Stigma Sosial, Penyesatan Informasi dan Cara Mencegahnya.
Flavianus Riantiarno|Kontributor|
Merebaknya wabah penyakit akibat virus telah memicu epidemi global. Pandemi ini berawal dari ditemukannya kasus di Wuhan-Cina, pada desember 2019 lalu dan kemudian menyebar ke berbagai negara. Kasus ini disebabkan oleh virus yang kemudian dikenal sebutan COVID-19. Perlu diketahui COVID-19 adalah singkatan dari Corona virus Disease-19 yang artinya penyakit yang disebabkan oleh virus Corona dan ditemukan pada tahun 2019. COVID-19 ini menyebabkan jutaan orang meninggal dunia, yang membuat badan kesehatan dunia menetapkan darurat kesehatan.
Munculnya pandemi terkait COVID-19 ini menimbulkan banyak masalah baru. Muncul satu fenomena sosial yang berpotensi memperparah situasi, yakni stigma sosial. Mereka diberikan label, stereotip, didiskriminasi, diperlakukan berbeda, atau mengalami pelecehan status karena terasosiasi dengan sebuah penyakit. Masalah stigma sosial ini terjadi pada orang yang mengalami COVID-19, pengasuh atau tenaga kesehatan dan paling mengerikan juga adalah menganggap orang yang berasal dari zona merah sebagai suatu sumber virus. Inilah stigma sosial yang muncul dan memperkeruh situasi.
Pada awal terjadi kasus virus ini, muncul banyak diskriminasi dan rasisme. Seperti halnya pada kasus-kasus virus sebelumnya, diskriminasi ataupun rasisme terjadi ketika wabah itu dikaitkan dengan daerah asal mula atau pertama terjadinya kasus. COVID-19 berawal dari kasus di Cina, maka ada yang menyebutkan Wuhan Virus, Cina Virus dan sebagainya, yang merupakan tindakan diskriminasi dan rasisme pada suku, ras atau bangsa tertentu. Bahkan ada pemberitaan di beberapa negara, ada tindakan yang mendiksriminasi orang yang berasal dari negara tersebut. Walaupun sekarang sudah dianjurkan badan kesehatan dunia untuk tidak menyebut nama suku, ras atau negara dalam konteks virus ini.
Demikian pula halnya dengan stigma, beberapa kejadian terjadi. Penolakan jenazah pasien yang terkena COVID-19, mengusir atau menolak tenaga kesehatan, bahkan menolak para perantau atau orang yang datang dari zona merah dan ingin pulang kampung, karena dikira akan bawa virus. Ini merupakan kejadian-kejadian yang membuat stigma pada masyarakat meluas, sehingga menimbulkan gejolak sosial. Hal ini dapat memperburuk keadaan di tengah pandemi.
Stigma sosial dan penyesatan informasi (misleading information)
Secara umum stigma adalah ciri negatif yang menempel pada pribadi seseorang karena pengaruh lingkungannya. Stigma sosial dalam konteks kesehatan adalah hubungan negatif antara seseorang atau sekelompok orang yang berbagi karakteristik tertentu dan penyakit tertentu. Dalam pandemi COVID-19, orang diberi label, stereotip, didiskriminasi, karena dianggap memiliki hubungan dengan penyakit akibat COVID-19. Hal ini berdampak negatif pada mereka yang menderita penyakit, serta pengasuh mereka, keluarga, teman dan masyarakat. Orang yang tidak memiliki penyakit tetapi berbagi karakteristik lain dengan kelompok ini juga mungkin menderita stigma. Munculnya stigma sosial ini, melekat pada masyarakat yang kemudian menolak keberadaan seseorang di lingkungannya. Maka tidak heran jika masalah soal penolakan jenazah pasien COVID-19, penolakan tenaga kesehatan atau pengasuh pasien COVID-19 atau bahkan menolak orang yang datang dari daerah yang ditetapkan sebagai zona merah. Sehingga dampaknya adalah orang bisa menyembunyikan penyakit untuk menghindari diskriminasi, membuat orang tidak mencari perawatan kesehatan segera dan membuat mereka tidak melakukan perilaku sehat. Oleh karenanya bahwa stigma memang sangat tidak baik disaat adanya wabah ini.
Banyak literatur dari hasil penelitian menunjukan bahwa stigma bisa memperburuk situasi pada saat ada kejadian bahkan wabah penyakit. Memang di satu sisi, tingkat kewaspadaan orang meningkat terhadap suatu penyakit, sisi lain ini dapat menimbulkan masalah baru. Timbul rasa tidak solidaritas di tengah pandemi. Melihat orang lain seperti orang asing, menganggap tenaga kesehatan adalah pembawa penyakit dan sebagainya. Ada perilaku dimana orang mendapat stigma tidak mau menyampaikan kondisi kesehatannya, isolasi diri dan menimbun penyakitnya sendiri. Jika ini terjadi, wabah itu tidak akan menghilang dan sulit untuk diatasi.
