Sehari dengan Kompol Yulianik

1

Loading


Rosis Adir|Kontributor

Saya tidak mengenal lebih dalam tentangnya. Kami pertama kali bertemu – satu mobil – saat mengunjungi salah satu keluarga yang sakit di Kota Tunda, Sopang Rajong, di pedalaman Elar Selatan, pada pertengahan Februari 2021.

Hari itu, pagi-pagi sekali, saya diboncengi Om Yorit Poni menuju Lengko Dia. Di sana kami menitipkan sepeda motor di rumah salah satu kerabat, sebelum kami menumpang mobil.

Sekitar 10 menit menunggu, mobil fortuner warna hitam datang. Mobil itu milik Bapak Marselis Sarimin, mantan Kapolres Manggarai.

Di dalam mobil, di kursi depan, di samping sopir, ada Bapak Marselis. Di kursi tengah, ada dua wanita paruh baya. Satunya, saya kenal. Ibu Frederika Soch, mantan Kadis P&K Manggarai Timur. Dan satunya, saya baru kenal saat dalam perjalanan. Wanita bertubuh kurus itu ternyata istrinya Bapak Marselis, namanya, Ibu Yulianik. Lalu, sopir yang membawa kami, Pak Bayu, juga baru saya kenal. Ia juga anggota polisi.

Dari dialeknya, saya menebak, Ibu Yulianik orang Jawa. Dan dalam perjalanan itu, saya juga baru tahu kalau beliau seorang Komisaris Polisi – perwira menengah tingkat satu.

Kami menuju Kota Tunda untuk menjenguk, sekaligus membawa sedikit bantuan sembako dari keluarga Bapak Marselis-Ibu Yulianik, untuk salah satu keluarga yang sangat membutuhkan. Kondisi keluarga yang kami kunjungi, sangat memprihatinkan: suami lumpuh, istrinya bisu dan diduga mengalami gangguan jiwa. Anak sulung mereka – yang waktu itu masih kelas 6 SD – terpaksa menjadi tulang punggung keluarga.

Awalnya saya mendapat informasi tentang kondisi keluarga itu, dari Pak Maxen, seorang pendamping TKSK di Kecamatan Elar Selatan. Saya kemudian meneruskan ke Ka’e Markus Makur, wartawan Kompas.com yang juga menjadi relawan Kelompok Kasih Insanis (KKI) Peduli ODGJ. Dan, Kae Markus kemudian meneruskan informasi tersebut ke Pak Marselis.

Respons Pak Marselis sungguh di luar dugaan kami. Beliau langsung mengatur waktu, dan mengajak kami ke Kota Tunda, sekitar seminggu setelah mendapat informasi tersebut.

Kami mengambil rute Borong-Waelengga-Rita Pada-Sopang Rajong (Kota Tunda). Di Waelengga, kami singgah sebentar untuk menjemput Ka’e Markus.

Selama perjalanan hingga kami beristirahat di padang setelah Kampung Rita Pada, banyak cerita-cerita lucu keluar mulut Ibu Frederika. Perjalanan kami jadi tak membosankan. Riang.

Saat kami beristirahat. Saya sempat mengambil beberapa gambar Pak Marselis bersama Ibu Yulianik. Di usianya yang sudah tidak muda lagi, mereka tampak mesra. Kemesraan mereka seperti tak lekang oleh waktu dan usia.

Waktu itu, Ibu Yulianik memang tampak kurang sehat. Tetapi, ia “ngotot” untuk ikut mengunjungi keluarga yang kesusahan itu.

                      _________

Sekitar 4 Km jalan sebelum memasuki Sopang Rajong, kondisinya sangat memprihatinkan. Jalan tersebut belum diaspal, hanya diisi dengan batu-batu telford yang sebagiannya sudah terlepas. Ilalang tumbuh di badan jalan. Tingginya, ada yang hampir satu meter.

Kondisi jalan yang demikian, membuat kami “goyang tanpa musik” di dalam mobil. Sesekali, kepala saya, Om Yopi, dan Ka’e Markus, yang duduk di kursi paling belakang, terbentur dengan langit-langit mobil.

Kami tiba di Kota Tunda sekitar pukul 14.00 WITA, dan langsung menuju rumah sasaran. Setelah mendengar cerita (keluhan) dan menyerahkan bantuan untuk keluarga itu, kami singgah di rumah kerabatnya Om Yorit. Di sana kami santap siang. Kami pulang sekitar pukul 16.00 WITA dan tiba di Borong  sekitar pukul 21.00 WITA. Dalam perjalanan pulang, kami sempat singgah minum kopi di rumah keluarga Bapak Marselis di Lete.

                     ___________

Sehari setelah pulang dari Kota Tunda, saya dan Ka’e Markus mulai menulis kisah tentang keluarga yang kami kunjungi, dan terbit di media kami masing-masing: Ekorantt.com dan Kompas.com.  Berita itu kemudian menjadi viral, hingga mendapat respons dari berbagai pihak, termasuk dari Kementerian Sosial.

Kemensos kemudian mengutus tim untuk mengantar bantuan, baik logistik maupun perawatan medis untuk keluarga itu.

                     ___________

Sejak perjumpaan itu, saya tidak pernah lagi bertemu Ibu Yulianik. Sekitar awal Mei kemarin, dari beberapa teman, saya mendengar kabar bahwa Ibu Yulianik, sakit. Saya dengan Ka’e Markus sempat berencana untuk menjenguk. Tetapi, niat itu kami urung karena kasus positif Covid-19 melonjak.

Empat hari lalu, tepatnya, Minggu malam, 18 Juli 2021, setelah sekian bulan berlalu, saya teringat bahwa Pak Bayu pernah memberi nomor WA-nya ke saya. Waktu itu, ia meminta agar saya mengirimkan foto-foto saat kunjungan ke Kota Tunda itu via nomor WA-nya.

Saya mengambil laptop. Memindahkan beberapa foto ke memory Hp. Saya kemudian mengirimkannya ke nomor WA Pak Bayu. Dari beberapa foto yang saya kirim itu, ada foto Bapak Marselis bersama Ibu Yulianik di padang, tempat kami beristirahat, saat ke Kota Tunda. Foto-foto itu kemudian saya teruskan ke nomor WA Pak Marselis.

Tadi pagi, saat saya buka facebook, banyak postingan dari teman-teman yang menyatakan turut berduka atas meninggalnya Ibu Yulianik.

Selamat jalan Kompol Yulianik….

Meski kita bertemu hanya sehari. Meski saya tidak mengenalmu lebih jauh. Tetapi, engkau setidaknya telah mengajarkan saya tentang arti kepedulian. Kepedulian mu terhadap sesama, mengalahkan rasa sakitmu, hingga kemudian engkau kembali menghadap Sang Khalik.

Sekali lagi, selamat jalan Kompol Yulianik, semoga engkau layak berada di sisi kanan-Nya.

1 thought on “Sehari dengan Kompol Yulianik

Tinggalkan Balasan ke Heri Moscati Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *