Perginya Sang Legenda – Daniel Anduk

0

Mati bersama karya-karya hebat (Sumber foto; dari Facebook Timoteus Rosario Marten)

Loading


Timotius R Marten |Kontributor

Amang Daniel Anduk, sang legenda dari sebuah kampung kecil. Namanya Kampung Pelus. Kampung ini berada di dalam Kampung Lentang, Desa Lentang, Kec. Lelak, Manggarai, Flores-NTT.

Tapi di dalam kampung ini, ada seorang penyanyi bersahaja dengan suara emas dan paling diminati masyarakat. Amang Daniel. Dikenal di luar dengan sebutan Anduk.

Pada Sabtu malam, 12 Juni 2021, dia meninggal dunia di RSUD ben Mboy Ruteng karena sakit asma. Dia meninggalkan istri dan anaknya beserta sejuta cerita melalui lagu-lagunya yang menyentuh, bersemangat.

Lagu-lagunya banyak bercerita (cigu) tentang kehidupan yang sedih, percintaan/perjodohan, perjuangan, budaya, dan lain-lain.

Uniknya dia bernyanyi dengan petikan gitar kayu. Rekam di kampung atau kadang-kadang di sebuah pondok di kebun dekat kebun kami, Bangka Laki, sehingga merdu melodi suaranya menggema bersama tiupan angin sepoi dan daun-daun yang menari karena diterpa angin senja.

Melodi, ritme, bas, satu kali jalan. Saya belum pernah mendengar gitaris di tanah kami seunik, seindah dan selincah petikan melodi Om Daniel.

Dia tak bisa melihat dunia dengan keindahannya, tapi dia melihat dan menarasikannya dalam melodi liris dan lagu-lagu sedih, syukur, doa.

Hampir pasti tiap hari dia ke kota kabupaten (Ruteng) untuk menjual kaset pita. Suara-suara emasnya kan abadi di dalam pita kaset dan pita suara generasi kami dan nanti.

Dia berjalan kaki hendak ke kota. Menjual kaset. Dituntun anak laki-lakinya, Fian. Kadang-kadang istri atau iparnya (kesa). Sampai di pusat paroki (Ketang) atau jalan trans-Flores baru dapat angkutan pedesaan. Pulang ke kampung setelah sore atau petang.

Halaman kampung (natas Lentang) kami adalah gema hentakan kakinya dan suara reis (tegur sapa) masyarakat kampung yang ditemui saat dia ke kota. Kami juga.

Ketika keluar dari rahim ibu, tahun 1990-an, lagu-lagu yang sering saya dengar dari mulut emasnya adalah “Daeng”, “Limbang Tacik Mbilar”, dan sejumlah lagu lainnya. Dengan suara gitar khas.

Lagu Limbang Tacik Mbilar (melewati lautan) dia ciptaian sewaktu pergi ke Surabaya, Jawa Timur, tahun 1990-an dengan kapal, untuk rekaman. Dengan petikan melodi gitar kayu, suara yang lirih, dan lirik yang sedih tentang perantau (ata pala) ke seberang lautan, kelak lagu ini populer dengan musik modern-pop oleh artis-artis lokal Manggarai.

Setelah tahun 2000, dia dipinang manajemen dari kota, sehingga musik lagu-lagunya lebih modern (keyboard, drum, dll), meski dia masih mencintai gitar kayunya.

Tak sedikit juga lagu-lagunya yang berisi kritik tentang kehidupan harian manusia Manggarai yang mulai menjauhi adat dan budaya leluhur. Orang-orang memahami lagunya sebagai balada. Bahwa itu lagu-lagu yang tercipta tentang dirinya, tapi menyentil kehidupan sosial masyarakat Manggarai dan mungkin kita semua.

Selamat jalan Om Daniel. Saya teringat sebuah lirik lagunya tentang kepergian seorang bapak.

“Ho’o hau ngom go ema, ho’o hau ngom go ema ge…, toe kin can laki anak. Imi-amas deming ema ata kaku ga….. dst.”

(Kini kau pergi Bapak, kini kau pergi Bapakku…, belum satu pun anak lelakimu yang sudah kawin [dan urisan adat]. [Saya] Mondar-mandir mencari dan mengaharapkan orang punya bapak… dst).

Dan lagu ini:

“Kawe kole nia

Nia keta kawen tai go ema go

De kali poli daden line amen…. dst.”

(Kami cari dimana

Dimana kami mencari nanti Bapakku

Aduh padahal sudah dipanggil Keluarganya [Yang Maha Kuasa]…dst.)

Selamat jalan, Legend!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *