Siapa Kita Sebenarnya? Refleksi Pasca Pilkada

Suara hati bukan suara uang (Foto dari google)

Loading


Osth Junas|Redaksi

Selain menyukai anggrek dan memelihara babi, aktivitas saya sedikit bergeser ke dunia maya. Meski tidak sepenuhnya saya aktif di dunia maya, sebab dunia nyata sudah menawarkan cinta dan kenyamanan. Wkwkwk.

Melalui akun facebook, saya turut menikmati pelbagai fenomena yang terjadi di Indonesia umumnya, dan Manggarai khususnya. Akhir-akhir ini, notification pada akun facebook saya tidak lagi seramai sebelumnya. Saya tidak lagi menikmati sejumlah komentar pada postingan pribadi, atau pertanyaan berapa banyak yang menyukai postingan tersebut, melainkan lahir jutaan pertanyaan lain yang mana sebenarnya tidak penting-penting amat.  “Akun palsu dari kubu siapa lagi yang beredar hari ini di group politik Manggarai itu?” demikian satu dari sekian pertanyaan itu. Facebook ini selain mempermudah komunikasi, juga sebagai ajang hiburan di tengah kabar lenyapnya dana BANSOS  covid-19 yang tak kunjung usai.

Tidak jadi masalah sebenarnya, sebut saja, ketika Timi November dan Genok Kumis Tipis menayangkan keterlibatannya dalam pilkada Manggarai. Saya tidak tahu persis berapa jumlah pengguna memakai nama yang sama dengan tujuan hanya untuk melumpuhkan lawan politiknya di pilkada tahun ini. Namun isu yang disebarkan melalui grup facebook mengundang tanggapan dari para penikmat pesta demokrasi damai.

Ketika berkaca dari kejadian selama ini sebelum puncak pesta demokrasi itu digelar, beberapa orang rela melakukan tindakan anarkis yang bermula dari komentar di facebook. Saya tidak bisa bayangkan; ketika Mark Zuckerberg seorang pemrogram komputer dan pengusaha internet yang mempunyai perusahaan facebook ini menawarkan berbagai fitur menarik untuk baku tinju. Lalu anime tersebut bisa digunakan seperti memainkan game online. Baku tembak dan membawa perkakas dapur untuk melindungi wajah dari pukulan lawan. Tidak hanya saya, tentunya. Anda pun bisa membayangkan seseru apa baku hantam di dunia maya. Sebab itu jauh lebih baik daripada harus baku hantam di dunia nyata. Apalagi bermula dari komentar di dunia maya. Itu pertama.

Kedua. Setelah pesta demokrasi ini digelar, satu hal yang mesti kita ingat bahwa; yang keluar sebagai juara itu hanya satu. Dia-lah pemenang dengan basis pemilih lebih banyak daripada pasangan yang lain. Lalu bagamana kehidupan kita setelah salah satu dari mereka terpilih menjadi Bupati dan Wakil Bupati?

Pertanyaan ini jika disuguhkan bagi para petinju yang melakuan permainan tinju bebas di atas ring, tentu tidak ada efek. Sebab mereka benar-benar bertanding secara nyata tanpa embel-embel yang lain. Sederhananya mereka hidup dari pertarungan itu. Berbeda jika pertanyaan yang sama kita suguhkan pada akun media sosial di salah satu group facebook yang basisnya adalah pengguna akun palsu. Tentu sangat memalukan, jika yang mencernanya mampu berpikir kritis.

Sebagai masyarakat kecil kita akan terus bertarung di bawah garis kekuasaan. Tanpa melihat siapa yang sedang memimpin. Jangan hanya karena pertarungan ini; kita dengan sengaja mendirikan tembok batasan yang kokoh bagi tetangga yang hendak meminjam sendok, dandang, kuali dan garpu saat ada acara keluarga, atau sengaja menghilangkan budaya lejong yang mulanya sangat lekat dengan kehidupan orang manggarai hanya karena beda pilihan politik.

Satu hal yang perlu kita ingat bahwa pesta demokrasi ini digelar sebagai proses pendewasaan bagi masyarakat dalam hal berdemokrasi. Dengan berbagai tawaran informasi yang mudah diakses, seharusnya kita lebih bijak sebagai warga negara yang baik. Berani berbeda dalam pilihan itu keren tanpa harus membenci atau menghapus perteman di facebook.

Cukup Timi November yang tidak lagi eksis di bulan Desember. Sebab Genok Januari sedang menunggu di awal tahun mendatang.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *