Reuni dari Bahu Jalan di Kota Industri

Saling peduli meski tidak harus memeluk (sumber foto: Dokumentasi Pribadi Penulis)

Loading


Osth Junas|Redaksi

Selama menempuh pendidikan strata satu, tekad saya tidak ganda. Hanya satu, menyelesaikan kuliah  dengan tepat waktu. Dengan cara apa dan bagaimana pun, saya tak perlu memeras pikir terlalu berlebihan untuk menafsir proses perkuliahan yang akan berlangsung.

Demikian pada suatu hari. Saya tak memiliki uang selain saldo utama di ATM, tersisa Rp. 50.000. Saat itu meteran listrik sudah mulai berkedip, memberi sinyal agar segara diisi. Sementara di dapur rumah kontrakan stok mie sedap tersisa plastik dan sisa bumbu yang tidak terpakai.

Dalam hati merenung, benar kata orang rumah, merantau memang tidak mudah bagi seorang laki-laki yang keahliannya hanya sebatas mengurus makanan babi. Amat sialan memang.

Di tengah kondisi demikian, beberapa usaha yang saya rintis jatuh bangun, dan  tak mampu bangkit lagi. Kemudian di suatu waktu saya diingatkan oleh seseorang senior yang saya temui.

“Semua pekerjaan ada risiko. Mari bekerja. Jangan patah arang,” tutur Kaka Dion di suatu waktu.

Berangkat dari tekad itu, kami bekerja dan dipertemukan dengan ragam sifat dan karakter dari orang berbeda di jalanan. Bisnis itu pun kami menganggapnya sebagai bisnis jalanan.

Dua bulan berlalu, kami menyelesaikan misi perusahaan pembiayaan. Tiba di suatu sore, kami kembali berkumpul. Saya merenung cukup lama. Saya ingat pernyataan Kang Mus yang memiliki nama asli Epy Kusnandar dalam film Preman Pensiun. 

“Bisnis jalanan tidak identik dengan kekerasan, tetapi layaknya manusia pada umumnya setiap masalah tentu ingin mencari solusi terbaik,” tutur saya kala itu.

“Benar demikian,” tanggap Bang Beny dengan raut wajah yang tidak biasa.

Klimaksnya, pilihan ada pada diri kami. Selama di jalan, kami semua tahu bagaimana menjaga satu dengan yang lain. Meski tidak dengan pelukan, rangkulan kami sangat berbeda dari  komplotan orang-orang yang bekerja di kantoran dan instansi lain. Kami tidak bicara dengan nada halus dan lembut, tetapi jika ada misi yang tuntas dikerjakan biasanya di antara kami tidak ada seorang pun yang porsinya berbeda, semua sama rata sama rasa.

Surabaya saat itu terkenal dengan aksi-aksi kekerasan. Premanisme dan perampokan. Tetapi kami tidak masuk dalam lingkaran itu. Karena itu, terlalu dini jika dengan mudah kami dianggap tak beradab.

“Pensiun dini, Bang.” Kata saya siang tadi ketika bertemu kembali dengan Bang Beni dan Bang Sefrin.

Kami tertawa lepas, sembari mengisahkan kembali luka-liku hidup di jalananan. Mengingat hidup yang kelampau keras di masa lalu.

Pelajaran penting ilmu jalanan adalah saling peduli meski tidak harus memeluk. Dengan begitu kita berjalan saling beriringan, tanpa saling sikat dan sikut.

Pendidikan strata satu saya tuntas berkat pekerjaan jalanan. Dan kini kami kembali pada pilihan masing-masing. Bang Beni dan Bang Sefrin tetap pada pilihan melanjutkan bisnis di jalan dan saya memilih jalan sendiri untuk kembali merintis beberapa usaha lain sembari menuntaskan pendidikan pascasarjana yang sudah dimulai.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *