Perjalanan dan pengabdian (Sumber foto: Google)

Loading


Markus Makur|Kontributor

Apa yang hebat dalam diri saya, sesungguhnya tidak ada. Apa yang juga luar biasa dalam diri saya, sebenarnya juga tak saya jumpai. Saya sesungguhnya orang biasa-biasa saja di bumi ini. Saya sesungguhnya orang kecil di antara orang kecil.

Ziarah hidup saya juga tak yang luar biasa. Sebab, saya lahir dari keluarga petani, sederhana. Tidak terlalu menonjol dalam harta duniawi dan juga harta surgawi. Cukup berdoa seadanya. Berbuat seadanya sesuai dengan gerakan hati yang dituntun Sang Ada. Sebab Ia yang lebih berkuasa meng-Ada-kan di dunia fana ini. Ia meng-Ada-kan saya secara sukarela, Cuma-cuma bahkan total menyatakan kasih-Nya.

Sebagaimana seorang manusia, proses berlangsung, dari pembuahan dalam rahim seorang ibu, turun ke bumi, menangis pertama, sementara keluarga di sekeliling sangat bahagia atas kehadiran saya di bumi untuk melengkapi kebahagiaan dalam keluarga kecil dan besar dalam lingkup satu klan suku di pelosok Manggarai Barat. Ine Maria Ke’set dan Ame Nikolaus Dahu sangat bahagia karena saya lahir ke bumi untuk berziarah bersama mereka dalam gelombang kehidupan di dunia nyata.

Saya lahir di kampung terpencil di pedalaman Manggarai Timur. Saya diberikan asupan gizi yang bersumber dari gizi khusus dalam tubuh bundaku. Sumber gizi pertama dengan tetesan air kehidupan, yang disebut air susu ibu (ASI). Mengandung selama 9 bulan beberapa hari sesuai perhitungan para medis. Zaman itu masih minim bidan. Hanya hitungan manual dalam keseharian dari seorang ibu. Begitu alamiah. Asupan gizi untuk memberikan pertumbuhan dalam rahim ibu saya bersumber dari alam semesta yang diolah oleh tangan manusia. Tidak ada produk pabrik untuk menambahkan asupan gizi. Tidak ada susu instan. Bahkan mungkin belum ada vitamin untuk menambah kadar darah dalam tubuh ibuku. Serba manual dan alamiah dan semua bersumber dari alam. Sesekali minum air nira (wae minse) serta minum air gula merah yang sudah dilarutkan dalam air bening. Air bening berubah menjadi air berwarna merah. Saat saya turun ke bumi, mata saya tertutup. Berkat asupan gizi dengan tetesan air kasih, mata saya mulai terbuka untuk melihat dunia, melihat wajah orangtua saya yang pertama kali.

Selanjutnya saya dilatih untuk duduk, merangkak, latih berdiri, latih jalan untuk menyentuh bumi yang pertama kali hingga saya jalan tegak lurus. Tubuh saya semakin kuat dengan tambahan asupan gizi dengan makanan, sayur mayur yang bersumber dari alam, namun tetap ditambahkan tetesan air kasih. Bening. Sehat. Bergizi. Saya dibesarkan dengan asupan tetesan air kasih yang bersumber dari tubuh ibuku.

Sesudah tepat waktunya, saya dibaptis dalam Gereja Katolik, beriman kepada Yesus dari Nazaret sebab orangtua saya menganut agama Katolik. Saat itu saya dibaptis di Gedung Sekolah Dasar Inpres Redek Hawe karena belum ada gedung Kapela Wajur oleh Pater Franz Meszaros,SVD, seorang misionaris dari Hongaria.

Usia bertambah. Tidak ada perayaan Hari lahir yang dikenal dengan hari ulang tahun seperti zaman sekarang. Berjalan secara alamiah. Hidup di tengah masyarakat dan lingkungan sosial hingga usia sekolah dasar sampai perguruan tinggi.

Setelah selesai kuliah, mencari kerja dengan merantau ke tanah emas Papua. Bekerja di Kabupaten Merauke untuk pertama kali. Pertama menjadi guru Bahasa Inggris, hingga memutuskan menjadi seorang wartawan media cetak. Saat itu belum ada media online. Saya tekuni dan fokus dalam karier jurnalis di tanah Papua. Belajar otodidak yang dibimbing wartawan senior di Tanah Merauke, Fidelis Jeminta.

Selanjutnya dari Merauke ke Kabupaten Mimika sebagai kantor pusat media cetak Harian Timika Pos. Saat berada di kantor pusat, saya diberikan tugas di bagian liputan kriminal. Hari-hari meliput kasus kriminal di Kabupaten Mimika. Kemudian saya pindah kerja di media Nasional berbahasa Inggris, The Jakarta Post untuk wilayah Kabupaten Mimika dan wilayah Papua Selatan.

Liputan di Paniai, Asmat, Gunung Mulu

Selama berkarier di The Jakarta Post, saya meliput di Kabupaten Paniai. Di bagian pedalaman dari Kabupaten tersebut dengan menyeberang Danau Paniai, danau diatas gunung. Saat itu ada sebuah lembaga swadaya masyarakat (LSM) undang saya untuk meliput kerja-kerja mereka.

Selanjutnya, meliput festival budaya Asmat, Jayapura dan juga di Merauke. Bahkan saya pernah liput di Kabupaten Nabire. Semua itu dengan modal transportasi udara dengan pesawat atau helikopter. Yang lebih menatang adalah meliput pembangunan Bandara Udara di pegunungan Mulu, basecamp untuk para pendaki menuju ke Puncak Gunung Jayawijaya, Papua. Saat itu naik helikopter. Tentu takut. Itu pasti sebagai seorang manusia biasa. Tapi, pilot helikopter sangat berpengalaman hingga saya dan rombongan mendarat dengan aman hingga kembali ke Bandara Moses Kilangin, Timika, Papua.

Kembali Mengabdi di Bumi Songka Sae Manggarai Raya

Desember 2011, saya kembali ke bumi Songka Sae, dialek Kolang untuk Congka Sae. Bumi yang sangat kaya raya dengan potensi sumber daya alam serta kumpulan orang-orang hebat dari sisi sumber daya manusia.

Bekerja seperti biasa sebagai juru warta di bumi Manggarai Raya. Saya memilih di Manggarai Timur mengikuti keluarga. Tinggal di Kota Waelengga, Ibukota Kecamatan Kota Komba.

Meliput informasi apa saja yang layak dipublikasikan. Meliput seperti air mengalir, ada suka dan duka. Menulis apa saja sebagai tanggung jawab dan ucapan terima kasih kepada Sang Pencipta, alam semesta, orangtua, keluarga besar, lembaga pendidikan sebab Ia menganugerahkan saya talenta. Wartawan itu sebagai MuLuju, Laro Jaong dari kaum yang tak bersuara. Mengangkat fakta, kebenaran fakta, serta peristiwa alam semesta, peristiwa kehidupan manusia. Mempublikasikan fakta dan data dengan prinsip keberimbangan. Bagi saya menulis untuk menambah persahabatan, persaudaraan.

Menulis dan Berbuat Nyata Harus Seimbang

Saat menjadi wartawan di Manggarai Timur hanya ada media cetak. Saat itu saya menjadi kontributor The Jakarta Post. Kemudian Sang Pencipta, orangtua dan alam semesta menambahkan rezeki bagi saya dengan menjadi kontributor KOMPAS.com.

Ceritanya hanya relasi baik dengan seorang jurnalis di Jakarta dan menginformasikan bahwa KOMPAS.com sedang mencari kontributor di NTT, khususnya di Pulau Flores. Saya melamar dan diterima.

Saya tahu dengan kemampuan saya yang masih sangat terbatas dalam merangkai kata menjadi kalimat. Tapi berkat ketekunan dan membaca ulang berita ficer dan news yang dipublikasikan membuat saya perlahan-lahan saya bisa beradaptasi dengan gaya KOMPAS.com yang memfokuskan kisah humanis. Menulis kisah humanis tentu sangat berat karena terbiasa menulis news atau berita pendek.

Tahap demi tahap saya lalui dengan fokus dan tekun untuk terus belajar. Membaca buku untuk mengasah kemampuan menulis ficer. Melatih dan melatih. Jatuh bangun. Kadang artikel tidak dimuat karena tidak sesuai dengan standar atau bahasa halusnya terlalu berita lokal.

Kemudian selama saya menjadi wartawan, saya menjadi pelanggan koran harian Flores Pos. Saya membaca kisah humanis tentang pelayanan bagi Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) oleh Pater Avent Sau, SVD. Ficer humanis itu di narasikan oleh Pater Avent Saur, SVD yang bekerja di harian Flores Pos. Kemudian saya membaca postingan media sosial facebook dari Pater Avent Saur,SVD hingga saya terinspirasi untuk bergabung menjadi relawan Kelompok Kasih Insanis (KKI) Peduli Orang Dengan Gangguan Jiwa di Kabupaten Manggarai Timur. Saat itu Pater Avent Saur, SVD sudah mendirikan Kelompok Kasih Insanis (KKI) NTT.

Cara kerja Tuhan sedikit demi sedikit merasuki jiwa, hati dan pikiran saya hingga saya bertemu Pater Avent Saur, SVD bersama 4 wartawan lainnya di Warung Makan Ayu Borong di Juli 2017 lalu. Saat itu kami menyampaikan niat untuk menjadi relawan Kelompok Kasih Insanis. Pater setuju dan disepakati saya menjadi koordinator relawan KKI Kabupaten Manggarai Timur.

