Singgah di Pasar Sotor dan Nilai Hidup dari Seorang Ibu

Sumber: Bernas.id
Yuni Narmi|Redaksi
Di tengah banyaknya orang yang sibuk di jalanan, coba alihkan perhatian kepada pedagang yang menjaja makanan di tepi jalan. Mereka hendak menemukan berkat dari hidup yang begitu keras. Mereka memperjuangkan hidup agar tidak dikalahkan oleh nasib.
Hebatnya, pedagang jalanan yang kebanyakan dari golongan usia tua itu pantang menyerah sekalipun pendapatan yang mereka peroleh pas-pasan. Mereka pun lebih memilih berjualan ketimbang harus mengemis.
Tahun lalu, saya liburan ke kampung dari Yogyakarta. Setiba di Bandara Labuan bajo, hal pertama yang saya lakukan adalah memeluk erat kedua orangtua, melepas rindu setelah 2 Tahun tidak bertemu.
Kemudian saya mulai mengalihkan pembicaraan dengan menanyakan sesuatu yang mungkin terdengar aneh ditelinga orang lain, yakni “ Pasar Sotor”. Pasar yang menjual sesuatu yang sama, di lokasi yang sama, dengan suguhan yang sama adalah sesuatu yang unik dan menarik untuk diperhatikan.
Sesuatu yang menarik itu lah yang mengundang daya tarik calon pembeli. Hal lain yang membikin pengendara ingin berhenti di pasar Sotor adalah saat mendengarkan ibu-ibu menawarkan makanan dengan cara yang menggelitik. Juga cara menyodorkan jualan kepada pengendara yang sedang lewat-yang sedikit agresif. Cara ini kadang membuat saya senyam-senyum sendiri. Semoga juga kalian. wkwkwkwkw
Pendek kisah, sesampai di pasar Sotor, kami berhenti di salah satu stan.
Kami pun mulai memesan beberapa makanan, yang tentunya sangat dirindukan oleh anak rantau seperti saya. Ada Jagung bakar, tete tapa, daeng kokor dan lainnya lagi yang sengaja disuguhkan dengan segelas kopi oleh tuan stan untuk menambah sensasi, katanya. “Ah Tuhan, nikmat mana lagi yang harus saya dustai?” Sungguh, kopi yang disuguh, betul-betul menambah sensasi.
Ongkas demi ongkas dari latung tapa pun semakin menumpuk, saya menyapa seeorang ibu hebat yang masih dengan semangat dan sabar menyuguhkan apapun yang kami pesan. Satu hal yang buat hati saya tergerak dan ingin berbincang adalah senyum si ibu pemilik stan yang tak pernah luntur, bahkan ketika anak bungsunya lagi tertidu pulas di punggungnya.
Saya pun bergegas dari tempat duduk saya yang tadinya sudah hangat-hangatnya mendekati si ibu.
“Hae enu, pulang libur kha?” Sahutnya.
Sepertinya dia mendengarkan perbincangan hangat kami tentang perjalanan dari jogja.
“Iyo tanta saya baru pulang libur”.
“ Enu kuliah dimana?
“Di jogja, tanta”.
“De enu harus kuliah di’a-di’a nuk mama agu bapa,” sontaknya.
Sayapun terdiam.
“ Anak sulung daku kole remeng kuliah enu, am satu angkatan agu enu tapi hia kulia sina Malang enu,” sambungnya lagi
Dari raut wajahnya, si ibu nampak bahagia saat bercerita tentang anaknya itu. Dalam hati, saya bergumam “Tuhan semoga anaknya sukses di Malang, dan semoga dia laki-laki,” cie cie……..
Yang paling menyanyat hati adalah saat si ibu curhat bahwa setiap pagi ia harus datang ke pasar Sotor sambil menggendong anak bungsunya dan memikul karung latung yang tentunya sanggat berat. Sungguh dari mimik wajanya tak sedikitpun saya temukan rasa sesal atau penyesalan untuk segala suka duka yang ia lewati dalam hidupnya.
Obrolan demi obrolan kami lewati, sangat ingin rasanya saya menginap satu malam untuk bercerita lebih banyak lagi dengan ibu hebat ini, namun apalah daya langit mulai gelap dan Elar masih sangat jauh untuk ditempuh.
“ Asa tanta kami jalan dulu,” gumamku.
“Enu ho manga latung tapa lagi pat sengaja bungkus li tanta, ai toe mangan one kota mese, ngitu kole daku anak lau Jawa.”
Ya Tuhan sungguh mulia hati ibu ini bahkan dalam keadaan yang bisa dibilang sulit ia tetap mau mau berbagi.
“ Terima kasih tanta,” tutr saya sembari bersalaman.
Sepanjang perjalanan, saya merenungkan betapa besar cinta seeorang ibu untuk anak-anaknya. Seorang ibu yang selalu berusaha tegar. Yang seolah-olah tak ada satupun beban dalam hidupnya.
Air mata saya seketika terjatuh, sontak mama yang duduk tepat di samping saya menarik saya dan mendekap saya sambil berkata, “ Tidak ada satupun orangtua di dunia yang tega melihat anaknya hidup dalam ketidakcukupan, satu-satunya cara kami agar kalian bisa hidup berkecukupan bahkan ketika kami sudah tiada adalah dengan menyekolahkan kalian dengan harapan kalian tidak bernasib sama seperti kami di masa depan”
Sejak saat itu, saya pun mulai berpikir, hidup di kampung ternyata tidak semudah apa yang kami “mahasiswa” pikirkan.
Kalau melakukan perjalanan dari Labuan Bajo ke Ruteng atau sebaliknya, sesekali mampirlah di Pasar Sotor di Ketang, Manggarai. Temukan nilai hidup dari ibu-ibu di sana dan rasakan nikmatnya jualan mereka.