Pendemo adalah Singa Kampus yang Linglung

Loading


Demonstrasi 23-24 September bisa jadi adalah aksi orang-orang linglung, yang lupa segala-galanya, bahkan lupa diri mereka sendiri. Mereka berorasi dengan garang layaknya singa. Akan tetapi, apakah tuntutan mereka sudah sesuai dengan tindakan mereka? Ataukah aksi mereka hanyalah representasi dari peribahasa ‘tong kosong nyaring bunyinya’?

Dalam aksi demonstrasi 23-24 September 2019, para mahasiswa di berbagai kota di Indonesia seperti Jakarta, Yogyakarta, Malang, Purwokerto, Bandung, Medan, dan Makasar, turun ke jalan, memenuhi pusat-pusat kota. Ada berbagai tuntutan yang mereka sampaikan kepada pemerintah, terutama Presiden dan DPR. Tuntutan itu terkait beberapa hal, mulai dari Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, RUU Pemasyarakatan, RUU Pertahanan, RUU Mineral dan Batubara, sampai tuntutan penolakan hasil revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, yang dinilai tak wajar karena antara lain mengkerdilkan KPK dan membatasi kebebasan sipil masyarakat. (Kompas, Selasa, 24 September 2019)

Jika dilihat secara positif, keseluruhan aksi ini pada dasarnya mengarah kepada usaha untuk menjaga NKRI yang demokratis. Mahasiswa kemudian, sebagai kelompok paling besar dan masif dalam gelombang demonstrasi ini, menjadi sorotan lantaran mengingatkan bangsa Indonesia akan aksi heroik para mahasiswa demonstran 98 yang berhasil menumbangkan rezim Orde Baru yang otoriter. Ada harapan besar bahwa aksi serupa yang kini dilakukan akan melahirkan perubahan yang besar ke arah yang lebih baik.

Saya, sebagai mahasiswa, melihat aksi mahasiswa ini dalam dua sudut pandang. Sudut pandang optimisme dan pesimisme. Optimis karena sekali lagi hal ini mengindikasikan bahwa kaum terpelajar bangsa Indonesia, dalam hal ini mahasiswa, tidak pernah apatis akan situasi bangsanya. Pengetahuan yang didapat di bangku pendidikan menyentuh sisi kemanusiaan mereka. Mereka tergerak untuk segera mengubah struktur dalam masyarakat yang dinilai tidak wajar. Paling tidak, mereka telah mempunyai andil dalam menyuarakan perubahan itu. Tidak main-main, aksi ini mendorong Presiden Jokowi untuk menunda pengesahan empat RUU yang menjadi tuntutan mahasiswa. (Kompas, Selasa, 24 September 2019)

Akan tetapi, ada sebuah pesismisme besar di sana. Yang dipertanyakan adalah kualitas pribadi para mahasiswa yang turun ke jalan ini. Apakah seruan yang mereka lantangkan kepada para pemimpin republik ini sesuai dengan sesuai dengan sumbangsih mereka terhadap bangsa ini atau sesuai dengan peran yang mereka jalani dalam kehidupan sehari-hari? Jangan-jangan mereka (para mahasiswa) yang turun ke jalan pada 23-24 September kemarin adalah ‘singa-singa kampus’ yang telah kehilangan taringnya. Jangan-jangan mereka bersuara, tetapi tidak pernah bertindak. Bak singa-singa yang kehilangan taring mereka barangkali hanya garang mengkritik, tetapi tidak pernah melakukan apa-apa, malahan pasif dalam bertindak.

Kita kesulitan menjawab pertanyaan-pertanyaan itu, oleh karenanya kita dibiarkan untuk tetap pesimis. Apa yang perlu dalam hal ini? Saya berkeyakinan bahwa para mahasiswa yang berdemontrasi kemarin perlu dilihat sebagai individu-individu. Bagaimana pun, di tengah kerumunan masa itu, mereka adalah individu-individu yang berbeda. Seperti Kata Andrea Hirata, dalam novel Orang-orang Biasa, ‘seseorang selalu adalah orang lain’. ‘Selalu ada lelaki lain di dalam diri seorang lelaki’. Jika ini diperjelas, selalu ada manusia lain dalam diri seorang manusia.

Dari situ, bisa dilihat bahwa mereka yang turun ke jalan, yang berteriak keras di muka presiden dan para dewan barangkali adalah biang berbagai permasalahan dalam masyarakat. Mereka boleh saja mengkritik pemanasan global. Akan tetapi, ini tidak berguna seandainya mereka tidak pernah ikut bakti sosial di lingkungan tempat mereka tinggal. Mereka getol menolak berbagai bentuk pembatasan terhadap kebesan perpendapat, tetapi barangkali adalah tukang bully di tempat mereka mengenyam pendidikan. Singkatnya, mereka yang garang di kampus belum tentu baik. Kita tidak pernah tahu karena seseorang selalu adalah orang lain.

Kita kembali diingatkan oleh Karl Marx lewat tesisnya yang kesebelas mengenai Feurbach. Marx menulis demikian, “Para filsuf hanya menafsirkan dunia dengan cara yang berbeda; padahal, yang penting adalah mengubahnya.” (1962: 405, dikutip oleh Tjaya, 2004: 153) Mahasiswa benar sejauh mereka, lewat demonstrasi ini, berintensi mengubah realitas sosial karena intensi itulah yang pertama-tama mendorong aksi perubahan. Dalam bahasa Marx, realitas sosial yang perlu diubah itu adalah struktur-struktur politik dan ekonomi yang mengasingkan manusia dari dirinya sendiri. Dalam demontrasi mahasiswa yang berlangsung pada 23-24 September itu, realitas yang perlu diubah adalah pembatasan terhadap kebebasan sipil, misalnya RUU Pertahanan yang dinilai mempersulit klaim masyarakat adat atas wilayah adatnya, atau Revisi UU KPK yang diduga berintensi untuk memelihara ‘tikus-tikus’ alias koruptor di negara ini. Dalam hal ini mahasiswa patut dibanggakan.

Akan tetapi, peisimisme yang saya garisbawahi di atas perlu dijawab. Artinya mahasiswa perlu didorong untuk membenahi dirinya terlebih dahulu agar tak ada istilah ‘tong kosong nyaring bunyinya’. Thomas Hidya Tjaya dalam bukunya yang berjudul Kierkegaard, Pergulatan Menjadi Diri Sendiri menjelaskan bagaimana Kierkegaard, bapak eksistensialisme itu, mengubah sedikit dari tesis Marx yang masyhur itu. Bagi Kierkegaard, yang perlu diubah bukanlah realitas sosial, melainkan diri sendiri. (2004: 153-154) Sebagaimana kita ketahui, Kierkegaard adalah filsuf yang percaya bahwa untuk mengubah realitas sosial, yang terlebih dahulu diubah adalah individu-individu dalam masyarakat itu sendiri. “Orang tidak perlu terburu-buru ingin mengubah realitas sosial lingkungan hidupnya, melainkan harus mencari jati dirinya terlebih dahulu.” (Tjaya, 2004: 154)

Dari sini, kita bisa lebih jernih melihat apa yang terjadi di kota-kota besar Indonesia beberapa hari terakhir ini. Saya teramat yakin bahwa kitalah, individulah (mahasiswa) yang menjadi penentu perubahan realitas sosial itu. Jangan-jangan individu-individu inilah yang selama ini justru menjadi pokok persoalan yang menggerogoti bangsa, mulai dari masalah rasisme, radikalisme agama, terorisme, ketidakadilan sosial, kesenjangan ekonomi, yang semuanya mengerucut pada masalah politik. Mahasiswa yang getol menyuarakan perubahan struktur sosial barangkali terlebih dahulu mengubah dirinya sebagai individu. Ia mesti mengembangkan dalam dirinya keutamaan-keutamaan (virtues) seperti kejujuran, integritas, kedisiplinan, dedikasi tinggi dan keutamaan-keutamaan lainnya. Dan usaha  ini bisa dimulai dari hal-hal yang sederhana dan dari lingkungan tempat ia tinggal.

Ada sebuah lelucon, yang saya karang sendiri, yang mengisahkan bagaimana beberapa pemimpin DPR, dari DPR era awal kemerdekaan sampai DPR Reformasi, tengah menghadapi para demonstran yang kesemuanya adalah mahasiswa. Yang datang pertama adalah mahasiswa demontrasi 1966 beserta Tritura-nya. DPR, yang barangkali sedang diisi oleh beberapa anggota Partai Komunis Indonesia (PKI), gemetar. Disuruhnya pemimpin PKI ditangkap. Sejurus kemudian, lenyaplah PKI dari bumi Indonesia. Yang datang kedua adalah mahasiswa demonstrasi 1998. Berjubel-jubel mereka mengotori istana DPR di Senayan. DPR ketakutan. Disuruhnya Soeharto di bawah ke depan mahasiswa. Maka turunlah Soeharto dari takhtanya. Datang sebagai yang terkahir, mahasiswa reformasi yang berdemo di depan gedung DPR. Mereka lebih banyak dari yang sebelumnya dan suara mereka lebih kencang, lebih garang. Semua pemimpin DPR itu dengan santai masuk ke dalam gedungnya, lalu meminum kopi. Ketua DPR kemudian mengatakan “Mahasiswa yang sekarang ma gak usah diladeni. Gak ada apa-apanya. Paling nanti juga mereka capek sendiri berteriak.”

Lelucon ini barangkali bisa dibenarkan, tetapi jangan pernah dibiarkan. Bagi saya, sebagai mahasiswa, pesimisme terhadap mahasiswa ini lahir karena mahasiswa itu sendiri jarang berbuat sesuatu. Kita (mahasiswa) hanya garang, tetapi tak bertaring. Kita hanya mengkritik ke luar, tetapi tidak pernah mengintrospeksi diri. Oleh karena itu, hai rekan-rekan mahasiswa, jangan pernah hanya menjadi singa-singa yang garang di kampus, di depan kantor DPR, atau di stasiun-stasiun televisi. Singa-singa yang demikian hanya pantas ditertawakan. Sebaliknya, jadilah mahasiswa yang secara individu berintegritas, dan berkapasitas. Apa yang didapat di bangku pendidikan mesti diwujudnyatakan dalam tindakan sehari-hari. Jadilah singa yang garang dan bertaring. Hidup Mahasiswa!

Penulis: Menssi Arwan|Meka Tabeite|

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *