Reliz Gagu, Anak Muda yang Memilih Menjadi Fotografer

Loading


Apek Afres|Redaksi

Seminggu terakhir, saya mencoba  untuk mencari anak-anak muda yang mempunyai potensi di atas rata-rata untuk ditulis. Langkah pertama, saya mencoba untuk mencari di Instagram, tapi hasilnya sia-sia saja seperti usahamu dalam menaklukkan hati si dia. Tak patah arang, saya memutuskan untuk memilih langkah kedua, mencari di Facebook. Saya scroll ke bawah dan ke atas sampai bosan, hasilnya masih sama, tak menghasilkan apa-apa.

Perut mulai keroncong, kode alam untuk lekas menikmati santap siang. Pencarian diputuskan untuk berhenti, saya memilih mengambil jeda sementara waktu. Saya melanjutkan pencarian setelah mandi sore.

Di saat saya sedang semangat-semangatnya untuk mencari, tiba-tiba handphone saya berdering. Ada notifikasi masuk. Rellyz Gagu Shp mengirim Anda permintaan pertemanan, begitu isi pemberitahuan itu. Sebelum jari saya mengarah pada pilihan konfirmasi, saya kepo habis-habisan foto di dalam akun tersebut. Barangkali dia masih jomlo. Tapi, dia laki-laki, mana mungkin jeruk makan jeruk. 

Saya terdiam lama, mengagumi foto-foto di dalam akun media sosialnya. Kalau saja Tuhan berbaik hati dengan menganugerahi ketampanan dalam diriku, saya dengan percaya diri melamar menjadi salah satu model untuk difoto. Foto-foto yang ia posting di akun media sosialnya unik dan keren-keren. Gara-gara foto-fotonya itu, saya terkesima, langsung mengklik pada kata konfirmasi. Kami pun berteman di Facebook.

Sebelum saya melakukan wawancara, ada kejadian menarik, yang barangkali tidak penting untuk diceritakan di sini. Saat hendak membuka obrolan untuk menanyakan lebih jauh proses kreatif dalam dunia fotografi dengan Rellyz, salah satu redaktur tertua di Tabeite menawarkan saya untuk mewawancarai seseorang. Dia pun mengirim nama akun Facebook dan nomor whatsapp-nya, ternyata orang yang dimaksud sama dengan orang yang hendak saya wawancarai.

Tidak menunggu waktu lama, saya langsung mainkan peran. Saya membuka obrolan dengan Rellys. Chat-chat begini, cukup lama dibalas, padahal sudah centang biru. Untung tak hanya dibaca saja, pada akhirnya ia balas juga. Ia tak seperti nona-nona yang kerap kali menyebarkan nomor  whatsapp di media sosial, giliran diajak untuk mulai membuka obrolan malah diabaikan.

Kami pun memulai obrolan di whatsapp. Dimulai dengan mengetik huruf P, seperti kebiasaan makhluk jomlo pada umumnya. Saat ditanyakan lebih detail mengenai proses kreatifnya dalam dunia fotografi, ia menanggapinya dengan rendah diri. “Saya tidak punya apa-apa, Adik. Adik wawancara orang lain saja”, tulisnya di whatsapp.

Saya kembali terdiam, buntut dari jawaban dari seorang fotografer yang memilih untuk rendah diri. Tugas Tabeite dalam menarasikan muda-mudi bumi Flobamora yang keren-keren mendorong saya untuk memiliki energi dalam mewawancarainya lebih jauh.

“Jangan terlalu rendah diri, Kak. Siapa tahu proses kreatifnya selama ini dapat menginspirasi orang lain untuk lebih serius menekuni dunia kreatif,tulis saya. Ia pun menyetujuinya, proses wawancara pun berlanjut.

Nama lengkapnya Aurelius Gagu. Dipanggil Reliz. Ia berasal dari Desa Sita, Kecamatan Rana Mese, Kabupaten Manggarai Timur. Sampai di titik ini, saya jadi paham alasan redaktur tertua di Tabeite menyuruh saya untuk mewawancarai orang ini, ternyata tetangga kampung. Kalau saja diperkenankan memakai asas praduga tak bersalah, mungkin tak didasari unsur primodial, tetapi didasari oleh rekam jejak dari Reliz dalam dunia fotografi.

Semakin jauh dalam berbalas pesan, Reliz termasuk orang yang asyik dan menyenangkan. Ia banyak menceritakan pengalamannya dalam menekuni dunia fotografi.

“Semenjak SMA, saya sudah jatuh hati dengan fotografi,”tulisnya saat ditanya ihwal mulanya menekuni fotografi. Sialan memang, saat SMA seperti dirinya, saya malah sibuk berbalas surat dengan gadis SMA dari sekolah lain di tanah Manggarai. Maklum, saya jebolan salah satu seminari terkemuka di tanah Congka Sae.     

Awalnya ia terinspirasi dengan salah seorang fotografer yang pernah membagikan pengalaman menjadi fotografer di sekolahnya. Semenjak itu, ia mulai gemar dan berjanji untuk belajar lebih serius tentang fotografi.

“Saya membeli kamera dengan harga murah waktu SMA,” kenangnya.

Semenjak itu, ia mulai berlatih untuk memotret. Dari kamera itu, ia mulai mengasah kemampuannya untuk menjajal dunia fotografi.

“Dulu hasil jepretan saya sangat jelek, karena pengetahuan saya tentang fotografi yang sangat minim. Namun, dengan berjalannya waktu, hasilnya perlahan-lahan mulai membaik,” tulisnya lebih jauh.

Seperti kata orang pada umumnya, proses akan mendewasakan diri kita. Kemampuan untuk menjadi lebih baik harus melalui proses yang panjang. Kunci utamanya hanya satu, tetap serius menekuni jalan yang sudah dipilih. Reliz juga mengilhami hal yang demikian, ia serius mendalami fotografi hingga mendorong dirinya untuk lebih serius menjalankannya sebagai sebuah profesi.

Sekarang Reliz menjadi tukang foto, lebih beken dengan nama fotografer. Ia sudah menjadi salah satu fotografer handal di wilayah Manggarai Timur. Kerap kali, ia diundang untuk menjadi tukang foto di pelbagai acara, seperti pesta nikah, pentas seni, dan acara-acara kenegaraan di tingkat Kabupaten Manggarai Timur.

“Jujur, sekarang saya sudah tidak ada pekerjaan lain. Fokus saya sekarang dengan menekuni dunia fotografi,” tanggapnya saat ditanya mengenai pekerjaan sampingan selain menjadi fotografer. Reliz mengakui jika dunia fotografi membuahkan hasil yang cukup maksimal.

Ia juga mengakui jika jasanya dalam bidang fotografi tak hanya dipakai di wilayah Manggarai Timur. Bahkan, ia bersama temannya kerap kali mendapatkan pekerjaan hingga ke kabupaten tetangga, seperti ke Kabupaten Manggarai dan Kabupaten Ngadha.

Dengan jam terbang yang tinggi, Reliz terus mengasah kemampuannya dalam memotret. Misalnya, mengambil foto berlatar pemandangan alam cara pengambilannya bagaimana, fokus kameranya kemana, pengaturan cahayanya seperti apa. Toh, menjadi seorang fotografer profesional tidaklah mudah, butuh kerja keras dan komitmen yang kuat.

Saat disinggung tentang penghasilannya sebagai fotografer, ia mengakui jika hasil yang didapatkan cukup untuk mendukung agar dapurnya tetap mengepul.

“Lumayan bisa menghidupi saya dan keluarga saya,” curhatnya.

Menurutnya, besarnya pendapatan tergantung permintaan pasar. Kadang ia kewalahan saat tingginya permintaan untuk memakai jasanya, ada saatnya permintaan cukup sepi.

“Tergantung dari banyaknya orang yang mempercayai jasa saya, Adik. Terkadang jadwal selama satu minggu itu padat, terkadang juga sepi. Tapi hampir setiap minggu ada,” lanjutnya.

Sembari melanjutkan proses wawancara, saya terus mengintip foto-fotonya yang keren-keren. Maklum, saya termasuk orang yang cukup gila dengan fotografi, meski sejauh ini kegilaan saya sebatas melihat foto di Instagram dari akun-akun fotografer. Ada saatnya juga saya mencari tips di Google tentang teknik pengambilan foto yang baik. Akan tetapi, untuk kali ini, saya abaikan dulu tips dari Google, saya memilih untuk meminta tips pengambilan foto menurut fotografer handal dari tanah Manggarai Timur.

“Untuk menghasilkan foto yang bagus dan berkualitas, tidak perlu kamera yang mahal. Cukup tingkatkan skill dan menguasai setingan kamera,” tanggap Reliz.

Buah dari ketekunan memang luar biasa. Jika kita profesional dalam bidang yang digeluti, kita tak asing lagi untuk melakukannya. Seperti Reliz yang memberi tips sederhana namun berharga di atas tadi.

Di akun Instagram-nya, fotonya variatif. Ada foto pemandangan alam, tari-tarian, senja, prawedding, juga foto model perempuan yang keren-keren. Saya dibuat terkesima dengan kecantikan dari salah satu model yang ia foto. 

 “Foto model perempuan cantik-cantik ee, Kaka, tulis saya sembari mengirimkan emoticon haha.

“Itu hasil dari puluhan kali pemotretan. Saya mengambil foto dari berbagai posisi, hingga hasilnya memukau,” tanggapnya.

(Salah satu foto model Reliz Gagu)

Reliz sudah bekerja menjadi fotografer selama dua tahun. Sekarang ia memiliki studi foto di Kota Borong. Studionya diberi nama Sahabat Foto, barangkali tujuannya untuk bersahabat dengan pelanggan. Sebelum membuka studio foto di Kota Borong, ia membuka studio foto di Kampung Kaca, Desa Sita Kecamatan Rana Mese.  

Dua tahun menjadi fotografer, ia mendapat pelbagai pelajaran. Ia tak lupa memberi saran bagi orang yang hendak mendalami fotografi.

“Untuk menjadi fotografer, jangan langsung membeli kamera yang harganya mahal. Belajar dulu dari kamera sederhana, hape salah satunya. Pahami dulu ilmunya, baru membeli kamera yang harganya mahal,” tulisnya menyakinkan.

Reliz berjuang dari titik terendah untuk menjadi fotografer. Sekarang ia merasa kerasan dengan usahanya dalam bidang fotografi. 

“Saya berharap dengan muncul di Tabeite, banyak pelanggan yang mempercayai jasa saya,” tulisnya di penghujung chatingan.

Sebelum ia mengakhiri chatingan, saya mengirim sebuah pesan penutup.

“Kaka, boleh tidak saya minta nomor whatsapp dari salah satu model perempuan yang ada di akun Facebook-nya?,” tulis saya penuh harap.

Sialnya, pesan terakhir itu tak dibalas. Padahal sudah centang biru, artinya sudah dibaca. Ia enggan membalas sama sekali.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *