Ruteng Berhati Mantan

0

Loading


Apek|Redaksi

Judul tulisan ini terinspirasi dari tulisan “Jogja Berhati Mantan” di Mojok.co. Kedua kota (Ruteng dan Jogja) ini sama, terbuat dari kangen dan menciptakan rindu dalam wujudnya sendiri. Tulisan ini dibuat bukan karena banyaknya mantan saya dari kota Ruteng, melainkan semua orang yang pernah saya jumpai telah menciptakan rindu tentang Ruteng, termasuk mantan-mantan, eh mantan saja, cuma dua, hehehehe.

Kok, saya menulis tentang Ruteng, padahal saya tinggal di kampung udik di Manggarai Timur? Bukan sebuah keanehan juga, sebab dengan menulis saya bebas berekspresi.

Tulisan adalah nyanyian ide-ide yang menari di kepala. Menulis ibarat membuat saya mengelilingi dunia dalam waktu sekejap, termasuk ruang imajinasi tentang Ruteng. Kota dingin dan sejuk, siswa-siswi dengan warna seragamnya masing-masing, dan begitu banyak pesona dan suasana yang patut dijadikan kenangan manis dari kota indah ini.

Waktu kecil saya selalu menghabiskan beberapa hari di kota ini. Biar cuma tiga hari saja, rasanya berwindu-windu. Maklum, anak kampung yang tidak terlalu tahu seluk-beluknya kota. Alhasil, kegirangan lebih dominan  daripada membagikan cerita kepada teman-teman di kampung. Air di Ruteng dingin ee, mobilnya besar-besar ee, nona-nonanya cantik ee, dan tidak mungkin saya ceritakan pasar yang kumuh. Semua hal diasyiki saja ketika pulang dari Ruteng. Lumayan bikin bangga diri saja dari teman-teman yang lain di kampung yang tidak pernah menyentuh hawa dan yang hanya sebatas angan untuk ke Ruteng.

Saya selalu jatuh hati ketika mengunjungi kota ini. Entah apa, i don’t know. Semua hal mengalir begitu saja. Terasa indah dinikmati  dan terasa kangen ketika meninggalkan kota. Mungkin ini yang namanya jatuh hati tanpa sebab. Sebab cinta tumbuh secara tak terduga, ada yang perlahan juga kadang tanpa pertimbangan.

Ada beberapa wilayah di kota ini yang selalu saya kunjungi. Biar sekadar mengopi, lumayan merawat cerita dan kenangan. Golo Lusang memiliki nyawanya sendiri untuk saya, tidak perlu cerita di sini nanti kalian baper, ehm, atau Gereja Paroki Kumba yang mengingatkan saya pada seseorang, asek. Begitulah seorang anak muda yang sering mengembara mencari sesuatu yang menarik dan membahagiakan. Kepengen balek deh.

Cerita masa sekolah juga mempunyai warna di kota ini. Setiap liburan semester waktu SMP dan SMA, saya selalu menyempatkan diri untuk menghabiskan waktu di kota ini. Sekadar berlibur dan menikmati kesibukan-kesibukan yang sengaja diciptakan. Be Happy. Biar seminggu saja, rasanya sewindu. Biasanya kami dengan rombongan besar, menggunakan Oto Kol dari Manggarai Timur turun di Katedral Baru. Setelah itu, kami berpencar ke tujuan masing-masing.

 Momen menciptakan cerita dan kenangan pun saatnya dimulai. Keluarga setiap siswa menjemput anaknya di Katedral Baru. Kecuali saya, saya hanya bermodal teman saja yang sudah pindah dan menyelesaikan pendidikan SMP, SMA, di kota ini. Saat bertemu kembali, baku tukar cerita pun dimulai. Bernostalgia, saling ejek, terbahak-bahak bersama, yang pada akhirnya menciptakan rindu yang khas dengan aroma yang pas. Sudah jelas air mata meleleh tanpa batas.

Berada di kota ini, saya habiskan waktu berbincang dengan sohib lama. Menghabiskan malam dengan berbatang-batang rokok dan secangkir kopi di kafe Torus. Bernyanyi bersama, dan tentunya makan bersama di rumahnya teman.

“Di Taga sudah, sekarang mesti di Rangkat,” begitulah celoteh teman-teman menentukan rumah makan bersama. Sederhana tapi asik.

Semuanya gara-gara Ruteng!

Dulu, biasanya saya manfaatkan waktu pada awal liburan di Ruteng untuk bertemu kekasih. Menabung selama berbulan-bulan akhirnya celengan rindu pun di pecahkan. Hahaaaeeetoo. Menciptakan kenangan berdua di kota indah macam Ruteng harus optimal. Persiapan harus matang. Sehingga bisa makan bakso bareng, jalan-jalan ke Gololusang, mengunjungi Vila Puncak, lalu terjun ke Karot hingga mampir di pojok bandara, lalu saling bertukaran jaket, dan jangan lupa kecup di kening yang akan menjadi kenangan manis. Kenangan yang akan selalu dikenang.

“Saya akan datang lagi temui kamu di kota ini,” kata saya saat mengakhiri sebuah pertemuan. Sangat berat. Kantong mata menahan hujan air mata. Siap-siap berpisah. Namun, kau diam membisu. Tatapanmu tenang. Matamu sangat teduh. “Aku akan selalu menunggumu” katamu sembari memelukku dengan tenang. Maaf, ini cuma khayalan saja.

Satu hal lainnya lagi yang membuat saya selalu mengingat Ruteng adalah kompiang. Kue kekhasan Manggarai yang paling sedap dengan secangkir kopi dan teh hangat. Saya rasa di kota lain di Manggarai tidak seenak di Ruteng. Renyah dan cocok di semua gigi. Alhasil, ketika balik kampung kado pertama yang bawa selain nilai yang baik adalah Kompiang.

Menikmati kopi buatan ibu dan sisa kretek ayah pun menjadi paduan citaras yang pas ditemani kompiang saat kumpul bersama keluarga di rumah. Memang oleh-oleh dari Ruteng tah, enak sekali e.

Lalu, mengapa saya menyebut Ruteng sebagai kota berhati mantan, yah karena cerita lama selalu dikenang dan susah dilupakan. Seperti kita, kaum-kaum yang kadang gagal move on dari kenangan bersama mantan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *