Oto Kol dan Kisah Cinta yang Kandas di Bok-bok
Kisah ini mendapat inspirasi dari tulisan “Oto Kol dalam Kenangan” nya Erik Jumpar, Putera Golo Mongkok, Manggarai Timur yang menjadi guru di Pulau Mentawai Sumatera Barat. Tiba-tiba saja kenangan masa silam tentang oto kol merangkak masuk perlahan ke sanubari, membongkar file kenangan dalam folder memori masa lalu.
Kisah itu tentang cinta yang kandas ketika menikmati pejalanan dengan oto kol. Karena tulisan ini sensitive bagi saya yang sudah menikah, maka jurus ampuh untuk mendapat kopi sepulang kerja, sebelum menulis ini saya minta ijin sama istri saya dulu. Dan jawabannya sungguh luar biasa; “boleh pa”. Ah manisnya.
Oto kol, bukan sayur kol. Oto kol seperti kata Kraeng Erik Jumpar, mobil colt diesel yang dimodifikasi sedemikian untuk dijadikan mobil angkutan penumpang (juga barang) antar desa bahkan antar kota di Flores, Manggarai Timur khususnya. Penumpang masuk melalui kanan, kiri bahkan bagian belakang dari oto kol yang pada akhirnya tempat masuk itu dijadikan sebagai jendela.
Oto kol untuk kami orang Flores menjadi penting dalam sejarah transportasi penumpang dan barang. Tidak itu saja, siapapun yang naik oto kol disebut penumpang, sampai-sampai, hewan seperti: babi, kambing bahkan kerbau dan kuda juga disebut penumpang. Jangan heran ketika kamu menumpang oto kol di kakimu ada ayam dan babi atau di bagian belakang ada kerbau, kuda atau kambing yang ikut menumpang. Bagaimana tidak, karena satu-satunya alat transportasi dan angkutan yang bisa mengakses medan-medan terjal dan jalan berbatu ke kampung-kampung yang jauh ke pedalaman hanya oto kol. Oto kol pun jadi primadona dan lengket di hati setiap orang Flores dari zaman ke zaman.
Kisah tentang oto kol sampai ke benak saya bukan karena jasanya mengangkut penumpang atau hewan bahkan barang. Bukan juga tentang kreatifitas para sopir oto kol yang mencari pemasukan tambahan dengan mengangkut pasir dan batu yang diletakkan di kaki penumpang agar bisa dijualnya di kampung-kampung yang ia lewati sambil mengantarkan penumpang. Bukan juga tentang penumpang laki-laki yang membantu kondektur dan sopir menarik dan mengeluarkan mobil dari jebakan lumpur, padahal tetap dipungut ongkos tanpa ada diskon. Ini sebenarnya tentang kisah cinta masa lalu yang selalu kandas di bok-bok kala naik oto kol.
Saya selalu sial menggaet cewek kalau naik oto kol, entah mengapa sampai saat ini pun saya belum mendapatkan jawabannya. Padahal, kalau ke Flores, oto kol tetap menjadi primadona untuk ditumpangi meski zaman ini angkutan pedesan berupa mikrolet (di Flores disebut Bemo), mini bus dan ojek sudah banyak. Mungkin karena naik oto kol itu lebih sensasional daripada naik jenis kendaraan lain, apalagi kalau dalam oto kol itu ada enu molas dan ia duduk tepat di samping kita. Aduh nikmatnya ketika di jalan berbatu dan penuh tikungan (yang ini hanya yang pernah naik oto kol yang mengerti).
Sebutlah namanya Magdalena, panggilannya Lena. Enu berambut keriting dari desa Gunung, adik kelas sewaktu SMA, lesung pipi dan matanya yang bulat aduhai dipandang. Senyum manisnya yang selalu merekah dari ranum wajah gadis perawan sempat membuat saya keok beberapa kali ketika berjumpa. Rejeki apa saya saat itu dalam perjalanan ketika berlibur ke kampungnya diberi kesempatan untuk duduk di sampingnya. Sampai-sampai ketika seorang nenek-nenek naik saya tak mau menggeser dari tempat duduk saya padahal sopir sudah memohon-mohon agar saya pindah tempat duduk.
Berangkatlah mobil dari Aimere menuju Ritapada. Melewati jalanan berbatu dan tikungan yang banyak dan tajam mobil oleng ke sana kemari. Badan kami saling senggol ke sana kemari seakan mengikuti irama music reggae yang diputar om sopir. Seolah biasa-biasa saja dengan keadaan, sambil merapat ke tubuh Lena yang lembut saya pun mencoba mengungkapkan rasa yang telah terpendam lama kepadanya. “Saya sudah punya pacar kaka”, jawabnya singkat padahal saya belum sempat menyelesaikan kata-kata puitis. Saya mencoba tidak lunglai dan lemas karena cinta yang kandas tepat di bok (tikungan) terakhir sebelum masuk perkampungan Lete. Dengan segera dan sigap saya pun naik ke atap mobil, sambil menahan malu dikomentari seorang nenek “eee mboreng ga gau a, wero mbau di nggeda, o matar noangn a (kurang ajar kamu, tadi minta pindah kau tidak mau)”
Demikian pun dengan Theresia, yang dipanggil Tere. Gadis belia, baru kelas 1 SMA. Kala itu ada jalan-jalan ke Tanjung Bendera. Oto kol tetap setia memberi kami tumpangan. Dari Aimere ke Waelengga jalanan masih mulus dengan sedikit guncangan. Memasuki simpang ke Waewole saya sengaja masuk dan duduk di samping Tere, tidak peduli umpatan teman-temannya karena saya langsung merengsek masuk duduk diantara mereka. Apalagi kalau bukan karena ingin bersandar sejenak pada badan si Tere ketika mobil oleng dan miring di bok-bok serta jalan rusak hingga ke Tanjung Bendera.
Jadilah saya mencoba menyampaikan kata rayuan dan sedikit gombalan kepadanya. Nona Jerebuu, bermata sayu, rambutnya yang pirang seperti Shakira dalam lagu Try Everything, nampak serasi dengan wajah ovalnya. Meski ia tampak sedikit atep (tanpa ekspresi)ia tetap menjadi top 5 gadis cantik ter-cool di sekolah. “Maaf kak, kalau mau gombal saya bukan orang yang tepat. Lagian saya sudah punya pacar” katanya sambil melirik ke seorang lelaki yang menatap saya dengan curiga, mungkin sudah sejak saya masuk tadi, tepat dua bangku di belakang kami. Ternyata pacarnya adik kelas satu tahun di bawah saya. Saya menyingkir, pura-pura permisi ikut bergelantung di belakang bersama kawan-kawan lain yang menyoraki drama penolakan tadi. Kong demang sudah ga.
Begitu juga dengan Herlin, Nona Lio penyuka lagu One Love-nya Bob Marley dan selalu meminta saya untuk buatkan puisi cinta. Setiap senja selalu mampir di asrama. Komunikasinya yang lancar dan tanpa ada rasa segan dengan senior membuat saya jatuh hati. Kami bercerita tentang apa saja sampai suatu hari ketika jalan-jalan ke Bajawa naik oto kol saya ungkapkan cinta saya. Jalan ke Bajawa memang mulus tapi bok-bok nya yang banyak bikin kepala pusing. Herlin bersandar di pundak saya. Karena dia mulai mual dengan lembut saya pun mengusap dahi dan lehernya pakai minyak tawon. Lama saya menunggu jawabannya, sampai di bok S dia menatap saya dengan sendu, menggenggam tangan saya dengan sedikit remasan, terasa melayang. “Maaf kaka, kemarin saya baru jadian, kaka terlambat”. Wala…kandas lagi.
Setahun, dua tahun dan bertahun-tahun berlalu. Lena, Tere, dan Herlin lain datang dan pergi seiring dengan oto kol yang saya tumpangi berganti. Jawaban mereka selalu sama “maaf kaka saya sudah punya”, “Sori kaka, kaka terlambat”, “Aduh kaka kenapa dari dulu tidak bilang”, “E kaka bagaimana e…sa su ada na”. Cinta saya di oto kol kandas di bok-bok.
Oto kol masih datang dan pergi meski jaman terus berganti. Mungkin nanti dia akan hilang sendiri. Namun cerita tentang oto kol beriringan dengan kisah cinta yang kandas masih melekat di sanubari. Kadang rindu untuk kembali, tapi bukan untuk Lena, Herlin atau Tere. Oto kol nya saja, cukup.
Padang Panjang, Kota Serambi Mekahnya Sumatera Barat
Awal Mei 2019
Rindu Oto Kolnya Om Mansu, Om Robe, Om Fian, Om, Tomas, Nggae Yere (Alm), Om Lodang, dll. Salam Rindu dari Peminat dan Penumpang Oto Kol.

Penulis: Dendi Sujono|Meka Tabeite|