Sebuah artikel yang ditulis oleh Wen dkk di awal 2020 dan dipublikasi pada jurnal Anatolia, mengatakan bahwa diskrimininasi dan rasisme bisa disebabkan oleh misleading information (penyesatan informasi). Wen membahas terkait bagaimana efek misleading information pada krisis kesehatan publik. Wen dkk menyebutkan penyebab adanya diskriminasi dan rasisme adalah munculnya informasi yang menyesatkan yang terdapat pada media. Dalam kaitannya dengan stigma, misleading information bisa jadi penyebab utama penguatan stigma di tengah masyarakat. Pemahaman yang salah atau penalaran yang keliru membuat orang berpikir bahwa mereka yang yang terinfeksi suatu penyakit, atau yang merawat orang terinfeksi adalah berbahaya dan pelu ditolak.
Penyebaran informasi banyak melalui media massa maupun media sosial. Akan muncul pemberitaan dengan judul clickbait dan informasi yang tersebar melalui media media sosial yang bersifat hoax. Clickbait yang merupakan judul berita yang menarik perhatian publik, bisa terdengar menghebohkan dan membuat penasaran. Biasanya digunakan agar calon pembaca segera mengklik konten tersebut, yang mungkin saja tidak terlalu menarik. Lalu, hoax yang sifatnya untuk menipu dan seringkali tidak masuk akal. Penulis menyebut ini sebagai misleading information (penyesatan informasi). Adanya pemberitaan di media massa ataupun media sosial, dengan judul-judul clickbait dan unggahan hoax dapat memperkeruh stigma dalam situasi pandemi COVID-19. Saluran media idealnya menyampaikan laporan obyektif untuk meningkatkan dukungan, bukan untuk memecah individu dan memicu rasa takut yang berujung munculnya stigma masyarakat. Kata-kata yang digunakan dalam media sangat penting, karena ini akan membentuk bahasa populer dan komunikasi pada situasi COVID-19 Pelaporan negatif berpotensi mempengaruhi bagaimana orang diduga memiliki COVID-19, pasien dan keluarga mereka mendapat perlakuan yang buruk dari orang lain.
Mencegah dan menjadi penggerak mengatasi stigma sosial
Munculnya stigma yang bisa memperburuk dapat kita lawan dengan banyak cara Beberapa cara yang disarankan untuk dilakukan agar kita tidak terjebak dalam stigma sosial. Pertama, saring dan sharing, artinya pandai-pandailah menyaring berita di media massa maupun media sosial, jangan langsung percaya dengan informasi atau berita yang belum jelas informasinya. Pilihlah media yang dianggap dipercaya, bacalah isi pemberitaan bukan pada judulnya saja. Menyebarkan informasi pun demikian, dipilah dahulu sebelum disampaikan kepada orang lain. Kedua, perbanyak membaca dengan referensi atau pengetahuan ilmiah tentang COVID-19. Jika pengetahuan kita cukup, berbagilah kepada orang lain sembari mengajak mereka untuk tidak memberi label negatif pada orang yang sedang terkena Covid-19, tenaga kesehatan yang merawat dan sebagainya. Ketiga, tidak ikut menyebarkan atau memberi anggapan yang mengarah pada stigmatisasi COVID-19, artinya harus punya anggapan bahwa orang yang sedang terkena COVID-19 adalah orang yang butuh dukungan, bukan diasingkan atau ditolak. Bagian ini adalah tugas kita dalam meredam informasi yang salah atau yang saya sebut sebagai penyesatan informasi.
Kemudian untuk menghindari diri sebagai pelaku stigma sosial maka perlu perhatikan banyak hal. Pertama, tidak menyebut orang yang terjangkit sebagai korban atau penderita tetapi sebagai pasien. Kedua, memberi dukungan kepada orang yang terjangkit dan tidak boleh mengasingkannya. Ketiga, memberikan penghargaan kepada orang yang telah berjuang dalam menghadapi wabah penyakit misalnya tenaga kesehatan dan sebagainya. Keempat, menganggap bahwa COVID-19 adalah sama seperti penyakit lainnya, semua orang bisa mengalami maka cara kita adalah bagaimana mencegahnya dan membantu orang yang mengalaminya. Melawan stigma sosial adalah melawan kepanikan. Dengan tidak panik, pikiran tenang dan kesehatan tetap terjaga.