Cerita Kating di Poong Mangot yang Meregenerasi

0

Loading


Kating, dalam dialek Kolor-Manggarai Timur berarti penampakan wujud roh halus yang menyeramkan. Kating ini biasanya muncul di tempat-tempat tertentu terutama tempat-tempat angker yang umumnya sudah dipetakan oleh kebanyakan orang secara turun temurun berdasarkan cerita orang-orang terdahulu. Namun kating bisa juga terjadi di rumah, biasanya hal itu terjadi, menurut cerita para orang tua, bila ada yang meninggal. Kating juga bisa terjadi sebagai bentuk pesan dari roh halus pada orang-orang yang masih hidup.

Di perbatasan antara Munde dan Ranameti ada sebuah tempat yang cerita kating-nya sudah melegenda. Nama tempat ini adalah Poong Mangot. Poong Mangot seperti namanya adalah bentangan hutan rimba dengan pohon-pohon besar yang berjejer sepanjang jalan yang menghubungkan antara Munde dan Ranameti. Di tengah-tengah hutan ini ada mata air yang menjadi sumber air untuk kedua kampung ini, namanya Wae Mangot. Saking angkernya (dulu) tak ada orang yang berani melewati jalan ini ataupun pergi mengambil air lewat dari jam 6 sore.

Namun, apa hendak dikata, Jalur trans Flores justru melewati tempat ini. Orang dari Ranameti yang hendak ke Munde atau pun sebaliknya mesti melewati jalur ini. Bagi orang Munde yang hendak ke gereja di Waerana ataupun ke pasar Waerana mesti melalui rimba ini. Satu-satunya pilihan untuk tidak melewatinya adalah terbang di atasnya menggunakan sayap. Tapi, siapa yang punya?

Maka melewati Poong Mangot adalah tantangan terbesar, terutama bagi anak-anak sekolah. Seingat saya, cara terbaik untuk aman melewati Poong Mangot selain mestinya siang hari, jika malam harus berjalan bersama teman atau sekelompok orang. Hanya saja, jika sekelompok orang ini adalah penakut maka sebaiknya tidak melewati Poong Mangot pada malam hari. Ketakutan akan menjadi semakin besar di tengah teriak histeris orang-orang yang takut. Belum lagi jika ada yang mulai berlari tanpa tahu arah, musibah dan celaka menjadi kawan dekatnya, bisa saja mereka terjerembab dan jatuh ke jurang yang siap menelan mereka.

Pertanyaannya, apa yang melatari ketakutan akan Poong Mangot? Benarkah di sana ada setan dan wajah aneh makhluk halus yang sering diceritakan orang-orang tua hingga beredar luas di kalangan anak-anak? Sering ketika kecil saya mendengar cerita badan tanpa kepala atau kepala tanpa badan melayang di tengah jalan Poong Mangot. Ada juga yang mengatakan bahwa menjelang malam akan ada suara tangisan dan rintihan dari semak-semak seperti suara anak-anak atau perempuan yang minta tolong. Ada juga suara tertawa yang keras dengan derap langkah yang seolah mengejar dari belakang ketika kita berjalan melewati hutan Poong Mangot. Bahkan ada yang pernah mengaku melihat perempuan tua berwajah seram berpakaian putih yang sering tidur telentang bahkan melayang dan terbang menghantui setiap orang yang berani melewati Poong Mangot.

Seiring waktu dan umur yang bertambah saya mulai mencari tahu tentang misteri keangkeran Poong Mangot. Pernah suatu ketika, saat saya masih duduk di bangku SMP (SMP Rosa Mistika Waerana) saya masih rajin mengikuti misa pagi di gereja Paroki. Pada waktu itu keluarga saya masih tinggal di Rembongara. Agar bisa mengikuti misa pagi Pkl. 06.00-am maka saya harus pergi lebih awal (Pkl. 04.30-am) dengan berjalan kaki tentunya. Tidak ada pilihan, saya akan melewati Poong Mangot. Terinspirasi oleh pesan Pastor Paroki waktu itu bahwa kegelapan adalah ketiadaan cahaya, Tuhan hanya menciptakan cahaya bukan kegelapan maka untuk mengalahkan kegelapan gunakan cahaya, saya mengantongi korek api dan lilin.

Memasuki Poong Mangot saya menyalakan lilin. Dengan jantung berdebar dan langkah kaki yang mulai berat saya melangkah perlahan stabil mendaraskan doa Rosario. Tanpa sadar saya melewatinya dengan aman tanpa ada sedikitpun gangguan apalagi melihat penampakan aneh semacam kepala tanpa badan atau mendengar suara kekeh seram bak di film horror.

Sekali, dua kali dan berkali-kali saya akhirnya mulai berani melewati Poong Mangot. Misa pagi menjadi rutinitas untuk saya dan teman-teman lain yang mulai ramai mengikuti. Adik saya (Femi Nida) si raja takut terhadap gelap pun mulai rajin mengikuti misa pagi bersama temannya Siska Dequirino waktu itu. Pernah sekali kami bertiga mengikuti misa pagi. Ketika melewati Poong Mangot tiba-tiba lilin mati dengan sendirinya. Dua adik saya ini mulai menjerit, saya ikut ketakutan sampai lupa di mana saya meletakkan korek api. Maka berlarilah kami terbirit-birit menuju Waerana. Sepanjang jalan melewati Ranameti barulah saya bisa merasakan bahwa korek api ada dalam saku celana saya bagian kanan. Betapa ketakutan membuat segala sesuatunya menjadi hilang.

Bertahun-tahun setelah itu saya merantau. Terkadang ketika kembali ke kampung, saya sudah tak takut lagi melewati Poong Mangot meski masih ada sedikit debaran jantung mengingat semua cerita orang tua dan kawan-kawan di masa dulu. Namun, saya mulai yakin setan dan kating itu bukanlah wujud seperti yang pernah diceritakan. Setan dan kating hanyalah lampiasan perasaan karena katakutan yang lebih besar melewati tempat yang gelap. Bisa saja ada benda tertentu dan suara tertentu yang muncul di sana tapi karena ketakutan yang lebih besar menguasai mereka jadilah benda dan suara ini seperti setan yang mereka kira dan bayangkan. Dan cerita itu terus mengalir turun, meregenerasi hingga kini.

Mungkin ada roh halus di Poong Mangot, kepala tanpa badan dan badan tanpa kepala itu bisa jadi pernah muncul, saya sendiri tidak pernah menjumpainya. Saya hanya yakin satu hal, ketika kita dikuasai oleh ketakutan apapun yang ada dalam diri kita akan menjadi hilang, sekali pun itu korek api. Maka jangan takut akan kegelapan, Tuhan tidak pernah menciptakan kegelapan, Dia hanya menciptakan terang, kalahkan kegelapan dengan terang.

Jika sekali waktu anda melewati Poong Mangot ingat kata saya ini, kalahkan kegelapan dengan terang. Ambil korek api, lalu nyalakan. Saya percaya itu setan-setan semua lari terbirit-birit lihat itu terang. Apalagi kalau kamu sendiri sudah memiliki terang, setan tak berani mendekat. Poong Mangot mengajarkan saya untuk tidak takut pada kegelapan, karena terang lebih besar dari gelap, maka jadilah terang!

Ilustrasi: Anik Madu

Penulis: Dendi Sujono|Meka Tabeite|

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *