Perkara Babi-Babi

Loading


Kau tahu kawan, perkara memelihara babi akhir-akhir ini sungguh memusingkan. Bahkan kadang menjengkelkan. Bukan main menjengkelkannya. Sumpah! Apalagi mendengar rengekannya ketika petang merembang. Saat jingga yang aku rayakan lewat tatap di langit barat mulai pudar perlahan-lahan bersama tenggelamnya matahari yang tak pernah menua di batas cakrawala.

Matahari selalu muda, kawan. Tak perduli pada kita yang fana. Esok, lusa, dan seterusnya. Ia akan selalu muda ketika muncul di timur jauh. Terbit dengan caranya yang subtil, pun saat terbenam. Tidak seperti Kakek, yang telah renta dan ringkih meski telah delapan puluh enam tahun usianya. Keriput menjalar menggerogoti tubuhnya yang konon perkasa, hasil tempaan di laut, di ladang, dan di hutan. Demikian kesaksian Ibu ketika berkisah tentang Kakek muda di sela-sela kesibukannya mencari kutu di antara helai-helai rambut keriting Adik.

Ah, perkara babi-babi sialan. Ingin aku sembelih manakala rengekannya minta makan makin menjadi-jadi. Kau tahu kawan, bahkan rengekannya saat petang mengalahkan dentang lonceng gereja mewah bergaya Gotik  di seberang kuburan kampung. Kau yang saleh pasti tahu kawan, dentang lonceng Gereja berarti panggilan untuk berdoa Angelus. Tepat jam 18.00, mungkin lewat 5 menit, 10 menit, atau 15 menit bahkan sama sekali tidak berdentang tergantung sang Koster.

Jika lonceng Gereja terlambat berdentang atau bahkan sama sekali tak berdentang jangan sekali-kali mengumpat sang Koster, kawan. Mungkin sang Koster masih dalam perjalanan pulang dari ladang atau masih memberi makan babi-babinya yang sama menyebalkan seperti babi-babi peliharaanku.

Percayalah kawan, betapa tak mengenakkan diatur oleh bunyi lonceng.

Sungguh, bertahun-tahun aku mengalaminya, kawan.

Bukankah kita pun bisa menjadi lonceng bagi diri kita sendiri?

Kesadaran adalah lonceng paling sakti untuk mengatur hidup, kawan. Waktu untuk makan, waktu untuk membuang hajat, waktu untuk kerja, waktu untuk tidur, waktu untuk bercinta, dan tentu saja waktu untuk memberi makan babi-babi yang mau tak mau harus dipelihara, mengingat musim kawin segera tiba, kawan. Keluargaku punya tanggungan seekor babi untuk perkawinan sepupu dari istri adik sepupu jauhnya Ayah.

Belum lagi tanggungan untuk kematian mendadak seorang sanak keluarga.

Ia tiba-tiba mampus dalam keadaan mabuk usai jatuh terpelanting di tangga rumah selingkuhannya. Mati gara-gara perkara konyol: salah mengikat tali sepatu! Selepas berasyik masyuk dengan istri tetangga yang ditinggal sang suami melaut, sanak ini hendak melanjutkan kunjungan ke rumah selingkuhannya yang kesekian.

Alih-alih mengikat tali sepatu sebagaimana lazimnya, ia malah menyambungkan tali sepatu di sepatu yang satu dengan sepatu yang lain. Karena ketoledoran, tali sepatu yang sedianya diikatkan untuk satu sepatu, disambungkan dengan pasangannya. Walhasil ketika melangkah turun dari tangga dengan kaki kanan, kaki kirinya pun ikut terseret. Ia mampus dengan leher patah menghadap ke kanan di anak tangga ke empat dari atas. Lagi, babi putih berukuran sedang di kandang diangkut ke rumah duka, disembelih pada malam ketiga setelah kematian mendadak nan tragis si sanak itu.

Maaf kawan, aku terlalu banyak mengeluh perkara babi-babi ini. Sungguh tak gampang memang memelihara babi akhir-akhir ini. Musim yang tak menentu, kemarau berkepanjangan, hujan yang hanya sebentar membuat makanan babi lebih sukar didapat. Daun-daun kelor mulai menguning dan ranggas, daun-daun singkong pun demikian. Batang-batang pisang yang dicincang pun diiirit sedemikian rupa. Belum lagi dedak hasil penggilingan padi dan ampas kelapa yang jadi pakan favorit babi-babi sialan itu mulai meroket harganya.

Mengirit pakan babi lantas mempertimbangkan kebutuhan perut babi-babi sialan itu semacam anomali yang lucu sekaligus tak lucu, kawan. Ia tak pernah kenyang bahkan setelah makan seharian, sedangkan persediaan pakannya yang kau punyai telah susut dengan cepat. Barangkali libido untuk berkuasa juga seperti itu, kawan. Tak pernah susut, malah semakin menjadi-jadi.

Mungkin seorang Inggris yang pernah aku baca karyanya mengambil karakter babi karena alasan itu. Babi tak pernah kenyang meski terus makan, sama seperti hasrat segelintir orang yang tak pernah puas akan kekuasaan.

Kembali ke perkara makanan babi-babi itu, kawan. Jika hujan datang, kau masih sempat berleha-leha tanpa banyak pusing memikirkan urusan pakan babi-babi itu. Daun-daun kelor dan singkong masih bisa kau dapatkan dengan mudah di halaman rumah. Namun jika kemarau tiba, kau harus cukup sabar mendengar rengekannya. Aku hakul-yakin, bahkan Kakek yang dengan khusyuk berdoa Angelus di kamarnya yang suram akan menambah kecepatan doa yang ia daraskan jika mendengar rengekan babi-babinya di kandang.

Bagi sebagian orang di kampungku, memelihara babi itu semacam hiburan di sela-sela kesibukan harian. Tetapi bagi sebagian yang lain, memelihara babi merupakan keharusan, kawan. Jika kau ke kampungku, akan kau dapati bahwa dari hasil memelihara babi, banyak orang tua yang berhasil menyekolahkan anaknya hingga tuntas di bangku kuliah. Ironis jika sang anak sekembalinya dari kota, tak mau dekat-dekat di kandang babi untuk sekadar memberi makan babi-babi peliharaan orang tuannya. Jangankan memberi makan, mencincang makanan babi yang hanya butuh waktu barang 10 menit pun enggan dilakukan. Masa sarjana mencincang makanan babi? Barangkali pikirnya demikian.

Hari telah sore kawan dan babi-babi butuh makan. Betapa pun menjengkelkan rengekan mereka, namun musim kawin hampir tiba, Kawan.

Penulis : Juan Kromen|Meka Tabeite|

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *