Natalku adalah Engkau

1

Loading


Valerian Valdy Caritas |Kontributor

Aku mencari natal yang kian lambat menghampiriku di masa ini. Aku mencari natal, tapi dia rupanya lari, pergi tanpa jejak seperti angin Desember yang sukses menumbang batang-batang perkasa penguasa hutan-hutan kita. Aku mencari natal, ia rupanya masih malu-malu, mengintip sambil mengirimiku hadiah kedamaian dan cinta, ibarat penggemar rahasia yang tak ingin ketahuan. Aku mencari natal, dia ada, ah, damaiku membubung, tapi dimana?

Oh, ini rupanya. Sekelompok remaja sibuk meletupkan semangat (katanya) yang sukses memenuhkan separuh rumah sakit spesialis jantung dan shock bagi dada dan telinga yang tak siap atau mungkin melamun dan merenungi diri dalam ketenangan. Dentuman meriam, petasan, mercon dan entah apa namanya yang lain menjadi teman setia bagi telingaku. Yah, ini Natal, gumamku sambil menyimpan sedikit tanya. Entah apa hubungannya, tapi inilah Natal, kata mereka, kata kotaku. Maka penuhlah setiap emperan toko dengan deretan kembang api dan mercon Bambu-bambu yang riang menyambut hujan Desember ditumbangkan paksa, dilubangi dan mulai berdentum membelah Natal. Yah, membelah Natal, lalu membelah gembira menjadi dentum-dentum penyesak telinga. Ada bahagia, katanya, di situ, dan itu Natal. Yah….

Oh iya, ini juga Natal. Rumah-rumah panggung kecil mulai berderet-deret, berlomba memenuhi setiap pinggir jalan, di depan hampir setiap rumah. Beberapa tak tanggung-tanggung, besarnya hampir menyamai kandang Kambing di rumah kami. Katanya, itu kandang Natal, tempat bersemayam Sang Bayi TUHAN agar tak usah ke mana-mana, cukup menghangatkan diri di hati mereka. Sekelompok pemuda dan pria paruh baya bercengkerama menjaga kandang natal, menenangkan DIA yang mungkin menangis dan menggigil menyambut dingin gerimis dan gagal ditenangkan sang Bunda. O la la, mereka punya penangkal ngantuk. Sebotol, maaf, tiga botol aqua berisi (mereka menyebutnya) sopi menemani malam yang dingin, kartu dikeluarkan, dan dimulailah segalanya. Bila kepala badan mulai kehilangan keseimbangan, keluarlah speaker berderet-deret, microphone dipasang, volume disetel sekeras-kerasnya, sampai bunyi klik di ujung tulisan max pada tombol-tombol amplifier. Sejenak kemudian, alunan lagu-lagu karaoke tak keruan mulai menyakitkan jangkrik. Rata-rata lagu lawas, dengan nada-nada sumbang, serak-serak banjir setelah alkohol penuh dalam dada. Keluarga Muda, bertiga di dalam kandang, memandang dengan sayu. Rupanya setelah begitu lama, mereka tetap bertiga, ditemani kambing dan domba. Ini juga Natal, katanya.

Aihh ada yang bagus, kerlap –kerlip itu. Yah, mungkin ini yang mungkin layak disebut Natal. Ibarat bintang yang jatuh dan lupa naik lagi, mereka berserakan di seantero kota. Merayap menemani malam Sang Juru Selamat, seolah tersenyum untuk ikut mendandani hati para penyambutNya. Sayang sungguh disayang, rupanya nyalanya terlalu terang. Katanya, bukan tanpa sebab malam dihikayatkan pada kegelapan, juga bukan tanpa sebab hitam didandani pada malam. Setelah terang-terang itu naik, kita lupa menyalakan pelita di dalam hati, pelita di dalam rumah. Akhirnya, Natal tetap Natal, seperti kali lalu, seperti sebelumnya, seperti sebelumnya. Ramai, tapi tak pernah sanggup mengisi kekosongan yang kian parah menggelapkan hati kita. Setelah bintang- bintang itu kembali ke peraduannya di dalam lemari-lemari, bingkisan-bingkisan berisi jenazah dari negeri seberang kembali jadi hadiah Natal untuk kita, setiap orang dapat dengan mudah kembali menipu, kembali mencuri, kembali serakah, tangisan-tangisan kelaparan dan ketidakadilan akan kembali bergema. Hati kita lupa dinyalakan. Panorama berubah menjadi semacam gosip dari wanita genit di sudut pasar yang kebetulan diberi nama manis, Cahaya. Ia sukses membuka pada setiap telinga dan mata segala keburukan dan kebohongan yang dibungkus dalam Natal. Yah, itu Natal juga, katanya. Aiih…

Lalu aku terhenyak dan lelah. Gerimis ini mendinginkan hatiku. Engkau juga tak kunjung datang. Sudahlah, aku paham kesibukanmu. Aku juga tahu hatimu untukku dan untuk kita. Aku lalu hanya duduk saja di pinggir jalan, memandang riak air langit yang enggan bergerak setelah menerpa aspal hitam di hadapanku. Dan kemudian….

Seorang nenek menggamit lengan cucunya, berjalan dalam langkah senyum melawan gerimis. Aiih ia tersenyum padaku, mengucapkan selamat Natal. Aku bertanya penuh keheranan, mungkin pernah bertemu atau berkenalan di suatu masa dulu. Ia menjawab “tidak” sambil berlalu, ditarik cucunya menuju sebuah kios untuk membeli terompet tahun baru yang dijual  Mas Ahmad yang, saya baru ingat, tidak merayakan Natal seperti kita. Aku bahkan membeli Rosario kesayanganku di toko kecilnya. Aiih indahnya negeriku, celotehku pada hatiku.

Seorang wanita cantik centil jelita, memandang malu-malu dari sisi samping rumah. Melambaikan salam pada hatiku yang mendadak berbunga  dan terbang ke langit ketujuh. Rasanya beda, mungkin Desember membuat senyumnya agak lain, tidak genit atau penuh pesona asmara seperti biasanya. Ada sesuatu yang memikul senyum dan lambaian itu, dan ia menembus hatiku dengan kedamaian, bukan pesona.

Aduh, sedang asyik-asyiknya menatap lambaian, HPku bergetar hebat melawan dingin. Rupanya mama menelpon. Adik kecilku tak ketinggalan, meneriakkan kata-kata yang sayup-sayup terdengar seperti “baju, sepatu, dan Natal”. Hmm, mendengar mereka, hidupku seperti dipugar lagi, kembali menemukan jalannya di ujung Desember. Aku jadi paham mengapa Tuhan lahir di bulan Desember. Ia tahu, aku terlalu cepat putus asa…

Haaa, jadi, Natalku ternyata engkau, bukan Desember, bukan aku saja.

1 thought on “Natalku adalah Engkau

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *