Pertanyaan yang Tidak Mama Lupa Saat Telepon

0

Loading


Seminggu belakangan, entah kenapa, Mama jarang menelepon saya.  Tadi malam, saat saya merenung, memikirkan apa kesalahan saya terhadap Mama, hape berdering dan nama Mama tertera di panggilan masuk. Tentunya, ini bukan konspirasi alam semesta, tapi mama saya saja yang baik. Betapa mama mengerti kalau saya jarang berbagi kabar, kemungkinan paling besar yang Mama simpulkan, dompet saya sedang kritis dan segera memasuki stadium akhir.  Yang kalau saya buka dompet, parang Tuan Pattimura menyahut, itu loh.

Percaya atau tidak, bahwasannya anak laki-laki lebih mendapat chemistry saat mengobrol dengan Mamanya ketimbang Papa. Makanya tadi malam, saya dan Mama membicarakan banyak hal. Berawal dari obrolan tentang adik saya yang baru tamat esema. Mama bertutur, ia sangat kesal dengan tingkah adik saya. Pasalnya, sebelum kabar kelulusan diumumkan, adik saya sudah mencoret-coret baju seragam. Beruntungnya saat kabar kelulusan tiba, adik saya  dinyatakan lulus. Jika  tidak, otomatis Mama segera bernegosiasi dengan Papa, bahwa tanah warisan adik saya akan diserahkan lebih awal tanpa menunggu kesepakatan dengan kami saudaranya yang lain. Mama begitu orangnya. Kadang baik, kadang kejam, tergantung situasi.

Mama turut menyinggung pendidikan adik saya yang sebentar lagi masuk perguruan tinggi. Jujur, setiap Mama menyoroti pendidikan anaknya, saya paling senang.

Saat Mama membicarakan pendidikan dengan serius artinya Mama peduli betapa pentingnya pendidikan sebagai salah satu kunci kesuksesan anak-anak mereka. Keluarga memiliki peran vital dalam menyukseskan pembangunan sumber daya manusia. Dukungan dari keluarga sangat menentukan arah dan langkah yang dipilih oleh seorang anak dalam menggapai cita-cita.  Mama saya telah menyadari hal demikian, puji Tuhan sekali.

Begitu pentingnya pendidikan bagi orang Manggarai, sehingga seseorang sebelum diutus untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi, biasanya akan didahului dengan melakukan ritus wuat wai. Wuat wai merupakan sebuah ritus yang sering dibuat oleh orang Manggarai untuk mengutus seseorang meninggalkan rumah dan kampung halamannya. Entah untuk melanjutkan pendidikan di tempat lain ataupun untuk merantau sekadar merubah nasib.

Ritus wuat wai ditandai dengan menyembelih manuk lalong bakok (ayam jantan putih), serta disemangati oleh petuah: Lalong bakok du lakom, lalong rombeng koe du kolem. Artinya, bekal awal sebelum pergi melanjutkan pendidikan atau merantau harus dibekali dengan niat dan hati yang bersih yang dilambangkan oleh lalong bakok (ayam jantan). Dengan modal niat yang baik dan hati yang bersih itu, keluarga berharap sang anak akan kembali sebagai lalong rombeng (ayam jago) yang melambangkan orang yang sukses dan berguna bagi kehidupan masyarakat di kampung halaman.

Mama juga tidak lupa menceritakan kebanggaannya sebagai petani. Kondisi sawah yang sebentar lagi mengetam disinggung dalam obrolan tadi malam. Mama dengan antusiasnya menceritakan padi di sawah yang mulai merunduk. Bulir-bulir padi  hasilkan buah yang melimpah. Mama optimis bahwa hasil yang didapati dalam panenan kali ini akan berbuah manis. Saya senang mendengarnya. Minimal usaha yang dilakukan dari pagi hingga sore berbanding lurus dengan tidak mengecewakan bapatua dan mamatua di rumah. Bagi petani, hasil yang sebanding dengan perjuangan merupakan impian saat masa tanam dimulai.

Di puncak telepon, dengan suara yang agak sendu, Mama menimpali saya dengan pertanyaan pamungkas nan-menukik, “Nana, sudah dapat teman yang lebih serius ka? Kalau sudah serius, jangan lupa informasikan sesegara mungkin. Biar kami siap-siap. Nana juga lekas melepas masa muda.” Saya terenyuh mendengarnya. Sungguh saya tidak menjawabnya sama sekali.

Telepon pun saya matikan. Bahkan sebelum Mama sempat ucapkan kalimat terakhir yang selalu ia sampaikan saat kami menelepon, “Nana, jangan lupa berdoa sebelum tidur e . Doa juga untuk kami yang di rumah.” Semalam saya memilih Mama untuk tidak mengucapkan kalimat itu.

Monmaap pembaca tabeite.com, kalau ditarik ulur ke belakang, sebetulnya jarang-jarang dengan nada serius Mama menanyakan tentang siapa makhluk Tuhan yang sedang  saya dekati. Biasanya kala saya menyinggung tentang teman dekat saat berbicara dengannya, Mama menanggapi dengan datar-datar saja. Boleh dibilang dulunya mama belum menginginkan saya lekas melepas masa muda yang indah ini.

Namun, kian hari, waktu kian melaju, Mama kerap kali menimpali saya dengan pertanyaan kapan menikah. Terhitung dalam rentang waktu tiga bulan terakhir, Mama sudah ajukan pertanyaan haram itu sebanyak lima kali. Saya jadi risih mendengarnya. Sungguh saya tidak tahu apa motifnya. Kalaupun berangkat dari kerisauan seorang Mama pada anaknya, apa salahnya untuk mengabaikan dulu pertanyaan yang tidak penting itu. Terlampau banyak obrolan yang lebih penting daripada sekedar mengajukan pertanyaan kapan menikah. Lagian, kalau saya tidak lekas melepas masa lajang, apa susahnya untuk memilih jalan hidup yang lain. Hidup membiara, misalnya. Tidak ada kata terlambat untuk menggeluti pilihan hidup. Asal punya kemauan saja pasti akan ada saja jalan yang terbuka. 

Sebagai bentuk peduli terhadap Mama yang juga peduli pada guru esde gaji pas-pasan macam saya ini, tadi sepulang mengajar, saya kirim es-em-es ke Mama. Bulan November pada tahun yang belum ditentukan, saya akan menikah dengan seseorang yang sosoknya masih misterius. Pesan ini juga saya kirim dengan tujuan agar Mama tidak lagi menyelip pertanyaan tidak penting itu jika telepon lagi.

Penulis : Erik Jumpar|Tua Panga|

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *