Paradoks Tanggung Jawab
Frumens Arwan:Redaksi
Pernahkah Anda mendengar cerita mengenai seorang dokter yang merasa dirinya tidak berguna lantaran tak ada orang yang jatuh sakit? Atau seorang guru matematika Sekolah Dasar yang merasa tidak bersemangat mengajar lantaran semua muridnya sudah pandai matematika? Itulah yang namanya paradoks tanggung jawab.
Bahwa ada orang-orang di dunia ini yang merasa sama sekali belum mencapai kepenuhan diri apabila ia tak melakukan atau mengerjakan sesuatu dari pekerjaannya. Barangkali seperti itulah paradoks tanggung jawab itu bila dirumuskan secara sederhana. Tapi toh ini berbeda dari menganggur. Menganggur mah tidak mampu mengerjakan sesuatu karena betul-betul tidak ada yang bisa dikerjakan. ….Hehehe.
Sebelum Anda membaca lanjut tulisan ini, jangan menyesal apabila tulisan ini bersifat moralistik semata. Banyak nasihatnya. ….Hehehe. Lebih baik Anda tidur saja daripada mendengar nasihat orang. Berat, lho.
Nah, ‘Paradoks tanggung jawab’ adalah frasa Andrea Hiarata, penulis kenamaan Indonesia asal Belitong yang menyebut dirinya ‘Si Ikal’ itu. Anda yang pernah membaca novel Orang-orang Biasa, dengan sampul yang didominasi warna kuning, tahu betul frasa ini.
Bab pertama novel Orang-orang Biasa Hirata itu menyuguhkan cerita yang menggelitik sekaligus menarik. Dikisahkan dua polisi Belantik, yang satu bernama Inspektur Abdul Rojali dan yang satu seorang polisi muda bernama Sersan P. Arbi. (Barangkali sudah menjadi kekhasan penulis, tidak dijelaskan apa kepanjangan aksara P itu).
Kedua polisi ini mengalami suatu kegelisahan yang luar biasa lantaran kejahatan yang mereka tangani di Belantik kian berkurang. Mereka bertanya, ‘Ke manakah gerangan kaum maling di wilayah itu?’ Pasalnya, di Belantik, dalam kurun waktu itu, orang tidak suka membikin kejahatan. “Mereka bukan orang-orang kasar. Mereka suka humor, taat pada pemerintah, dan tidak suka melanggar hukum,” tulis Andrea Hirata.
Tapi eh, seperti yang Anda lihat dalam kisah dua polisi di atas, paradoks tanggung jawab ini sebenarnya adalah sebuah konsep yang ganjil. Di belahan bumi mana pun, jika mengikuti cara kerja bernalar yang logis, setiap polisi pasti mendambakan kedamaian, ketenteraman, atau suasana tanpa kejahatan. Apa gerangan ketika seorang polisi malah merindukan adanya kejahatan? Pertanyaan lebih lanjutnya adalah ‘kenapa manusia bisa memiliki perasaan seperti itu?’ Apakah untuk bekerja manusia mesti membutuhkan tumbal: Polisi memerlukan penjahat; guru memerlukan murid yang bodoh; wasit memerlukan tekel keras dalam setiap pertandingan, dan seterusnya?
Jawabannya nanti, lanjutkan dulu bacaan Anda.
Orang-orang yang mengalami paradoks gila semacam ini pasti sering Anda temui di sekitar Anda. Ada wasit sepak bola yang merasa “makan gaji buta” lantaran tak pernah mengeluarkan kartu merah. Ada juru parkir mall yang tak kuasa melihat setiap pengendara bisa memarkir kendaraannya sendiri tanpa bantuannya. Ada orang tua yang merasa anak-anaknya bisa tumbuh sukses tanpa bantuan mereka. Ada Pastor Paroki yang merasa kotbahnya tak berpengaruh sedikit pun pada kondisi umat. Banyak lagi lah contohnya.
Atau Anda sendiri, yang sedang membaca tulisan ini, adalah seorang penderita paradoks ini. Anda saat ini barangkali sedang merasa bahwa tulisan yang Anda baca kini tidak sedikit pun mengubah penilaian cewek atau cowok idamanmu bahwa kamu hanyalah pemalas yang tidak punya masa depan, sementara kamu sedang berusaha untuk terlihat sebagai seorang kutu buku. Eh, istilahnya apa yah kalo di media daring begini? ….Hehehe.
Dan barangkali setelah membaca kalimat demi kalimat dalam tulisan ini, Anda mulai merasa bahwa pekerjaan membaca tidak akan pernah mengubah takdir Anda. Anda mulai merasa bahwa semua yang Anda lakukan adalah sia-sia, termasuk mengakhiri bacaan ini. Anda sedang terkungkung dalam paradoks tanggung jawab ini. Percayalah.
Sekarang, Anda mesti mencari akar kenapa paradoks ini lahir. Akarnya adalah makna dari pekerjaan.
Sedikit mengutip filsuf, ciee, situasi yang dialami kedua polisi itu menyiratkan apa yang dikatakan Hegel bahwa orang mesti mengaktualisasikan diri melalui kerjanya. Kedua polisi di atas tak menemukan makna dari kehidupan yang ia jalani karena persis sebagai polisi ia tidak melakukan apa-apa. Melukiskan keadaan ini, Hirata, di halaman lain menulis, “keadaan yang tenteram ini perlahan-lahan membuat polisi di dalam dirinya terlena, lalu terbaring, lalu mati.”
Kejemuan yang dialami oleh orang-orang yang Anda temui tadi dan yang Anda sendiri alami dalam setiap pekerjaan Anda adalah efek dari keadaan di mana Anda tidak mampu mengaktualisasikan diri Anda dalam pekerjaan Anda. Artinya, Anda tidak bisa menyalurkan potensi-potensi yang Anda miliki dalam pekerjaan yang Anda lakukan. Anda merasa melakukan pekerjaan itu hanya karena terpaksa atau untuk mendapatkan sesuatu: uang, penghargaa, pujian dan sebagainya. Anda tidak melakukan pekerjaan itu karena Anda menyukainya. Anda melakukan itu karena Anda ingin mendapatkan sesuatu dari itu. Di situlah letak kejemuan Anda.
Viktor Frankl, (Ah, mengutip filsuf lagi nih), dalam bukunya In Search of Meaning, menekankan bahwa, manusia pada dasarnya adalah makhluk yang selalu berusaha untuk menemukan dan mencari makna atas kehidupannya. Nah, makna itu hanya dapat ditemukan ketika manusia mampu mengaktualisasikan dirinya, potensi-potensi yang ada di dalam dirinya. Kerja merupakan salah satu bentuk pengaktualisasian diri manusia karena melalui kerjanya orang menyalurkan segala potensi yang ada di dalam dirinya.
Nah, apabila Anda mampu menyalurkan diri Anda dalam setiap pekerjaan yang Anda lakukan, seberat apa pun pekerjaan yang Anda lakukan, Anda pasti akan menikmatinya. Anda akan dengan mudah menikmati bangun pagi-pagi buta, rela macet-macetan, bekerja sampai paruh malam. Anda dan saya akan bertahan secara fisik dan mental apabila kita menekuni pekerjaan kita. Ya, yang jelas bila itu dilakukan dengan sepenuh hati. Coba saja besok, Anda iseng-iseng membersihkan kos Anda yang kotor dan bau itu dengan sepenuh hati. Pasti Anda merasa puas. Ya, tulisan ini harus dibuktikan.
Manusia semestinya memberi hati pada pekerjaan dan penderitaan itu, memandang pekerjaannya sebagai sumber kebahagiaannya, meskipun penderitaan dan pekerjaan itu dipaksakan atasnya. Hirata menulis, “Hanya orang-orang yang ikhlas yang dapat melihat kemuliaan dari pekerjaannya. Mereka yang tak melihat kemuliaan itu takkan pernah mencintai pekerjaannya.”
Percayalah, orang hanya akan menemukan kejenuhan dalam pasivitasnya. Sebaliknya, nekat hidup hanya akan ditemui dalam vitalitas kita. Maaf, banyak istilah teknis yang saya sendiri juga tidak pahami di dalam tulisan ini.
Gambar: https://id.pinterest.com/