Mistisnya Ritual Roko Molas Poco di Gendang Pakang

0

Warga tengah melaksanakan ritual Ritual Roko Molas Poco. (foto; dok. pribadi)

Loading


Erik Jumpar II Redaksi

Kedatangan kami di duapuluh dua hari yang telah berlalu disambut dengan kabut yang pekat. Rerintikan hujan turut menemaninya. Dinginnya pun tak dapat dihindari. Selama seminggu terakhir pada saat itu cuaca memang kurang bersahabat, ditambah letak kampung yang kami kunjungi berada di ketinggian 750 meter di atas permukaan laut.  

Kami langsung memarkirkan kendaraan roda dua, kemudian berjalan kaki sejauh 200 meter menuju tempat tujuan. Guru-guru dari SDK Puntu, teman Guru dari kaka ipar saya, sudah tiba lebih dulu. Mereka meninggalkan kelas selama seharian, anak-anak turut diarahkan untuk menyaksikan ritual adat yang mungkin hanya disaksikan sekali seumur hidup itu. 

Saat bersamaan masyarakat dari tiga anak kampung, dari Kampung Pakang, Kampung Perang dan Kampung Puntu, Desa Torok Golo, Kecamatan Rana Mese Kabupaten Manggarai Timur, berdatangan menuju rumah adat mereka, Rumah Gendang Pakang. Mereka akan melangsungkan ritual adat yang paling penting dalam pembangunan rumah adat, melaksanakan ritual Roko Molas Poco.

Dua tahun lalu rumah adat Gendang Pakang yang lama dibongkar. Mereka kemudian membangun rumah adat dengan luas 56 meter persegi sebagai rumah adat sementara. Rumah adatnya tak berbentuk rumah panggung, lazimnya rumah adat orang Mangggarai. Mereka membangun rumah adat sementara beralaskan papan yang disusun di atas tanah rata. 

Sejak rumah adat lama yang dibangun tahun 1986 sudah tidak layak huni, tokoh-tokoh adat dan masyarakat adat memikirkan jalan keluarnya. Mereka sampai pada putusan final, membangun rumah adat yang baru. Selama ini mereka telah mengumpulkan material lokal berupa balok, hanya material non-lokal yang belum terkumpul. 

Setelah masyarakat adat sepakat untuk melaksanakan proses pembangunan, pagi itu mereka akan melakukan ritual  Roko Molas Poco. Ritual Roko Molas Poco merupakan ritus untuk memikul (roko) tiang utama (siri bongkok) dari rumah gendang yang disimbolkan sebagai seorang gadis cantik (molas), kemudian akan dijemput oleh masyarakat adat di plataran kampung (pa’ang) untuk diarak masuk sampai ke halaman (natas) rumah adat.

Dari keterangan masyarakat yang saya temui bahwa sejak pagi sebagian masyarakat adat telah berangkat lebih dulu ke hutan. Mereka ditugaskan untuk memotong kayu yang akan jadi tiang utama rumah adat. Pohon yang ditebang bukan pohon sembarangan, dalam Bahasa Manggarai kayu itu dinamai kayu worok

Kayu worok sebagai tiang utama dan tidak boleh kayu yang disambung, tetapi kayu yang utuh, berbentuk bulat dan kayu yang kuat (haju pateng). Kayu worok menurut orang Manggarai termasuk kayu yang kuat, ini terungkap dalam ungkapan (goet) worok eta golo, pateng wa wae, artinya kayu worok tumbuh di gunung, kuat dan keras kalau di dalam air. 

Jarum jam semakin beranjak, cuaca semakin membaik. Sepertinya leluhur orang Pakang menjawab harapan masyarakat adat agar diberikan cuaca cerah sepanjang hari. Sebagian warga tengah menampilkan tarian di halaman rumah adat. Jenis tarian yang mereka bawakan berupa sae, ini semacam ekspresi riang sesaat sebelum melaksanakan ritual roko molas poco.  

Warga tengah sae di halaman rumah adat. (foto: dok. pribadi)

Dilansir dari ejournal.undiksha.ac.id (Edu dan Tarsan, 2019:4) dalam artikel berjudul Pendidikan Seni Musik Tradisional Manggarai dan Pembentukan Kecakapan Psikomotorik Anak, gong dan gendang dipakai untuk dipermainkan sehingga menghasilkan birama (jenis pukulan) yang disebut ndundu ndake, concong, kedindit dan taketu. Ada dua jenis pukulan yakni pukulan halus dan keras-cepat. Jenis pukulan pelan adalah taketu, deras adalah kedendit yang menggunakan dua gendang dan dipakai untuk mengiring tari-tarian adat. Ndundundake adalah jenis bunyi cepat. 

Dari empat birama tersebut, ndundu ndake dan concong adalah birama paling dasar yang harus dikuasai dengan mahir sebelum mengenal birama kedindit dan taketu. Dua birama terakhir merupakan variasi setelah seseorang bermain ndundu ndake dan concong dengan mahir. Empat birama ini merupakan birama dominan dalam musik tradisional Manggarai sebagai birama pengiring tari dan lagu daerah Manggarai untuk setiap kegiatan budaya, antara lain acara congko lokap, penti, roko molas poco, dan lain-lain. 

Sepanjang penari memeragakan tariannya, penabuh gong dan gendang memainkan birama taketu dan kedindit. Kami keasyikan menikmati lenggak-lenggok penari yang tengah sae. Di tepi halaman rumah adat terlihat anak-anak SDK Puntu begitu antusias menyaksikan orang tua yang tengah menari. Bahkan ada lima anak perempuan berdiri di baris belakang ikut menari. Pemandangan tersebut mengingatkan saya tentang transfer pengetahuan lokal yang organik, suatu pengalaman kebudayaan yang amat memengaruhi ziarah hidup anak-anak ke depannya. 

Panitia kemudian mengonfirmasi kepada kami bahwa warga yang ke hutan tengah berjalan menuju plataran kampung. Kami diarahkan untuk berkumpul di halaman rumah adat, seorang tokoh adat berbicara melalui pengeras suara. Ia mengingatkan kami untuk terlibat aktif sepanjang prosesi berlangsung. 

Perjalanan menuju plataran kampung dimulai. Pada ritual tersebut sebagian besar masyarakat adat memakai baju kemeja tangan panjang berwarna putih, bawahan sarung songke dan memakai topi songke. Sisanya memakai pakaian bebas, sementara anak-anak SDK Puntu memakai seragam merah putih. 

Perjalanan kami diiringi bunyi gong. Anak-anak SDK Puntu begitu antusias. Mereka ditugaskan oleh orang tuanya untuk mengambil gambar. Tugas tersebut amat mereka nikmati dengan berjalan lebih cepat dari rombongan, mungkin demi mendapatkan gambar terbaik. 

Warga tengah berjalan menuju plataran kampung. (foto; dok. pribadi)

Kami tiba di plataran kampung setelah berjalan sejauh 450 meter. Kami diarahkan untuk berkumpul di sebuah tugu yang terbuat dari susunan batu-batu, tugunya seperti compang (mesbah) di depan rumah adat orang Manggarai, tetapi dengan ukuran yang lebih kecil. Ritualnya dilakukan di atas tumpukan batu setinggi setengah meter. Saat ritual berlangsung warga yang membawa kayu worok diminta untuk tidak melanjutkan perjalanannya sebelum ritualnya telah selesai.

Di sini dilakukan ritual sebagai bentuk pemberitahuan sekaligus permintaan izin dengan leluhur. Media yang dipakai dalam ritual di antaranya ada sirih, pinang, sopi, telur dan ayam jantan. Doa yang didaraskan agar seluruh warga adat dari Gendang Pakang lewat lima panga dilimpahkan kesehatan dan kelancaran dalam rencana pembangunan rumah adat, khususnya melancarkan ritus roko molas poco. 

Seperti dilansir dari Rato, F. S. (2021:18) dalam artikel berjudul Tradisi Kumpul Kope Sebagai Bentuk Solidaritas Sosial Pada Masyarakat Cepang Kecamatan Satarmese Kabupaten Manggarai, panga merupakan otoritas yang memiliki hak atas gong dan gendang di mbaru gendang (rumah adat) masyarakat Manggarai. Mereka tinggal di rumah adat karena sesuai dengan tradisi yang diwariskan sejak zaman para leluhur sampai saat ini. 

Gendang Pakang memiliki lima panga di antaranya ada Panga Lendong, Panga Ros Tua, Panga Ros Waga, Panga Ros Mongko dan Panga Keli. Kelima panga ini dan didukung masyarakat adat akan bahu-membahu menuntaskan pembangunan rumah adat Gendang Pakang. 

Ritus adat di plataran Kampung Pakang. (foto; dok. pribadi)

Setelah ritus ini dilaksanakan, warga adat yang membawa kayu utama diarahkan untuk berjalan menuju plataran kampung. Di sini salah seorang warga menyambut tiang utama dengan ucapan selamat datang. Dalam doa yang didaraskan ia meminta agar seluruh roh yang mengikuti masyarakat adat yang baru membawa gadis hutan lewat kayu worok agar kembali lagi ke hutan, biar masyarakat adat dapat melaksanakan ritus roko molas poco

Ritus ini dilanjutkan dengan berjalan sejauh 100 meter, kemudian seorang anak gadis yang dijadikan molas poco (gadis hutan) naik ke atas kayu worok. Perjalanan dilanjutkan dengan mengarak kayu ini menuju ke halaman rumah adat. Ada 12 orang laki-laki yang memikul kayu sepanjang 6 meter ini. 

Sepanjang jalan masyarakat adat yang lain terus menyanyikan lagu daerah sembari menggerakan badan, sebagai ekspresi gembira karena telah berhasil menculik gadis hutan. Kayu worok dipandang sebagai gadis yang berhasil dipinang. Ia disambut dengan meriah untuk diarak menuju ke halaman rumah adat.  

Ritus ini berjalan selama 20 menit hingga tiba di halaman rumah adat. Di depan rumah adat salah seorang tokoh adat menyampaikan ucapan selamat datang bagi gadis hutan. Sapaannya masih dengan harapan yang sama agar roh yang ikut mengantar gadis hutan dapat kembali ke tempat tinggalnya di hutan. Selanjutnya ritus itu ditutup dengan menabuh gong dan gendang, dilanjutkan dengan ritus adat di dalam rumah adat.  

Tokoh adat Gendang Pakang dari Panga Ros Mongko, Eleuterius Sun, menandaskan bila proses pembangunan rumah adat Gendang Pakang amat membutuhkan dukungan dari berbagai pihak. 

“Tentu kami tidak bisa berjalan sendiri untuk membangun rumah adat ini, kami sangat mengharapkan bantuan dari berbagai pihak, baik pemerintah maupun swasta,” harapnya. 

Ada yang mistis selama ritus roko molas poco berlangsung. Rombongan dalam ritus roko molas poco hanya melewati jalan setapak yang hanya dapat dilewati oleh satu orang. Tekstur tanahnya licin dengan kemiringan 50 derajat, tetapi tidak ada satu orangpun yang tergelincir, apalagi terjatuh sepanjang prosesi berjalan. 

“Leluhur merestui ritus ini agar berjalan dengan aman sampai selesai,” jelas salah satu warga.  

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *