Pesan Papanya Teman; Setelah Wisuda Hormati Sarjana Senior Sesampai di Kampung
Popind Davianus
Sabtu kemarin, teman saya banyak sekali yang diwisuda. Ada yang berjenis kelamin laki-laki ada pula yang berjenis kelamin perempuan. Ada yang wisudanya di usia muda, ada pula yang sudah tua.
Ahay, wisuda adalah momen yang paling ditunggu-tunggu makhluk bernama mahasiswa. Menyenangkan sekali rasanya saat berfoto bersama Papa Mama dan pacar (bagi yang punya), dengan latar belakang gedung kampus yang menjulang. Senyum sumringah pun terpancar dari wajah kedua orangtua. Beban SPP, uang pembangunan, uang kos, dan uang traktir pacar yang tadi ikut foto bersama, bukan tanggungan mereka lagi.
Teman saya yang kemarin wisuda itu, belum puas dengan kehadiran bintang tamu Sheila on Seven yang memeriahkan perayaan wisuda di kampus, malamnya dia menyewa kafe untuk bikin acara sendiri. Kurang ajar apa coba? Padahal band legendaris yang diundang itu dibayar menggunakan uang patungan wisudawan wisudawati, bukan rektor. Yah begitulah kita orang Flores, kemauan untuk pesta sudah mendarah daging.
Malam itu, orangtua teman saya juga hadir di kafe tersebut. Setelah makan, saat wisudawan dan makhluk bernama mahasiswa lainnya (undangan) berjoget, saya dan Papanya teman saya yang wisuda itu memilih ke pendopo kafe dan berbincang-bincang.
Karena Papanya teman saya sukses lebih dulu, malam itu di pendopo kafe, dia melayangkan banyak wejangan kepada saya. Mulai dari bagaimana menggiring bola yang benar sampai topik wisuda. Setelah saya tanya pengalamannya di dunia sepak bola, ternyata beliau mantan pemain sepak bola kelompok doa di stasinya, di Manggarai Timur. Pemain kesukaan papanya teman saya adalah Leo Messi, pemain Real Madrid, katanya.
Sebagai teman anaknya yang berbahagia atas perayaan wisuda, saya tidak mau membantah. Saya hanya mengangguk sambil sesekali memuji. Saat dia terlena dalam pujian, pelan-pelan tangan saya menuju bungkus rokok Surya 12 miliknya. Setelah saya bakar rokok tersebut, barulah kami beralih ke topik wisuda.
Kata Papa teman saya begini ;
Di kampung sudah banyak sekali sarjana, fenomena ini jauh berbeda dengan zaman Papanya teman saya dahulu. Jika dulu sarjana bisa dihitung menggunakan jari tangan, sekarang harus menggunakan jasa petugas statistik untuk pendataannya. Ada yang sarjana hukum, politik, pertanian, perikanan, keguruan bahkan filsafat.
Tinggal di kampung setelah wisuda ibarat pindah rumah baru. Sebagai orang baru, kita harus menghormati setiap lapisan masyarakat, mulai dari sesama Sarjana, Aparat Desa, Dewan Stasi, Tua Golo, hingga petani.
Sebagai seorang sarjana, masyarakat di kampung tentu menaruh hormat pada kita. Seorang sarjana diyakini lebih tahu banyak hal ketimbang masyarakat yang didominasi petani. Menjadi sarjana berarti siap untuk dilimpahkan banyak tugas seperti ; Menjadi Kepala Dusun, Ketua RT, Ketua RW, atau Ketua KBG sekalipun.
Untuk membuktikan bahwa kita betul-betul seorang sarjana, jangan menolak tugas mulia yang dipercayakan tersebut. Jika tidak, bisa-bisa kita dianggap sarjana gadungan yang hanya datang beli ijazah ke kota besar. Bahkan saat ditugaskan untuk memimpin Doa Rosario, jalankan saja, walau sebelumnya tidak pernah sama sekali. Masalah ujud doanya terbata-bata, itu urusan dengan Tuhan.
Setelah wisuda, sesampai di kampung jangan banyak tingkah. Jadilah sarjana yang rendah hati dan pendiam. Kalau banyak bicara apalagi memberontak tatanan yang sudah berlaku dalam masyarakat, kita bisa dicap sombong dan sok tahu. Jika punya ide dan misi beringas untuk masa depan kampung yang lebih baik, tampung saja dulu, tunggu waktu mainnya.
Sarjana baru yang banyak bicara hanya akan mengurangi porsi aktualisasi diri sarjana senior dan orang-orang berpengaruh di kampung lainnya.
Lebih lanjut Papa teman saya berkata ; Menghormati sarjana senior adalah hal yang tidak kalah penting. Mengingat lapangan kerja di Manggarai Timur sangat sedikit, ditambah banyaknya pegawai di Instansi Pemerintahan di Lehong yang bekerja tidak sesuai keahlian masing-masing, semisal ; Sarjana Keperawatan yang ditempatkan di Dinas PU, Sarjana Pendidikan yang ditempatkan di Dinas Perikanan, dan lain-lainnya itu, membuat sarjana di kampung menganggur dan harapan hidup satu-satunya hanya bertani.
Oleh sebab mereka menganggur, salah satu cara untuk membuktikan bahwa mereka seorang sarjana adalah dengan berbicara banyak dan berapi-api dengan masyarakat di kampung. Sebagai sarjana yang baru selesai wisuda, kita hormati niat baik mereka, tahun kedua atau ketiga, barulah kita mengikuti jejak mereka.
Kemudian Papa teman saya menyedot rokok yang sisa filternya saja, seraya bertanya. “Nanti kamu mau jadi apa setelah wisuda”?
Serentak saya teringat, di kampung penjaga kubur umum belum ada.
“Jaga kubur umum om sambil mencari orang dalam di Instansi Pemerintah” bisik saya.
ini pekerjaan mulia yang tidak terpikirkan banyak sarjana. Apalagi yang baru wisuda.

Jadi, yang menentukan masa depan adalah bukan sarjana tapi Tuhan .
Tuhan menentukan kalau kita berusaha semisal proses seperti yang Tua golo TABE ITE canangkan