Sasando dan Sebuah Sakit Bernama Rindu

Sasando dan rindu, (sumber gambar: Googgle)
Itok Aman | Redaksi
Selalu ada saat dalam hidup kita ketika sakit datang memperingatkan betapa terlalu banyak waktu yang dihabiskan untuk menguras fisik dan otak tanpa istirahat yang cukup. Sahabat kemudian menjadi penopang bagi kita yang hidup jauh dari orang tua. Mereka merawat atas dasar persaudaraan. Persaudaraan yang dibangun dalam kesamaan rasa, bukan kesamaan ras. Menjunjung keberagaman bukan mencari-cari keseragaman.
Pada sebuah sore yang sejuk sehabis hujan. Tidak ada pelangi di sini, mungkin tatapanku terhalang tingginya gedung-gedung di perkotaan. Aku melintasi Tangerang Selatan dengan mengendarai sepeda motorku. 20 km per jam adalah kecepatan yang pas mantap untuk seorang pemuda yang baru saja habis cuci motor dan mandi sore hari. Romantis biar sendiri.
Di pinggiran jalan aku melihat seorang pria, penjual kain tenun keliling dengan speaker aktif murah di mobil pick upnya. Ada motif kuda dan motif lainnya lagi. Aku menepi dan menghentikan kendaraan di pinggir jalan tepat di dekat mobilnya. Sayup terdengar di telingaku, sebuah lagu daerah dengan musik yang khas. Sasando dan lagu “Bo Lele Bo”.
Aku mengikuti lantunan nada demi nada dari lagu salah satu daerah di Indonesia Timur itu. Aku serasa di rumah, sehingga bibirku tidak sungkan mendaratkan senyum pada lelaki itu.
Telingaku begitu dimanja ketika ia memutar sampai pada lagu “Oras Loron Malirin”, lagu dari masyarakat Belu – Nusa Tenggara Timur. Lagu itu terakhir kali aku dengar ketika dipaksa menjadi paduan suara di SMP. Bukan karena suaraku bagus, tapi itu muslihat guru kesenian agar siswa sepertiku tidak terlambat upacara bendera. Semakin tertegun ketika aku tahu bahwa lelaki itu tidak berasal dari Timur Indonesia. Ia tumbuh dengan bahasa ibu yang berbeda, tapi begitu istimewa ketika lagu itu diputarnya. Ia mengetuk pintu di salah satu ruang dalam hatiku. Pintu yang di dalamnya ada rasa haru.
Selepas dari itu, lagu “Sio Mama” dan “O Ina O Emma Kami”. Dua lagu yang bercerita tentang kerinduan pada Ibu. Jiwaku menari, melayang bersama gelombang suara dari speaker aktif murah itu. Naik turun terbawa ingatan ribuan kilometer jauhnya. Buyar seketika bersama celetukan seorang tukang parkir di samping kami, “Ini lagu-lagu Timurisasi”. Tukang parkir asal Maumere itu merusak momen.
“Sore-sore, sambil makan jagung bose, aku suka mendengar Usi Noel tetangga saya memetik senar sasando. Rasanya ingin pulang ke NTT. Aku tidak punya keluarga di sana, tapi NTT rumah keduaku. Mereka ramah seperti kamu,” tuturnya mengenang NTT.
“Kaka Nyong bisa main sasando ju kow?” ia bertanya dalam dialeg Kupang. Saya jadi malu padanya dan hati kecil saya.
“Sonde, Mas. Tapi be pung Kaka ada di Jakarta sini ju, dia guru musik. Be pernah liat dia main piano deng gitar jug, tapi dia pung fokus ngajar sasando sa. Ke ana-ana sekolah kow, kadang ju ada yang datang dia kasi les privat ju.” Saya menceritakan Kak Gazpar, Guru Musik Sasando asal Manggarai Timur di Jakarta itu padanya.
“Awiiih, pung keren lay. Titip salam sang dia ew Nyong.”
“Iyo, Mas. Nanti be kastau Kaka.”
Mas Juan, lelaki Jawa yang belasan tahun menjual pakaian di seputaran NTT. Aku kagum padanya. Dengan memutar musik daerah, ia mengenalkan budaya. Menjelajah Nusantara. Menyokong asa pendidikan. Semuanya dibuat dengan usaha sendiri. Semoga di jualan kelilingnya yang berikut aku bisa hadir kembali, bernyanyi bersamanya dan membeli beberapa kain tenun NTT jualannya.
Mas Gazpar. Eh, Ka’e Gazpar, betapa bangganya menjadi Anda. Semangat untuk memperkenalkan Sasando pada dunia, Ka’e. Hormat setinggi-tingginya untuk Ka’e.