Selesai makan siang, saya bersama Pater Avent Saur, SVD mengunjungi beberapa ODGJ yang di pasung di sekitar Kota Borong serta sepanjang jalan Transflores Borong-Waelengga hingga Pater kembali ke Ende dan saya kembali ke rumah di Kompleks Mabako Waelengga.

 Empat Tahun Pelayanan KKI Belum Kalah

Karya sukarela KKI di Manggarai Timur memberikan dampak positif bagi pemulihan saudara Orang Dengan Gangguan Jiwa. Sejumlah warga sudah lepas pasung dan pulih berkat minum obat rutin. Pemerintah Daerah Kabupaten Manggarai Timur, Lembaga DPRD memberikan perhatian serius untuk menangani penderita gangguan jiwa dengan mengunjungi dari rumah ke rumah. Tersebar luas liputan humanis yang dipublikasikan di media massa online dan cetak di Nusa Tenggara Timur dan media KOMPAS.com dan The Jakarta Post bahkan media asing di Portugal.

Hasil liputan di media online membuat Radio Republik Indonesia (RRI) Ende tertarik mengangkat kisah jurnalis Peduli ODGJ. Presenter RRI Ende, Kristin Senda menghubungi saya untuk berbagi kisah dan kasih selama satu jam bersama RRI Ende. Jadi tema tulisan ini berdasarkan topik yang dibuat RRI Ende.

Satu Jam Bersama RRI Ende

Di tengah pandemi Covid19 ini, media teknologi dengan aplikasi zoom sangat membantu untuk menyebarluaskan kebaikan, persaudaraan dan persahabatan serta berbagi kasih dan kisah seputar pelayanan bagi orang-orang rentan yang dipinggirkan dan tak bisa bersuara.

Wartawan sebagai MuLuju agu Laro Jaong dari orang-orang yang disisihkan dari masyarakat dan pemerintah. Orang-orang rentan harus di prioritas dalam segala aspek pelayanan sebab mereka juga memiliki hak-hak asasi manusia dan martabat manusia.

Santo Yohanes Paulus II saat menjadi Paus selalu bersuara untuk membela hak-hak asasi manusia sebagai keutamaan dalam diri manusia.

Ucapan Terima Kasih

Terima  kasih Tuhan yang selalu menggerakkan hati saya yang rapuh ini untuk berbagi Kasih-Mu bagi sesama. Terima kasih RRI Ende yang sudah mengangkat sisi kasih dari karya kemanusiaan saya bagi sesama yang membutuhkan sentuhan. Terima kasih Pater Avent Saur, SVD, Ketua KKI NTT yang sudah membuka jalan pelayanan ini. Terima kasih ordo SVD. Terima kasih relawan KKI NTT dan Manggarai Timur, terima kasih Komunitas Cenggo Inung Kopi Online (CIKO), Kae Mensi Anam, Kae Onsa Joman, Om Rosis, Om Ibeth. Terima kasih KOMPAS.com yang terus memberikan kepercayaan saya untuk mempublikasikan karya-karya humanis. Terima kasih sahabat dan saudaraku seperjalanan Rosis Adir. Terima kasih Romo Hermen Sanusi, Pr, Terima kasih Pater Frumens Andi, SMM. Terima kasih Pemda Manggarai Timur. Terima kasih lembaga DPRD Manggarai Timur. Terima kasih wartawan Manggarai Timur. Terima kasih kepada istri dan anak-anak yang terus mendukung karya-karya kemanusiaan bagi sesama yang membutuhkan sentuhan nyata. Bukan sentuhan karena omongan. Terima kasih orang-orang baik di Manggarai Timur dan di Indonesia.

Pesan saya: Menulis dan Berbuat Nyata harus seimbang dalam ziarah hidup. Saya mohon maaf kalau dalam pelayanan selama ini ada yang kurang berkenan. Mohon maafkan saya. Bukan hanya menulis melainkan perbuatan nyata itu sangat penting dan juga sebaliknya. Salam Belum Kalah. Salam Sehat  Jiwa. Saudara yang sedang sakit dan pulih. Itu menandakan bahwa kita hadir bagi sesama. Misi hadir itu nomor satu. Mereka pulih akan berdampak pada kesejahteraan. Bukan sejahtera terlebih dahulu melainkan dampak dari perbuatan kita diwujudkan dalam sejahtera. Sejahtera bukan karena harta berlimpah dan uang bertumpuk melainkan pertama-tama, sejahtera hati dan pikiran. Salam Sehat di tengah wabah Covid-19. Sahabat yang berteman dengan saya di facebook ini mohon mendoakan saja dalam kesehariannya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *