirindukan. Akan ada baju baru, sepatu baru, kue yang banyak dan tentu liburan panjang yang menyenangkan. Lebih dari itu Natal menjadi momen perjumpaan antara keluarga yang tinggalnya berjauhan. Kakek dan nenek saya dari Mauponggo, Nagekeo akan datang ke Golingkara, Manggarai Timur beserta dengan segenap keluarga “Mau” membawa banyak oleh-oleh terutama kembang goyang kesukaan saya, hehe.
Ketika sudah besar dan merantau ke tanah orang, Natal justru menjadi perayaan yang ditunggu dengan kecemasan tingkat dewa. Aneka pertanyaan berkecamuk dalam pikiran. Ketidaknyamanan merasuki perasaan. Akan ada persoalan apa lagi di Natal kali ini.
Beranda media sosial dipenuhi dengan ucapan anti Natal. Beberapa oknum berteriak atas nama agama tertentu mengharamkan ucapan Natal. Beberapa orang bahkan tega menebang aneka pohon yang mirip pohon Kristen; emang ada Pohon Kristen?
Di beberapa tempat dan daerah timbul berbagai bentuk persekusi dan ancaman bagi orang-orang Kristen agar tidak merayakan Natal di wilayah mereka. Rumah-rumah penduduk yang Kristen dan beberapa tempat ibadah malah disweeping, diperiksa dengan ganas kalau-kalau ada pernak pernik Natal yang dipasang di dinding depan rumah atau Gereja.
Di kota-kota tertentu beberapa ormas keagamaan mendatangi pasar, toko, kedai dan berbagai tempat belanja untuk menyerukan tidak mengenakan atribut Natal bagi yang Non Kristen. Anehnya lagi, beberapa gerai penjualan tidak menulis ucapan selamat Natal agar memperoleh label tertentu dari agama tertentu juga.
Tiba-tiba Natal menjadi begitu menyeramkan. Orang-orang Kristen selaku penikmat kemeriahan Natal dipandang sebagai penyebar virus mematikan. Natal seakan menjadi hari yang mematikan dan mengundang amarah sehingga patut ditiadakan.
Di sini di masa yang penuh was-was menunggu Natal saya merenung dengan sedih. Merayakan Natal memang berat dan semakin berat, lebih berat dari rindu seorang jomlo. Setiap detik dihitung dengan harap-harap cemas. Ada usaha untuk sabar menunggu, ya, menunggu surat balasan pemerintah setempat dan aparat keamanan yang memberikan izin merayakan ibadah Natal. Seorang jomlo takkan secemas itu.
Di berbagai grup WA dan media sosial muncul hiburan, ajakan menjaga kedamaian oleh sesama Kristiani. Adakah hiburan dan kedamaian itu di dapat ketika kedamaian dan hiburan itu malah dirampas? Pemerintah, aparat keamanan bahkan Negara seakan bisu, hening tak bergeming menghadapi berbagai bentuk intoleransi.
Memang Natal identik dengan keheningan pada awalnya. Malam Kudus, sunyi senyap, bintang yang gemerlap, Raja Damai itu datang. Dia datang bukan ke tengah pesta pora berlimpah makanan, atau ke tengah orang-orang beragama yang pongah dan sombong sedang berdoa. Dia datang justru ke tengah keluarga miskin yang hanya bisa melahirkan anak mereka di atas pelaminan dalam kandang hina Betlehem.
Ah merayakan Natal ternyata sudah berat dari awal. Bukankah Maria juga tiba-tiba saja hamil? Lebih berat lagi bukan? Lalu Yusuf yang disuruh tanggung jawab. Lebih ngeri lagi kan? Ketika bayi itu hendak lahir mereka malah ditolak di rumah-rumah penginapan hingga Yusuf dan Maria yang malang itu mengakhiri pencarian mereka akan penginapan di kandang bersama domba-domba. Lalu datanglah para gembala memberi hormat setelah mendapat kabar dari malaikat.
Merayakan Natal dan menjadi Kristen sama beratnya. Ya memang berat, lebih berat dari rindu karena LDR. Sudahkah anda siap seperti Sang Bayi dalam rahim Maria yang ditolak di tempat-tempat penginapan? Apakah anda siap dilahirkan di kandang bersama kambing, sapi, domba bahkan babi dan anjing? Apakah anda siap pada akhirnya seperti Yesus, hidup hanya tiga tahun itupun sengsara-Nya banyak lalu mati di salib dan dikuburkan di kuburan pinjaman? Apes benar hidup-Nya.
Memikirkan itu semua, Natal pun menjadi berwarna, bak kelap kelip lampu Pohon dan Kandang Natal. Perlu sebuah tantangan agar menggugah iman semakin bertumbuh. Bukankah Kristen itu berkembang karena ulah kesalehan yang disertai penghinaan dan penolakan bahkan darah?
Ingat! Yesus lahir di KANDANG. Kandang, sungguh sebuah lambang hina tapi Tuhan justru memilih jalan itu. Kandang adalah lambang ngeri dan sadis dari sebuah kelahiran, namun Tuhan melalui tahap itu. Kandang adalah lambang kesederhanaan dan warna dari seluruh hidup Yesus, dan Ia mengambil dan memikulnya tanpa ragu. Kandang selalu hadir di setiap perayaan Natal. Apakah yang pasang kandang dengan aneka hiasan warna warni itu paham juga maksudnya?
Merayakan Natal dan menjadi Kristen mesti seperti bayi yang lahir di kandang itu. Di kandang bukan di ranjang. Nah bagaimana, masih mau merayakan Natal atau terasa berat? Kalau tak tanggup cukup kami saja karena rindumu untuk si dia tak seberapa beratnya.

———————————————————————————————


Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *