Nunduk Si Pondik: Antara Mengingat dan Melupakan

0

Loading


Nando Sengkang|Redaksi

Dongeng atau cerita-cerita rakyat, menjadi sarana pembelajaran yang baik bagi anak-anak. Sebab, melalui cerita-cerita tersebut, entah benar atau tidak, pasti menyelipkan nilai hidup baik atau buruk. Nilai baik dipertahankan dan dipaksa untuk dipraktikkan, sedangkan nilai buruk dijauhi. Itulah etika atau ajaran moral. Dan kebanyakan anak-anak menyukainya. Misalkan, terselip larangan untuk jangan mencuri, kisah kancil yang sering menipu, kisah tersohor dari Sumatera, Maling Kundang, yang mengajarkan untuk selalu menghormati jasa orangtua, dan pelbagai kisah lainnya.

Sedangkan bagi sebagian besar orang Manggarai-NTT, nama Pondik sudah sangat familiar. Nama tersebut dikaitkan dengan cerita-cerita lokal (Dongeng/Nunduk). Orang Waerana di pelosok Manggarai Timur menyebutnya, “tombo nengon.” Biasanya, cerita Si Pondik ibarat obat pengantar tidur. Di atas dipan, seorang anak dengan posisi berbaring atau lainnya mulia mendengar ayah atau ibu bercerita. Setelah menceritakan satu atau dua kisah, volume suara dengkuran perlahan-lahan meningkat. Obat sudah bekerja. Pendengar sudah tertidur. Tinggal urusan bermimpi.

Akan tetapi, cerita Si Pondik sepertinya mulai tenggelam di era sekarang ini. Generasi Milenial, otak micin, hobi Tik Tok, sepertinya sangat asing dengan nama Si Pondik. Singkatnya, Si Pondik sudah terlupakan. Melupakan cerita lokal menjadi keprihatinan bersama. Nama Si Pondik yang  terlupakan itu jauh tenggelam dengan nama-nama cerita DRAKOR (Drama Korea) alay-alay. Padahal, cerita Si Pondik adalah salah satu sarana para orang tua dahulu, di Manggarai sana, untuk mendidik anak-anaknya. Atas keprihatinan inilah, tulisan ini hadir di depan gerakan bola mata pembaca. Inilah proses mengingat kembali, walau berada di antara tegangan antara mengingat dan melupakan.

Pondik Memperdayai Ayahnya

Cerita berikut ini adalah salah satu, dari beragam cerita Si Pondik, yang diambil dari karya Romo Verheijen SVD (2006: 19-20). Berikut adalah kisahnya dengan beberapa perubahan logika penulis oleh saya sendiri:

Pada suatu hari Pondik pergi memotong alang-alang untuk mengatapi rumahnya. Banyak alang-alang yang sudah dikumpulkannya. Setelah alang-alang itu diikatnya, ia kembali ke rumah.

Ia berkata kepada ayahnya: “Ayah, marilah kita bersama-sama pergi mengangkut alang-alang di kebun. Saya tidak bisa mengangkutnya sendirian.”

Jawab ayahnya: “Di manakah kamu meletakkannya?”

Jawabnya: “Di sana, di atas batu.”

Sesudah itu, Pondik pergi mendahului ayahnya menuju tempat alang-alang tersebut. Setibanya di sana ia langsung menyusupkan tubuhnya ke tengah alang-alang yang sudah diikatnya. Tak lama kemudian ayahnya tiba di tempat itu. Ketika diangkat ayahnya, alang-alang itu terasa sangat berat. Meski pada akhirnya ia berhasil memikulnya ke rumah, namun ia benar-benar bersusah payah, sampai-sampai ia terkentut-kentut. Keringat deras membasahi sekujur tubuh ayahnya, sebelum akhirnya tiba di rumah. Setelah alang-alang diturunkan dari pundak, dalam benaknya ia sempat berpikir: “Jangan-jangan si Pondik mendapat binatang buruan; mungkin babi hutan hasil buruan yang disimpannya dalam tumpukkan alang-alang ini.” Namun ketika ia memutuskan tali ikatan, tampaklah si Pondik dari dalam tumpukan alang-alang itu. Ia tertawa terpingkal-pingkal.

Katanya: “Waktu saya kecil, ayah menggendong saya. Apa salahnya kalau sekarang, saat saya sudah dewasa, ayah kembali menggendong saya?”

Ayahnya hanya tertegun heran. Marah tidak bisa, tertawa pun tidak karena tipu daya si Pondik. Ia cuma diam membisu. Banyak orang sekampung yang menyaksikan kejadian itu turut tertawa terpingkal-pingkal sampai mengeluarkan air mata, sebab si Pondik bisa memperdayai ayah kandungnya.

Megafon Moralitas

Cerita di atas mengandung multitafsir. Tergantung para penafsir melihatnya dari sudut pandang yang mana. Saya menggunakan “megafon moralitas”. Artinya, meneriakkan kepada pembaca pesan moral yang terkandung di dalamnya. Ada beberapa pada hemat saya. Pertama, jelas larangan untuk tidak menipu orang tua. Ini larangan moral garis keras. Sebab, setiap budaya dan agama juga mengajarkan demikian. Dari cerita Si Pondik, terlihat ayahnya bersusah-payah memikul alang-alang. Sampai keringat terkuras deras membasahi bajunya. Selain Pondik, kisah Malin Kundang sudah memberikan contoh nyata.

Kedua, berkaitan dengan konteks sekarang, jangan cepat mempercayai sesuatu, baik itu intuisi kita sendiri. Terlihat ayah Si Pondik langsung mengangkat alang-alang, walau terasa berat. Intuisi mengatakan mungkin saja Pondik mendapat hasil buruan. Intuisi tersebut tanpa cek and ricek. Menguji kebenarannya. Alhasil, dia tertipu. Nilai yang bisa dibawa pulang adalah jangan cepat percaya akan sesuatu.

Megafon moralitas kedua ini masih menggema dalam konteks era post truth, kebenaran (objektif) dipandang sudah berlalu. Yang adalah pelbagai opini semata. Hasilnya, berita bohong, ujaran kebencian, semakin mewabah bagikan virus-virus baru yang mematikan.

Dengan cerita Si Pondik di atas, pembaca diajak untuk mengambil jarak. Artinya, tidak langsung mempercayai sesuatu.

Dalam perjalanan sejarah filsafat, Bapak Filsafat Modern, Rene Descartes, sudah berteriak sejak abad yang lampau. Melalui megafon rasional, dia menyerukan Methodicum Doubth, metode kesangsian atau sikap ragu-ragu. Kita perlu meragukan sesuatu, dengan sikap ragu-ragu itu, kita akan semakin bermuara pada satu kesadaran subjektif yaitu “ Saya (pembaca) sadar bahwa (saat ini) saya sedang meragukan sesuatu”, karena itu gaungan terkenal Descartes adalah Cogito Ergo Sum (aku berpikir, maka aku ada).

Ketiga, kecerdasan bisa digunakan secara keliru. Si Pondik memiliki kemampuan untuk berpikir jauh. Namun, dia gunakan untuk menipu demi kenikmatan dirinya. Poin ini bisa menjadi kritikan di zaman sekarang. Begitu banyak para orang-orang cerdas menjadi budak politik, diperalat untuk memecah belah. Lainnya adalah budak materi, banyak pemikiran cerdas menggunakan kemampuan untuk memecah belah, memperbudak sesama, demi kantongnya yang semakin tebal. Dari sejarah, kita bisa belajar Bom Atom, yang membumihanguskan Hiroshima dan Nagasaki, adalah hasil racikan orang-orang cerdas, para ilmuwan, yang menjadi budak materi.

Mengingat Kembali

Tiga poin dari “cerobong moralitas” memberikan makna bahwa cerita-cerita lokal (nunduk) memiliki nilai-nilai yang saratarti, serta memiliki relevansi yang terus berjalan sesuai perkembangan zaman. Kisah sederhana Si Pondik, dari pelosok Manggarai-NTT, menjadi cerminan bahwa cerita-cerita lokalitas pembaca budiman, masih mempunyai nilai yang berarti. Sangat disayangkan jika dilupakan begitu saja. Parahnya, melupakan demi menerima cerita-cerita impor yang tak tahu asal-usulnya. Dengan demikian, perlulah kita mengingat kembali cerita lokal demi melestarikan budaya yang semakin hingar bingar di era ambyar.  Bagiamana?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *