Nyoblos Siapa?

Nyoblos Pakai Hati Nurani (Foto dari google)
Apek Afres | Redaksi
Beberapa hari terakhir perhatian publik tertuju kepada Pilkada serentak yang akan dilaksanakan pada Rabu, 9 Desember 2020. Dikatakan serentak karena terjadi bersamaan. Seragam dan serentak adalah dua hal yang berbeda, tetapi paling tidak serentak mengandung unsur keseragaman. Dalam Pilkada serantak, yang seragam hanyalah soal waktu dilakanakannya Pilkada tersebut, sedangkan suaranya tidak pernah seragam. Pilkada-nya serentak, suaranya beragam. Suaranya bisa jadi bervariasi. Ada suara ayam, suara babi, suara kambing, dan suara yang jarang terdengar: suara hati. Ada juga suara Yakobus dan suara Paulus.
Tampaknya hanya sebuah lelucon ketika saya menyamakan suara ayam, babi, kambing dengan suara manusia, Paulus dan Yakobus. Sebenarnya saya hanya ingin bilang bahwa di dalam Pilkada suara seorang profesor dan suara seorang pengangguran sama-sama dihitung satu. Suara Yakobus, Paulus dan siapa pun itu sama-sama penting.
Mengenai suara dalam Pilkada yang sangat bervariasi tadi, saya ingin bercerita soal suara milik Paulus dan suara milik Yakobus. Dari suara-suara yang saya sebutkan tadi, agaknya saya lebih suka mendengar suara Paulus, seorang sopir oto kol dari kampung saya. Suaranya kedengaran terlalu berat dan tidak punya nilai jual. Juga selalu mengandung aroma sopi tatkala ia berbicara. Akan tetapi, kerja baiknya untuk masyarakat selalu ‘overdosis’, melebihi apa pun yang pernah dilakukan orang lain. Mengantar orang sakit, mengangkut pasir untuk pembuatan rumah masyarakat, mengangkut air bersih ketika musim kemarau, dan hal-hal baik lainnya yang sangat mencengangkan. Sedikit hendak membocorkan sebuah rahasia pribadi, saya suka mencuri rokoknya ketika dia tertidur seharian bekerja.
Satu hal lagi, saya selalu jatuh cinta dengan Yakobus. Bukan cinta-cintaan. Bukan juga zeyeng-yengan. Yakobus adalah seorang sarjana lulusan kampus terbaik di kota yang dijuluki Kota Pelajar. Saya tidak mau merepotkan pun direpotkan dengan menulis riwayat hidup Yakobus yang panjang. Intinya saya dan Yakobus satu kampung. Meskipun sekampung, tentu bukan berati kami sama-sama kampungan. Saya saja yang kampungan. Dia tidak.
Kebiasaan Yakobus adalah selalu nongol sendirian di beranda rumahnya. Sekilas, pekerjaannya itu-itu saja: menatap laptop, mengetik, lirik sedikit ke arah buku, mengetik lagi, lalu menyeduh kopi. Saya tidak tahu apa yang Yakobus hasilkan dari pekerjaan semacam itu. Nihil? Tidak mungkin. Yakobus kelihatannya sedang berpikir. Inilah yang membuat saya jatuh cinta. Jatuh sejatuh-jatuhnya. Saya jatuh cinta karena bingung sekaligus bangga dengan sosok Yakobus. Bingung karena tidak tahu apa pekerjaannya. Bangga karena sampai sekarang kami memiliki kesamaan status: jomlo akut.
Saya sendiri lebih menyayangi Paulus, tetapi lebih mencintai Yakobus. Di sisi lain, saya lebih mencintai Paulus dan lebih menyayangi Yakobus. Pokoknya begitulah.
Orang lain seringkali melihat Paulus dan Yakobus dari status sosial mereka, seorang sopir dan seorang sarjana. Ada jurang yang memisahkan di antara keduanya. Ada sekat yang luar biasa. Namun, saya lebih memilih melihat kedua sosok ini dari kebahagiaan saya sendiri. Ketika saya duduk berdua dengan Yakobus sembari menyeduh kopi, raut kebahagiaan dalam diri saya melonjak kegirangan. Begitu juga ketika saya pergi mengangkut barang-barang pesanan di pasar bersama Paulus, raut kebahagiaan juga melonjak tanpa kembali lagi. Ketika bersama mereka, rasanya saya selalu merasa bahagia.
Saya lalu berdiam diri. Rasanya ada semacam titik terang. Ada biduk yang membawa seberkas cahaya. Ada kebahagiaan yang terpancar. Ada Paulus dan Yakobus. Ada saya dan Yakobus. Ada saya dan Paulus. Saya ingin keduanya ikut calon bupati saja supaya cuman saya yang memilih mereka, yang lain golput. Hehehe.
Kami bertiga jarang bersama-sama. Suatu waktu, saya mendapatkan sebuah kesempatan yang menguntungkan dan menyenangkan. Sedikit lebih istimewah dari kesempatan-kesempatan sebelumnya. Saya, Paulus, dan Yakobus bersama-sama ke Pasar Kota. Tentu Yakobus yang berbicara banyak hal. Pengetahuannya luas. Saya dan Paulus lebih memilih untuk diam. Saya cuman anak kampung yang tidak tahu apa-apa, sedangkan Paulus cuman sopir yang hanya tahu nyetir.
Di terminal kota, Yakobus menyuruh Paulus untuk membeli koran. Kebetulan yang jual koran juga seorang wanita tua. Yakobus menunjukan sesuatu kepada Paulus. Paulus terkejut dan membisu. Senyuman garing-garing keriuk terpancar megah. Ternyata ada berita yang judulnya: “Paulus; Sopir dan Kebaikan itu Sendiri”. Saya dan Paulus semakin terkejut. Ternyata penulisnya adalah Yakobus. Yakobus menatap langit dengan penuh kebebasan.
Sekarang, ketika ditanya saya nyoblos siapa, saya lebih memilih Paulus dan Yakobus. Mereka sudah melakukan kebaikan, kebaikan, dan kebaikan. Ingat, sebagaimana kata Franz-Magnis Suseno, ‘Pemilu dilakukan bukan untuk memilih yang terbaik, tetapi untuk mencegah yang terburuk menang.’