Sesekali Matikan TV demi Tombo Turuk

1

Sumber Foto: Google

Loading


Apek Afres|Redaksi

“Cucu, dulu ada peperangan antara makhluk halus dan manusia di sebuah hutan. Makhluk halus ingin sungai dekat hutan tersebut menjadi milik mereka, sedangkan manusia juga ingin memiliki sungai tersebut untuk memenuhi kelangsungan hidup. Akhirnya, terjadilah peperangan besar…..”

Waktu saya kecil, sebelum tidur, saya selalu mendengar cerita dongeng dari Nenek. biasanya, Nenek menceritakan dua cerita dongeng. Manfaat ceritanya dahsyat, selain menciptakan rasa kantuk, juga banyak mengandung nilai moral-etis.

Di daerah saya, di Manggarai, cerita dongeng ini namanya Tombo Turuk, tidak tahu di daerah lain di NTT. Yang pasti semua daerah mempunyai cerita dongeng yang khas. Di Jawa Tengah misalnya, ada Timun Mas, Keong Mas, atau cerita dongeng dari Sulawesi Selatan:  Legenda Sawerigading, Kisah Nenek Pakando, Kisah Putri Tandampalik, dan masih banyak cerita dongeng dari daerah lainnya.

Di pelajaran sekolah, cerita dongeng ini lazimnya disebut cerita rakyat, yaitu cerita yang sifatnya lisan, berasal dari rakyat itu sendiri. Bisa berupa legenda suatu tempat, fabel, Mite, Sage dan lain-lain. Dalam tulisan kecil ini saya menjelaskan keberadaan cerita rakyat di daerah saya, Manggarai yang nampaknya sudah menjadi mayat dalam kuburan modernitas.

Lantas jika dikritisi, Apakah Tombo Turuk sudah tergerus oleh arus zaman yang terlampau cepat? Menjadi bangkai dalam kuburan modernitas? Atau hanya sebatas kisah gaib masa lampau yang tidak bermanfaat apa-apa? Entahlah.

Waktu saya kecil, mendengar cerita dongeng sudah menjadi kebiasaan. Jika Nenek saya sedang sibuk, pasti digantikan oleh Bapak saya. Tidak ada kata bosan untuk mendengar. Selalu penasaran akan kisah-kisah selanjutnya. Apalagi dengan gaya penutur cerita yang sangat menjiwai ceritanya, ya, saya dan adik-adik saya sontak terkesima dengan raut wajah yang menyembunyikan banyak pertanyaan. Tinggal menunggu hari esok untuk mendengar cerita-cerita selanjutnya.

Namun sayang, sejak saya SMP, ceritanya sudah lain. Nenek dan Bapak saya sering nongol depan televisi berjam-jam. Adik saya sibuk usap layar Hp. Saya juga tidak bisa berbuat apa-apa. Mengikuti situasi dan kondisi lebih baik. Terpaksa nongol depan TV bersama Nenek dan Ayah sambil menonton berita korupsi yang semakin fantastis.

Fakta ini membuat Tombo Turuk cuman jadi cerita masa kecil saja. Saya tidak mempersalahkan teknologi-informasi yang perkembangannya begitu mutakhir. Tetapi juga saya tidak bisa membantah pengaruh daya visualnya yang sangat tinggi. Aspek budaya menjadi tergerus, termasuk cerita dongeng atau Tombo Turuk. Semua orang sudah terjebak dalam mantra layar kaca, lalu tersenyum sendiri di pojok kamar.

Nenek juga lebih suka nonton TV dari pada cerita dongeng lagi. Kebiasaan lamanya sudah jadi angin lalu. Sebelum tidur saya selalu merindukan kebiasaan masa lalu yang asyik itu. Nenek yang tidur di samping saya bercerita dengan santainya. Menceritakan sosok poti wolo yang suka curi telur Ayam, sosok pondik yang licik, Darat yang cantik, dan sosok lainnya yang sudah lupa namanya. Beta rindu itu lai, seng bisa tahan lai.

Tombo Turuk nyatanya bergelimang nilai edukasi. Pewarisan kearifan lokal yang sederhana, terjalin komunikasi yang intens antar individu (antara pendengar dan pencerita), menciptakan gema reflektif filosofis; bertanya-tanya tentang tokoh dalam Tombo Turuk, dan yang pasti obat tidur yang ampuh, mengalahkan obat tidur. Apakah teman-teman membiarkan Tombo Turuk sirna begitu saja? Tenggelam dalam kebisingan zaman yang hinggar bingar?

Mau bagaimana lagi? Mungkin pertanyaan semacam ini terbersit di kepala teman-teman sekarang ini. Iya memang demikian yang terjadi. Semua orang lebih pandai bermain di atas layar yang menyediakan begitu banyak informasi. Kebiasaan masa lalu yang penuh nilai moral dan pelajaran berharga tidak dipertahankan.

Akhirnya, melalui tulisan mini yang tidak keren amat ini, saya mengajak teman-teman untuk lebih peduli dengan hal-hal yang menambah wawasan moral, seperti kebiasaan Tombo Turuk. Semoga melalui komunitas semacam ini kebiasaan masa lalu, sepert Tombo Turuk dibudidayakan dan dikembangkan kembali.

1 thought on “Sesekali Matikan TV demi Tombo Turuk

  1. Terima Kasih atas Opini yg sangat baik ini.. semoga Generasi kita mampu menghidupkan kembali budaya “Tombo Turuk”

    Saya Juga punya masukan..Mungkin bisa kedepannya media ini mengulas dan menulis cerita dongeng” Tombo Turuk” khususnya Tombo Turuk dari daerah sendiri..

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *