Nana Manggarai dalam Diskusi Filosofis

0

lelaki sejati. (foto ; dari google)

Loading


Nando Sengkang|Redaksi

“Nana Andoks”, itulah panggilan kesayangannya. Putra kelahiran Simpang Tiga Natar Munde-Waerana—sebuah kampung “No Google Map dan Bebas Korupsi” di pelosok Manggarai Timur— kini bergulat di Mama Kota, Jakarta. Nana berlabel “Mahasiswa”. Kerennya bukan main, apalagi kaleng-kaleng dan bukan kaleng biskuit Khong Guan. Intinya keren, karena menjadi “Maha-nya” para siswa, saking jadi “Maha” sampai-sampai banyak perubahan terjadi. Katanya, perubahan itu akibat dari terlalu banyak makan  menu Filsafat. Maklum, Nana Andoks kuliah jurusan Filsafat. Mamaiaaaa….!

***

Tiba-tiba saja, entah dalam suasana untung dan malang, sehat dan sakit, tangis dan tawa—mirip janji perkawinan Nana Opik dengan pacarnya yang tak pernah Up Load di Facebook—Nana Andoks terjebak dalam Diskusi Dadakan di sebuah Warjok, warung pojok.

Filsafat? Bukankah itu ilmu orang-orang Cerdas?Tanya Mba Jawa kepada Nana Andoks dalam Diskusi Dadakan.

Dengan ketenangan meditatif dan getaran nada-nada intelektual amatir, Nana menjawab sepoi-sepoi basah, “ Cerdas? Itu anggapan yang tidak perlu dijawab, namun sudah terbukti salah. Filsafat? Itu adalah ilmu yang sederhana. Itu adalah ilmu bagi mereka yang mau belajar, belajar, dan terus belajar. Itu adalah ilmu bagi mereka yang mencari, mencari, dan terus mencari, hingga mencari sesuatu yang “tak perlu dicari”. Filsafat tak pernah berhenti, tetapi terus mencari, hingga mencari ke arah yang tak berujung; mencari dan mencintai kebijaksanaan (Filosophia). Setelah menikmati semua proses itu, alhasil Sikap Kritis dan (terus mencintai) kebijaksanaan adalah buah utama yang diperoleh. Keahlian cakap menulis, seni beretorika, berpikir kritis adalah embel-embel kemudian. Yang utama adalah ilmu bagi mereka yang terus belajar dan mencari!”

Mamamia…. Jawaban Nana Andoks bukan kaleng-kaleng! Walaupun Nana masih amatir belajar Pengantar Filsafat, namun nyanyian intelektual dan calon pemikir mulai nyaring menggema.

Jika mendengar jawaban itu, Opa Bie yang sudah pensiun dan duduk manis di Simpang Tiga Natar Munde, diam-diam angkat pacul let’s go ke Kebun Cengkeh. Maklum, orang kampung pasti tidak terlalu pusing dengan jawaban Nana Andoks yang sok Filsuf itu.

Tetapi percuma belajar Filsafat, toh ujung-ujungnya orang jatuh menjadi Ateis, mereka yang tidak percaya Tuhan?lanjut Mba Jawa memanasi Diskusi Dadakan mereka.

Nana Andoks mulai gemetar, tepatnya pusing mual-mual. Pertanyaan kedua paradoks, di satu sisi bertanya mencari jawaban, di sisi lain mungkin bertanya untuk menguji anak kampung yang sok Filsuf itu. Untung saja Mba Jawa manisnya kelewatan, kalau tidak Nana tidak akan mengikuti diskusi “buang-buang waktu”, mirip diskusi di TV “Mencari Solusi Tanpa Solusi”.

Untung Nana Andoks punya solusi. Solusi sementara, Nana Andoks meneguk segelas Kopi Pait Colol untuk sekedar memenangkan kepelikan. Untung ada kopi pemecah kebuntuan. Solusi ini memberi pelajaran sederhana ala Nana Andoks, “Kala pikiranmu bertemu jalan buntu, duduklah sebentar. Lalu mainkan peran tanganmu untuk menyeduh segelas kopi. Ingin hasil yang terbaik, sebaiknya gunakan Kopi Manggarai kualitas No Sugar, Ok?”

Nana Andoks menjawab tenang dan mantap, maklum Kopi Pait Colol sudah bereaksi, beraksi, akhirnya bersaksi—mirip para rasul di tepi Danau Genesaret:

“Nah, justru itulah masalahnya. Orang yang menjadi ateis karena mengagung-agungkan paham ateismenya, aliran/paham yang berteriak di ruang kepalanya bahwa “Tidak ada Tuhan”; bersama Nietzsche, para ateis sama-sama berlari memegang lentera sambil berteriak “Tuhan telah mati! Kitalah yang membunuh-Nya”. Sejatinya, Filsafat bagi saya suatu pencarian terus menerus dan tak pernah berhenti. Karena itu, mereka yang belajar filsafat dan akhirnya menjadi ateis adalah mereka yang kelelahan dalam perjalanan pencarian itu. Mungkin tepatnya mereka yang kalah dan mudah menyerah. Lebih jauh dan lebih tepat, diskursus tentang Tuhan terjadi dalam ruang Diskusi Teologis. Ilmu Teologilah yang memiliki kapasitas jawaban yang memadai tentang Tuhan. Filsafat hanya mampu memberi nama sesuatu yang seperti Tuhan dalam wacana Teologi itu seperti sesuatu “Yang Tak Terbatas”, “Ada di Seberang”, “Sesuatu yang Absolut”, “Ada dari ketiadaan”, “Ada itu sendiri”, dan sebagainya. Para filsuf tidak bisa mengasah pedang argumentasi filosofis untuk memenggal kepala-kepala dan isi kepala teologis dan paham irasional lainnya!”

Mantap jiwa!

Namun, Mba Jawa semakin kritis, lebih tepatnya cerewet. Maklum, sejatinya perempuan di muka bumi ini adalah cerewet, walaupun sudah ditutup bedak tebal 10 cm dan lipstik bebas luntur. Semoga pembaca tidak cerewet, atau?

Kalau begitu apakah Tuhan itu ada? Mba Jawa bertanya setajam pisau bermata dua.

Nana Andoks menjawab tanpa kompromi dan basa-basi panjang lebar ibu-ibu arisan, “Tuhan yang mana? Apakah Tuhan dalam paham agama-agama dunia? Atau Tuhan dalam paham masyarakat dahulu yang percaya pada mitos-mitos? Jika bertanya pada Agamawan sok Soleh dan Solehah, hingga sok radikal, mereka akan lantang menjawab dengan pengeras suara bahwa “Tuhan itu ada”, para nenek moyang dahulu akan menjawab “Tuhan atau dewa-dewa itu ada dalam batu-batu besar, pohon, sungai, langit, dan tempat yang dianggap sakral. Orang-orang Yunani akan menjawab Tuhannya mereka adalah Zeus, yang sedang duduk manis di Pegunungan Olympus. Para ateis akan menjawab tuhan mereka adalah “Diri mereka Sendiri (bdk. Feurbach)”. Jadi Tuhan yang mana? Jika Tuhan yang dimaksud seperti Tuhannya agama-agama dunia, maka Filsafat akan merendahkan dirinya untuk membiarkan Teologi agama-agama yang bersangkutan untuk jawabannya.”

Jadi, Filsafat itu apa sebenarnya?” tanya Mba Jawa pada detik-detik terakhir, mirip waktu Injury Time.

“Filsafat itu adalah….Mari kita mencarinya bersama-sama dengan terus mencari dan mencintai kebijaksanaan” Nana Andoks senyum “Reba Manggarai”.

Diskusi Dadakan mendadak berhenti karena aksi demo RUU Cipta Kerja para mahasiswa yang kelebihan cerdas: cerdas karena hanya ikut-ikutan, cerdas karena tidak tahu apa yang dibuat, cerdas karena tidak membaca, dan cerdas karena termakan hoax. Luar biasa!

***

Nana Andoks, semenjak kuliah filsafat gayanya semakin lain sampai ”oh lain”. Jika melihat gayanya,  Kaka Abdur Arsyad akan berkomentar “Adu Mama Sayang E”. Ase Bentran Peto akan bernyanyi, “Anak Diong Keta H.o?”

   Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta,

2020

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *