Pa Mus Yatim Piatu yang Sukses

1

Loading


Lelaki tua itu mempunyai nama lengkap Rofinus Musdin, biasa disapa Pa Mus. Ia merupakan guru di Sekolah Dasar Katolik Wongko, Desa Rana Mese, Kecamatan Sambi Rampas, Manggarai Timur.

Usianya tidak muda lagi. Bulan Januari lalu, tepatnya tanggal 6, Pa Mus memasuki usia ke- 53 tahun. Meski usia sudah setengah abad lebih, tetapi semangatnya dalam membangun kampung dan menebar kebaikan tak kunjung berakhir.  

Pa Mus lahir di kampung Wangkar pada tahun 1966. Saat hendak melahirkan Pa Mus, nyawa ibunya tidak tertolong.  Semenjak ibunya meninggal, Pa Mus dirawat oleh kedua saudarinya Via dan Yuli di rumah reyot mereka di kampung Wangkar.

Belum lama menjadi anak yatim, 6 tahun kemudin Ayah dari Pa Mus ikut meninggal dunia. Sedari hari itu Pa Mus dan kedua saudarinya menjadi yatim piatu.

Hidup bertiga di rumah reyot tanpa orangtua membuat keluarga dekat Pa Mus merasa iba. Kemudian, atas inisiatif keluarga dekat, rumah reyot peninggalan orangtua Pa Mus direnovasi. Selain itu Pa Mus dan kedua saudarinya pun diasuh oleh keluarga dekat tersebut.

Waktu berjalan begitu cepat, Pa Mus tumbuh dewasa dan melanjutkan pendidikan Sekolah Menengah Pertama (SMP) di Lengko Ajang dengan pertimbangan ia bisa merawat kebun warisan orangtua setiap akhir pekan.

Untuk membiayai sekolah Pa Mus, kedua saudarinya mesti bekerja keras di Wangkar. Sebelum musim panen kopi, kemiri dan jagung tiba, kedua saudarinya harus berjalan dari rumah ke rumah meminta belas kasihan keluarga dekat mereka. Kendati demikian, saat pulang sekolah Pa Mus juga mencari pekerjaan yang bisa dilakukannya di Lengko Ajang.

Baru dua tahun di SMP Lengko Ajang, Pa Mus berhenti sekolah. Kedua saudarinya tidak mampu lagi untuk membiayai sekolahnya. Jangankan membiayai sekolah Pa Mus, untuk makan minum saja, kedua saudarinya pun kesusahan.

Dengan berat hati, Pa Mus kemudian angkat kaki dari Lengko Ajang menuju Wangkar tempat kelahirannya. Setiba di Wangkar, Pa Mus yang usianya masih tergolong remaja terpaksa menjadi buruh proyek jalan bersama Kebegego.

Setelah kurang lebih dua tahun menjadi buruh proyek, Pa Mus memilih merantau ke kota Ruteng. Berbekal upah buruh bersama Kebegego, setiba di Ruteng, Pa Mus memberanikan diri mendaftar sebagai murid pindahan di SMP Widya Bhakti. Dengan kaos compang-camping, Pa Mus diantar teman sekampung  Don dan Sebas yang bersekolah di Widya Bhakti untuk menghadap ketua yayasan. 

Karena merasa kasihan pada kisah hidup yang ditutur Pa Mus, ketua yayasan pun menerimanya sebagai murid pindahan dan menjadikannya tukang masak di Asrama Sekolah Widya Bhakti.

Usai tamat SMP, Pa Mus kembali ke kampung halamannya. Sebagai seorang pelajar, ia tentu memiliki cita-cita. Cita-citanya sejak kecil adalah ingin menjadi mantri. Namun, mimpi itu surut setelah dililit dengan beragam kekurangan keluarganya.

Tidak ada cara lain, Pa Mus pun kembali merantau dan  menjadi buruh kasar di kota Ende. Kendati demikian, di tengah hiruk-pikuknya menjadi seorang buruh, dirinya juga aktif dalam kegiatan kepemudaan Katolik. Di sana, ia belajar hidup berorganisasi. Banyak hal yang ia dapatkan selain untuk memperdalam imannya dengan terlibat dalam berbagai kegiatan gereja. Hal lain yang ia dapatkan adalah bisa belajar bermain orgel secara otodidak hingga mahir. Pa Mus sering menjadi organis di gereja bahkan sering kali diminta untuk iring kor dan acara lainnya di luar gereja. Dari situ, ia dikenal banyak orang.

Suatu hari, Pa Mus bertemu dengan pimpinan dari salah satu biara di sana. Lantaran ia sering terlibat pada kegiatan Gereja. Alkisah tentang pertemuannya dengan seorang suster seolah-olah mengantar Pa Mus pada sebuah pintu yang membuka jalan perjuangan selanjutnya. Dalam pertemuan itu, ia mengisahkan semua tentang keluarganya termasuk alasan mengapa ia berada di sana. Hingga pada akhirnya suster tersebut merasa iba padanya dan menawarkan untuk tinggal di biara sembari membantu mereka memelihara ternak milik biara tersebut.

Berkat keuletannya dalam bekerja, beberapa bulan setelah itu pun, Pa Mus diberikan kesempatan oleh biara untuk melanjutkan pendidikan di SPG Ndao hingga selesai. Tentu hal ini membuat mimpinya makin jelas, karena ada pihak yang membiayai sekolahnya.

Di biara, tugas Pa Mus setiap pagi adalah membangunkan anak-anak asrama putri, menyiram bunga di sudut-sudut biara serta memberi makan babi, ayam, bebek dan binatang peliharaan lainnya. Sebagai karyawan suster, oleh anak-anak asrama putri milik biara, Pa Mus sering disuruh belikan jajan di luar kompleks asrama. Sebagai imbalannya, uang sisa belanjaan biasanya diberikan kepada Pa Mus. Uang sisa dari pemberiaan anak asrama, ditabungnya hingga berhasil membelikan tustel (sebutan masyarakat Flores untuk kamera analog pada masa itu)

Setelah berhasil membeli tustel, anak asrama sering memakai jasa Pa Mus untuk foto dengan bayaran seadannya. Uang yang didapatnya bisa menambal kekurangan dana selama sekolah dan sisanya bisa dibelikan orgel yang pada akhirnya dibawa ke kampungnya di Wangkar untuk kegiatan muda-mudi di sana.

Usai mengenyam pendidikan di SPG Ndao, Pa Mus kembali ke kampung dan mengajar di salah satu sekolah. Saat itu, dirinya tidak digaji. Tekadnya ingin mengabdi saja di sekolah itu selama dua tahun. Setelah itu, Pa Mus kembali ke Ruteng dan bekerja di salah satu perusahaan swasta.

Tidak lama bekerja di Ruteng, Pa Mus mengambil keputusan untuk kembali  ke sekolah tempat ia mengabdi sebelumnya. Uang hasil kerjanya selama di Ruteng ia gunakan untuk menjual ikan, tova dan beberapa jenis barang lainnya yang dibutuhkan masyarakat.

Di kampung, Pa Mus juga aktif dalam kegiatan gereja. Suatu ketika, kakinya patah ketika mengikuti pertandingan sepak bola dalam rangka memeriahkan perayaan Paskah. Walau kaki patah, malam harinya Pa Mus memaksakan diri untuk bermain orgel di gereja masih dengan celana olahraga yang dikenakannya saat bermain bola.

Selain menjadi guru, Pa Mus juga bergabung menjadi mitra di salah satu LSM. Melalui LSM itu, ia mengangkat ketertinggalan pembangunan di kampungnya. Karena prestasinya, ia didesak oleh beberapa tokoh dan warga kampung untuk mencalonkan diri sebagai Kepala Desa.

Bagi Pa Mus ini merupakan tawaran yang cukup berat. Karena dalam benaknya pekerjaan menjadi guru itu jauh lebih baik. Tetapi, karena terus didesak, pada akhirnya Pa Mus ikut bertarung menjadi salah satu kontestan calon kades tahun 2002. Alhasil, ia terpilih menjadi Kepala Desa di kampungnya.

Mengemban dua tugas bukanlah hal yang mudah. Sebagai guru, ia memiliki tanggung jawab besar terhadap murid-muridnya. Begitu juga sebagai seorang kepala Desa, Pa Mus punya tanggung jawab besar pada masyarakatnnya. Selama satu periode, banyak hal yang ia buat untuk kemajuan desanya.

Pa Mus adalah sosok yang rendah hati dan memiliki rasa kepedulian yang tinggi. Selama menjadi kepala desa ia kerapkali mengeluarkan uangnya sendiri untuk membantu warga yang kesusahan. Kadangkala ia membantu warga dan meyembunyikan identitasnya. Selain itu, ia juga selalu terlibat dalam berbagai kegiatan di kampungnya. Bahkan jika ada kedukaan pun, ia menyumbang petih jenazah secara cuma-cuma.

Suatu sore, seusai mengikuti pertemuan para kepala desa di Borong, Pa Mus kembali ke kampungnya dan berteduh di suatu rumah reyot di Colol. Melihat atap rumah tersebut bocor, keesokan harinya Pa Mus menyuruh karyawannya untuk mengirim seng puluhan lembar ke rumah tersebut. Kepada karyawannya Pa Mus menitip pesan untuk menyembunyikan  identitas pengirim, tetapi beberapa bulan kemudian ketahuan bahwa yang mengirim seng adalah dirinya.

Banyak kemajuan selama Pa Mus menjabat sebagai kepala desa; buka jalan, air minum, lapangan sepak bola dan masih banyak lagi. Karena prestainya yang melejit dalam membangun desa Rana Mese, ia kembali didesak oleh warga desanya untuk maju sebagai kepala desa pada periode berikutnya. Karena tidak ada yang berani menantang, saat itu Pa Mus terpaksa membujuk saudara sepupunya untuk menjadi lawan dalam PILKADES Rana Mese tahun 2007.

Disamping menjadi kepala desa, ia tetap menjalankan tugasnya sebagai seorang guru. Pada tahun ke- 2 dalam periode kedua, ia diangkat menjadi PNS melalui jalur database. Menurut Pa Mus, jika ditilik dari aturan yang berlaku, maka ia harus meninggalkan salah satu pekerjaan karena tidak bisa merangkap.

 Sementara dalam kenyataannya, warga desa Rana Mese membutuhkan sosok pemimpin seperti dia untuk menahkodai desa tersebut. Dengan mempertimbangkan itu, beberapa tokoh masyarakat layangkan surat permohonan rangkap jabatan ke Bupati Manggarai Timur. Beberapa bulan setelah itu, surat yang mereka kirim mendapat respons positif dari Bupati Manggarai Timur. Tetapi dengan satu persyaratan, ia tidak menerima upah dan bentuk tunjangan lainnya dari jabatan Kepala Desa seperti kepala desa yang lainnya.

Persyaratan itupun dipenuhi dan diterima oleh Pa Mus. Tidak menerima tunjangan tidak membuat Pa Mus berhenti untuk membangun desannya. Buktinya, diakhir masa jabatan, Pa Mus berhasil membangun PLTA di desa tersebut melalui jaringan kerjasama dengan pihak ketiga dengan dananya merupakan patungan dari masyarakat desa Rana Mese dan Pa Mus rela meminjamkan uangnya sebesar puluhan juta untuk dipinjamkan kepada masyarakat.

Seusai menyelesaikan jabatannya sebagai kepala desa, Pa Mus mengabdi di sekolah yang berada di kampungnya, tepatnya di SDK Wongko. Pa Mus juga mengajak beberapa sarjana pendidikan yang menganggur di kampungnya untuk membantu mengajar di sekolahnya dengan gaji diberikan oleh Pa Mus.

Di samping menjadi guru, Pa Mus menekuni usaha toko bangunan, bengkel kayu dan percetakan batako di kampungnya. Dari beberapa cabang kerjanya itu, ia mempekerjakan belasan warga kampung yang tidak memiliki pekerjaan.

Banyak orang yang terbantu berkat ide kreatif dari Pa Mus. Sebab, bagi Pa Mus apa yang ia lakukan semata-mata bentuk pengabdiannya kepada warga di kampung dan bentuk rasa terima kasihnya kepada orang-orang yang ia jumpai dulu dan yang telah membantunya.

Selain itu jika ada pesta sekolah di kampungnya, Pa Mus selalu menyumbangkan sound system, mobil untuk mengangkut air secara cuma-cuma. Setiap kali perayaan besar seperti Natal atau Paskah, Pa Mus sering menyuruh karyawannya untuk memperbaiki jalan yang rusak baik di desanya atau pun di desa tetangga. Selain itu, Pa Mus juga sering menyewa orang untuk menebas rumput yang mulai meninggi di tepi jalan agar tidak mengganggu kenyamanan pengendara. Hal ini dilakukan Pa Mus sebagi bentuk kepeduliannya terhadapa lingkungan dan masyarakat.

Semoga cerita Pa Mus bisa menginspirasi pembaca semua.

Penulis : Donny Djematu|Tua Panga|

1 thought on “Pa Mus Yatim Piatu yang Sukses

  1. Pembangunan gereja Katolik baru Sta.Theresia Lengko Ajang juga tak luput dari jasa baiknya pak Mus. Sehat dan sukses slalu.

Tinggalkan Balasan ke Jhonsy Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *